Saturday, March 15, 2014

JER BASUKI MAWA BEA

"Mi, tolong pasangin dong," Harish mengulurkan selembar plastik ukuran seperempat kilogram, setelah kuterima, diulurkan tangan kanannya, sedang tangan kiri sudah terbungkus plastik.

"Harish ngambil plastik di mana?" tanyaku, setelah menyadari bahwa plastik yang diulurkannya masih baru, belum dipakai.

"Ngambil di lemari piring," jawabnya sambil menungguku memasang plastik di tangannya.

"Kok nggak cari yang sudah dipakai aja, yang di lemarikan untuk bawa sayur bekal mbak ke sekolah?"

"Nggak apa-apa sih, Mi, kan masih ada."

"Kalau abis gimana?"

"Ya beli lagilah." jawabnya tegas.

Lha iyalah, batinku, memang minta? Tapi maksudku, ya jangan boros, kalau untuk mainan kan bisa pakai yang bekas. Lah, sudahlah, malah berpanjang kata nanti, biarlah, toh hanya plastik.

"Harish mau ngapain sih, kok tangannya dibungkus plastik?"

"Mau dandan pesawat."

"Kok tangannya dibungkus?"

"Ya nggak pa pa lah, Umi aja kalau akupunktur tangannya dibungkus," jawabnya, ups, Jaka Sembung, nggak nyambung. Aku hanya senyum-senyum melihat tingkahnya. Selesai kupasangkan plastik ditangannya, mulai dia pegang dua jenis obeng, yang biasa dan obeng cengkih.

***

"Mi, udah selesai," Harish teriak, membuatku mengalihkan perhatian dari monitor.

Masyaallah! Kulihat pesawat yang baru dibelikan mbaknya kemarin sudah prothol semua.

"Lho, kok diprotholin sih, nggak bisa dipake lagi dong?"

"Umi bisa pasangin lagi nggak?" tanyanya.

"Lha Harish yang mrotholin bisa masangin lagi nggak?" tanyaku.

Dia diam, tak menjawab, sambil mengamati pesawatnya yang sudah tak berbentuk lagi. Akhirnya, dia gelengkan kepalanya perlahan.

"Nggak bisa, Mi." jawabnya lirih.

"Lha Harish yang mrotholin aja nggak bisa pasang lagi, gimana Umi?"

Harish menatapku lekat, agak melongo juga sih, he he.

"Umi nggak marah?"

"Harish pengen Umi marah?" tanyaku balik bertanya, Harish menggelengkan kepala.

"Umi nggak marah, tapi jangan minta beliin lagi ya?" kataku, Harish mengangguk, senyum senang.

"Lain kali, kalau mau bongkar mainan, perhatikan dulu, biar bisa masang lagi," nasihatku, Harish mengangguk, entahlah, dia mengerti atau tidak maksudku.

Ini bukan yang pertama, sudah berulang barang rusak karena kreatifitasnya. Tutup panci yang dijadikan drum sampai peot, tidak jelas bentuk aslinya. Laptop yang berulang kali harus direparasi, sendok sayur, centong nasi yang sering berpindah tempat ke ruang tamu atau kamar tidur, sisir yang berulang kali harus beli, dan banyak lagi.

Tapi itu semua kuanggap sebagai biaya untuk kreatifitas yang berkembang, mengikuti salah satu falsafah jawa

"Jer Basuki Mawa Bea" yang biasa diartikan " Sebuah kesuksesan membutuhkan biaya/ pengorbanan/ perjuangan"

No comments:

Post a Comment