Monday, March 31, 2014

JANGAN PERGI, YEM

"Boleh ya, Bu?"

"Nggak, Yem. Ibu nggak izinkan, ibu nggak ridho."

"Mba Pon ibu izinkan, kenapa aku tidak?"

"Ibu terpaksa mengizinkan. Mbak Pon beda sama kamu, Yem. Misalnyapun tidak ibu izinkan, dia akan tetap           pergi, dan ibu nggak mau anak-anak ibu pergi tanpa restu."

"Jadi kalau aku maksa seperti Mba Pon, Ibu juga akan izinkan?"

"Ya, tapi Ibu yakin, kamu tak akan membuat Ibu bersedih berkepanjangan, ya kan, Yem?"

Pawiyem memeluk ibunya, tak akan sanggup dia menambah kesedihan orang yang sangat dicintainya.
Biarlah kukubur mimpiku, demi ibu yang begitu menyayangiku, bisik hatinya.

***

"Sudah empat tahun Mbak Pon kerja di Singapura, ini malah ada rencana mau nambah kontrak lagi."

"Bagaimana dengan suaminya?"tanya umi, guru ngaji di majelis taklim.

"Itu dia, Umi. Suaminya mengancam akan menikah lagi kalau Mba Pon jadi nambah kontrak. Kasihan anaknya, waktu ditinggal usianya baru dua tahun, nggak tau deh, apa masih mengenali ibunya kalau ketemu nanti."

"Ada selentingan, katanya Mbak Pawiyem mau berangkat juga, jadi TKW ke Hongkong?"

"Tapi Ibu nggak mengizinkan."

"Kenapa?"

"Kata beliau, rizki itu ada di mana-mana, di sinipun banyak, nggak harus jauh-jauh ke Hongkong."

"Banyak hal yang harus dipertimbangkan, ketika seorang wanita berniat menjadi TKW. Dalam tuntunan Islam, seharusnya seorang wanita yang akan pergi jauh, terutama yang tidak terjamin keamanannya, ditemani suami atau mahramnya. Dan lagi, bukankah mencari nafkah merupakan kewajiban suami?"

"Benar, Mi. Tapi kadang-kadang geregetan merasakan hidup yang begini-begini saja, ingin mengubah nasib. Bukankah perubahan harus dari diri sendiri?"

"Benar, tapi apakah nasib hanya akan berubah dengan menjadi TKW? Tidak ada cara lain?"

"Nggak juga sih, tapi kalau saat ini perubahan itu terlihat nyata dari para TKW, contohnya Mba Pon, dia bekerja di Singapura, setiap tiga bulan mengirim uang untuk suami dan anaknya, sekarang mereka sudah punya rumah dan sawah."

"Bagaimana dengan kewajibannya sebagai istri dan ibu? Bukankah itu tugas utamanya?"

"Tapi suaminya mengizinkan, Umi."

"Wah, nggak tau deh kalau yang begitu. Yang Umi tahu, Allah memberi aturan untuk kehidupan yang baik, jika aturan itu dilanggar, akan ada hal yang tidak baik terjadi, bahkan bisa dapat fitnah besar. Keburukan itu bisa terjadi di dunia, misalnya keluarga berantakan, musibah yang terkait dengan hukum, bahkan menimbulkan ketidakharmonisan antar negara, yang jelas akan ada pertanggung jawaban di hadapan Allah tentang apa yang dilakukan di dunia."

"Termasuk suami, Mi?"

"Ya, seorang suami adalah pemimpin dalam keluarga, orang pertama yang akan bertanggung jawab atas ketidaberesan yang terjadi dalam keluarganya."

"Bagaimana dengan pemimpin negara, apakah mereka juga harus bertanggung."

"Ya, sebagai pemimpin mereka bertanggung jawab atas kebijakan yang diberlakukan dan segala efeknya."

"Wah, rumit juga ya urusannya? Awal masalahkan mencari rizki?" gumam Pawiyem.

"Padahal rizki sudah dijamin Allah. Ikuti saja aturan Allah, di manapun kita berada, rizki itu akan diberikan oleh Allah, selama kita mengikuti aturan-aturanNya."

No comments:

Post a Comment