Friday, March 14, 2014

HARUSKAH AKU MENOLAKNYA?

"Hany, tolong siapkan tempat untuk pengajian," pintaku, sambil menahan rasa sakit yang sedang dipuncak-puncaknya.

"Pasang karpet, Mi?" Hany memastikan apa mauku.

"Ya, sekalian siapkan minum dan buah yang sudah Abi beli tadi."

"Umy bisa ikut pengajian?" Hany menghampiriku di kamar belakang.

"Entahlah. . . kalau nggak tahan, Umi mau tiduran di kamar depan, sambil mendengarkan."

Ketika teman-teman berdatangan, benar, aku nggak kuat duduk lama, perut terasa mual, akhirnya aku menyerah, tiduran di kamar depan, sambil mendengarkan jalannya pengajian, timbul tenggelam, karena pengaruh akupunktur tadi membuatku ngantuk dan sekali-kali terlelap.

Harish, bungsuku sibuk keluar masuk kamar, setiap masuk menyempatkan memegang dahiku, sambil berujar, "Huh, masih panas." sambil tak lupa menciumku, entah itu pipi, mata, dahi kadang bibir.

Harish tertidur di sebelahku, dikitari mainannya. Satu-satu temanku berpamitan dan mendoakan kesembuhanku.

"Syafakillah, afwan Mba, dah ngrepotin."

"Amin, jazakillah, nggak ada yang direpotkan kok, afwan, nggak bisa ikut sampai tuntas."

"Untung nggak ada pasien, Mbak?"

"Semoga," jawabku penuh harap.

***

Ternyata harapku sore ini tak dipenuhi olehNya, baru saja teman-teman pamit, sudah ada yang datang, menjelang maghrib.

"Mi, pak Har," Abi mengabari.

"Gimana, Bi?" tanyaku ragu.

"Lha Umi bisa nggak?" tanyanya, mengkhawatirkanku.

"Kasihan kalau ditolak. Beliau mau ke sini sudah pakai perjuangan berat, sudahlah, Umi tangani, suruh sholat dulu, umi juga mau sholat, semoga beberapa menit ini Allah tambah kekuatan." harapku.

Pak Har pasien rutin, ini kedatangannya yang ke lima. Pasca stroke. Keluarganya sangat senang melihat perkembangannya, mereka sangat mendukung, walau sebenarnya kasihan kalau mendengar erangannya saat dirusuk jarum. Memang banyak yang trauma dengan jarum, tapi demi ikhtiar dan kesembuhan, trauma itu coba dilawan.

Kucoba melawan rasa sakit di kepala dan mual di perut, kusempatkan minum herbal untuk mengurangi mual. Walau sulit ditutupi, pucat wajahku agak berkurang terkena wudhu dan sedikit polesan bedak bayi.

Aku bersyukur, dengan membuka praktek terapi di rumah, kondisi sakitpun masih bisa menolong orang sakit.
Memang berat, tapi aku tetap berusaha, bagaimanapun kondisinya, berusaha memanfaatkan peluang yang ada untuk memberi manfaat kepada orang lain. Bukankah itu sebaik-baiknya manusia?

2 comments: