Friday, March 21, 2014

MAAFKAN DITA, BU

"Umi, ada tamu," Harish berteriak dari depan, aku bergegas mengenakan gamis, kaus kaki dan jilbab, sebelum Harish teriak lebih keras.

"Silahkan masuk, Bu Miati," ternyata tetangga blok sebelah.

"Terimakasih, sebentar aja. Umi lagi sibuk?" tanyanya.

"Ada apa ya?" aku balik bertanya.

"Adik sakit lagi, padahal sudah lama nggak kambuh."

"Ibunya Dita? Bisa di bawa ke sini?" tanyaku.

"Sepertinya nggak bisa, Mi."

"Ya sudah, nanti saya ke sana, Sholat dulu, waktunya sudah masuk."

"Ya, Mi, maaf merepotkan, terima kasih sebelumnya. Oh ya, Umi perlu dijemput?"

"Nggak usah, pergi sendiri aja, kan nggak terlalu jauh."

***
Ketika, masuk rumah bu Dita, aku langsung diajak ke kamarnya. Di sana ada Dita, tiga orang ibu tetangganya dan dua anak balita, mungkin anak ibu yang hadir di situ.

Kuperhatikan ibunya Dita di tempat tidur, bernafas satu-satu sambil tangan kanannya menekan dada sebelah kiri, tampak raut mukanya menahan sakit yang luar biasa. Aku menghela nafas, sakit sekali nampaknya.

"Kepalanya sakit?" tanyaku, ibu Dita menggeleng. Selama ini ibu Dita punya penyakit kambuhan, nyeri kepala yang luar biasa. Ibu Dita pernah cerita, kalau sedang kambuh, ingin rasanya membentur-benturkan kepalanya ke tembok. Sebenarnya sudah berobat, di scan, bahkan pernah akan dioperasi, tapi bisa ditangguhkan. Memang intensitas kambuhnya berkurang, tapi tidak bisa dikatakan sembuh total.

Kuraba suhu tangan, kaki dan dahinya memperkirakan suhu tubuh. Kuperhatikan ekspresi wajahnya, periksa denyut nadi dan lidah, kemudian berbisik ke Dita yang duduk di sisinya.

"Ibu tadi barusan marah?"

Dita mengangguk. Hmmm.

"Dari jam berapa ini?" tanyaku pada yang hadir.

"Setengah tiga, Mi," jawab salah satu ibu di situ, kulirik jam dinding, hmmm jam empat.

Setelah yakin dengan diagnosa, segera kulakukan penusukan dengan jarum akupunktur. Kuambil beberapa titik tersangka, tidak terlalu banyak, sambil melihat reaksinya. Ibu Dita tampak kesakitan, lebih kuat lagi menekan dadanya. Kucabut jarum yang sekiranya membahayakan karena gerakan ibu Dita.

Kuminta yang hadir unuk menunggu di luar kamar, kecuali Dita dan ibu Miati.

Aku beralih posisi, duduk di sebelah kepalanya. Kubelai dahinya sambil berbisik.

"Ibu, tolong maafkan Dita, ikhlaskan, serahkan semua masalah pada Allah. Obatnya ada di dalam diri Ibu, perlahan hilangkan kemarahan, saya hanya membantu sedikit. Maafkan Dita, anak yang Ibu sayangi, anak yang nantinya akan mendoakan Ibu, tolong maafkan."

Aku tak sanggup menahan air mata, aku ingat saat bermasalah dengan anakku yang seusia Dita, usia pemberontak, dan itu berulang terjadi. Aku seakan merasakan sakit yang dialami ibunya Dita.

Dita segera mencium tangan ibunya, menangis tak bersuara. Ibu Miatipun tak sanggup membentung aliran air matanya.

Ibu Dita merasakan sakitnya bertambah, kulihat ada yang ditahannya.

"Ibu, keluarkan semua yang membuat sakit, menangislah. Allah Maha Pemaaf, senang dengan yang memaafkan. Istighfar, Ibu. . . Istighfar!"

Ibu Dita menangis, masih sambil menekan dadanya," Astaghfirullah. . .Ampuni aku yaa Allah..." diucapkannya itu berulang-ulang, sambil tangan kirinya membelai kepala Dita.

Aku menanti sampai gejolak jiwanya agak mereda. Hampir dua puluh menit.

"Berkurang Bu, sakitnya?" tanyaku, ia menggangguk.

"Ibu sudah kuat duduk?"tanyaku lagi, dia mencoba bangun untuk duduk, tapi terhempas lagi, sambil menggelengkan kepala, masih sambil menangis.

"Kalau tengkurap bisa? Saya mau tusuk punggung ibu, biar cepat reda, Ibu belum sholatkan? Sekarang sudah setengah lima." Ibu Dita berusaha mengubah posisinya, tengkurap. Setelah berhasil, mulai kutusuk titik-titik tersangka.

Air matanya masih menetes, matanya setengah terpejam, tapi nafasnya sudah mulai teratur.

Setelah waktunya cukup, jarum kucabut satu persatu.

"Ibu sudah boleh terlentang, bisa?"

Ibu Dita mengangguk, dan membalikkan tubuhnya.

"Masih sakit?"

"Tinggal sedikit lagi, Mi."

"Yakin?"

"Iya, Mi, terima kasih banyak."

"Sudah bisa saya tinggal?"

Ibu Dita mengangguk, mantap.

"Alhamdulillah, Allah Yang Maha Menyembuhkan. Saya pulang dulu ya, segera sholat. Kalau belum kuat berdiri, sambil duduk aja."

"Iya, Mi, terima kasih banyak.

***

Penyakit yang disebabkan gangguan emosi, lebih berbahaya dibanding karena gangguan cuaca atau kuman. Beberapa kali aku menangani kasus dengan sebab yang sama, walaupun efeknya berbeda-beda. Ada yang seperti ibu Dita, ada pingsan setelah emosinya memuncak, dan lain-lain.

Itu sebabnya dalam pengobatan, kondisi psikologis pasien harus mendapatkan perhatian dengan porsi yang seimbang.

No comments:

Post a Comment