Sunday, March 9, 2014

USTADZAH KOMPLEK

"Umi nih aneh, orang mah maju, Umi mundur, orang lain naik, Umi turun."

"Ono opo tho cah ayu. isuk-isuk wes nggremeng."

 "Semalam Hany liat foto-foto Umi waktu Hany bayi, anak Umi baru tiga. Umi bisa pimpin organisasi tingkat propinsi, ikut whork shop di Jakarta, ngisi acara yang pesertanya ratusan, bedah buku di kampus, kok sekarang Umi hanya jadi ustadzah di komplek?"

"Aha ha, Umi mah banyak excusenya."

"Maksudnya?"

"Umi tahu, seharusnya dan biasanya, orang akan semakin maju di bidangnya. Tapi Umi nggak melakukan itu, ada bidang lain yang lebih prioritas untuk Umi perhatikan."

"Belum ngerti, Mi."

"Dulu, waktu anak Umi tiga, masih kecil-kecil, Umi bisa ke mana-mana dengan membawa tiga anak, tapi saat itu kebutuhan belum begitu banyak. Waktu terus berjalan, anak bertambah jumlahnya, semakin banyak butuh biaya, mau tidak mau Umi ikut memikirkan bagaimana cara membantu abi memenuhi kebutuhan, otomatis waktu untuk urusan keluarga lebih banyak dan mengurangi waktu untuk kegiatan-kegiatan itu."

"Tapi Umi nggak ninggalin kegiatan itukan?"

"Nggak bisa dan nggak mau."

"Maksud Umi?"

"Itu kebutuhan. Kegiatan sosial, terutama dakwah merupakan sesuatu yang harus ada dalam hidup, itu komitmen Umi. Walaupun porsinya dikurangi, tapi hidup Umi tetap di sana."

"Oo, jadi itu sebabnya sekarang Umi hanya jadi ustadzah komplek?"

"Ya lumayanlah, malah itu bisa jadi cermin. Murid Umi tahu kehidupan keseharian Umi, dan melihat bagaimana Umi menerapkan ilmu yang Umi sampaikan dalam kehidupan nyata. Itu sangat membantu Umi untuk tidak terjebak pada kehidupan luar dalam yang berbeda."

"Munafik, gitu, Mi?"

"Huss! Jangan terlalu mudah menggunakan istilah yang berat konskuensinya."

"Berat gimana, Mi? Munafikkan artinya beda hati dengan ucapan dan perbuatan?"

"Orang munafik itu tempatnya di kerak neraka, munafik yang sebenarnya itu hatinya tidak beriman tapi mengaku beriman dan melakukan perbuatan seperti orang beriman untuk mencari keuntungan dunia."

"Ih, serem banget dan berbahaya sekali orang seperti itu?"

"Makanya, jangan mudah melabel seseorang dengan istilah itu, memang Hany mau dibilang munafik hanya karena belum bisa melaksanakan kebaikan yang ilmunya sudah diketahui?"

"Ya nggak lah, Mi. Emmm. . .memang Umi nggak sayang kehilangan kesempatan?"

"Kesempatan apa?"

"Kesempatan jadi populer, pengikutnya banyak, seperti teman-teman Umi yang lain, ada yang jadi aleg, pejabat, ustadzah ngetop, pemimpin organisasi, dsb."

"Kebahagiaan orangkan beda-beda, Hany. Umi bahagia dengan memprioritaskan urusan anak-anak, biarlah Umi seperti sekarang, yang penting masih berguna, masih bisa melakukan sesuatu untuk dakwah walaupun sedikit, biarlah nanti anak-anak Umi yang jadi ulama besar, bisa berkontribusi untuk dakwah dengan skala besar. Biarlah Umi nggak populer di mata manusia, yang penting ada sedikit catatan kebaikan dihadapan Allah yang menjadi sebab Allah memberikan RahmatNya ke Umi."

"Amin."


2 comments: