Aku kenal suasana dakwah pada tahun
1985, ketika ikut mata kuliah umum Agama Islam, sebagai mata kuliah yang harus
di ambil oleh setiap mahasiswa. Dalam mata kuliah tersebut ada kegiatan ekstra
kulikuler yang menyertainya dan merupakan syarat kelulusan, yaitu kegiatan
mentoring. Dalam kegiatan tersebut peserta di kelompokkan dengan jumlah
sekitar 10 orang dengan satu orang Pembina yang berasal dari kakak tingkat,
tujuannya agar pembahasan dan kajian tentang Islam lebih efektif dan mendalam,
dibandingkan dengan kuliah umum yang pesertanya bisa ratusan.
Kehidupan dakwah menyertai
langkahku,selanjutnya walau dengan intensitas yang pasang surut. Dakwah juga
yang mengantarku memasuki kehidupan berkeluarga, mempengaruhi visi misi
pembentukan keluarga, mendidik anak, bahkan pemilihan profesi, hingga kini,
insayallah hingga mati. Setiap keputusan yang kuambil dalam jeda jeda
kehidupanku selalu mempertimbangkan factor dakwah dalam prosesnya.
Pahit manis kehidupan dalam lingkungan
dakwah aku nikmati, saat kesabaran harus dibuktikan ketika merasakan beban yang
tidak ringan, saat hati harus memaafkan ketika menghadapi rekan yang menyakiti,
saat indah merasakan jalinan ukhuwah dalam perlanan dakwah, saat bahagia
melihat perubahan pada obyek dakwah, saat air mata menggenang menyaksikan teman
teman yang gugur dari jalan ini. Alhamdulillah, Allah mengizinkanku tetap di
jalan ini, walaupun mungkin peranku hanya secuil dalam proses perbaikan umat,
aku tak perduli.
Walaupun posisiku tetap jalan di tempat sedangkan teman
temanku sudah melesat, walaupun kadang terasa miris ketika tak ada apresiasi
yang aku terima, aku tidak peduli, aku tetap di disini, karena aku di sini
bukan untuk di apresiasi, bukan untuk di puji, tapi aku disini karena aku harus
di sini, berputar bersama bergulirnya dakwah ini, karena aku disini bekerja
untuk Allah, bukan untuk selainNya.
Berbagai jenis aktivitas dakwah aku coba
jalani, sesuai kebutuhan dakwah yang melingkupiku. Ketika kuliah aku ikut
menjadi mentor dan aktif di organisasi mahasiswa Islam di luar kampus. Setelah
lulus dan berkeluarga aku ikut dalam aktivitas pembinaan Taman Pendidikan Al
quran (TPA) termasuk membina orang tua dari murid murid TPA, kalau di butuhkan
tetap masuk kampus sebagai nara sumber acara kajian buku dsb, membina Majelis
Ta’lim di masyarakat, nara sumber di radio islami, lewat tulisan di bulletin, partai
dsb.
Yang akan aku ceritakan ini, tentang
dakwahku dilingkungan. Bagiku,yang lebih berhak merasakan kebaikan seseorang
adalah orang yang terdekat dengan dirinya,yaitu keluarga dan tetangganya. Aku
prihatin ketika mengetahui ada dai kondang, tetapi tetangganya tidak merasakan
kedaiannya, lebih prihatin lagi kalau tetangga jadi saksi ketidak konsistenan
sang dai dengan yang di dakwahkannya.
Akhir tahun 2000, Alhamdulillah kami di
izinkan Allah menempati rumah sendiri, sebuah rumah tipe 36 di sebuah komplek
perumahan. Setelah sedikit di permak, kami beranikan diri memasuki lingkungan
baru. Baru, karena sebelumnya kami tidak tinggal di komplek, dan sebenarnya aku
kurang sreg dengan suasana komplek, karena informasinya kehidupan komplek tidak
nyaman, rawan gossip. Aku kepincut dengan yang ini karena posisinya dipojok. Di
sebelah kananku rumah tetangga, sebelah kiri jalan, belakang rumah tetangga,
depan jalan, di seberang kedua jalan tidak ada rumah, tanah kosong dan
persawahan.
Setengah tahun aku belum melakukan
langkah dakwah yang berarti, baru adaptasi dan memahami karakter beberapa
tetangga yang sudah ada, memprediksi perkembangan komplek ke depan,melihat
kebutuhan masyarakat, dsb.
Pada saat ini aku mencari orang yang potensial
mendukungku dalam langkah ke depan, Alhamdulillah, tidak terlalu sulit, Seorang
istri salah satu RT, membuka warung, sering bermasalah dengan pergosipan, terkait dengan keberadaan warung tempat berkumpulnya
ibu-ibu komplek. Pertimbanganku, beliau yang
dilingkungan di panggil Bude, bisa menjadi corong dakwah di komplek ini, baik
sebagai istri RT,atau pemilik warung.
Setelah kufahami, baru aku buat rencana,
tentunya bersama suami. Aku akan membuka TPA memanfaatkan ruang keluarga yang
berukuran 4 x 5 yang tidak terlalu banyak berisi perabot.
Kulibatkan Bude dalam proses pendirian
TPA ini, juga ku gandeng tetangga yang juga aktivis dakwah, tetangga yang punya
potensi mengajar, dsb. Setelah rencana ku susun, kubicarakan, pembagian tugas
mengajar ngaji, mulailah kegiatan TPA di mulai dengan anak anak guru TPA
sebagai murid, di tambah anak anak tetangga terdekat, tidak lebih dari 15
orang. Setiap hari perjalanan TPA ku evaluasi, hingga sebulan kemudian aku
kumpulkan guru guru untuk minta dukungannya membentuk POS ( Pengajian Orangtua
Santri}.
Alhamdulillah mereka setuju. Langkah selanjutnya? Berjalan mulus. POS
membentuk pengurus dari unsur guru dan orang tua santri, sedang aku? Diangkat
jadi Pembina dan member materi kajian pada setiap pertemuan rutin POS sebulan
sekali. Setelah berjalan tiga tahun, terpaksa TPA di pindahkan ke rumah guru
guru, ada tiga tempat. Yah , kuanggap itu pemekaran, Alhamdulillah, TPA yang
kubentuk merupakan pintu dakwah dilingkunganku, hingga saat ini. Sampai saat
ini TPA terus berjalan, POS tetap berjalan, di tambah dengan terbentuknya
kelompok kajian ibu ibu per RT yang pertemuannya setiap pekan, selain Majelis
Ta’lim bulanan di masjid komplek.
Aku nyaman dengan hal ini, karena dakwah
linkungan juga sebagai kontrol dalam kehidupanku sebagai panutan.
Alhamdulillah, aku bisa memberikan manfaat ke lingkungan terdekatku, walau
hanya secuil dari pernik pernik dakwah, tapi sebuah bentuk tidak sempurna kalau
berkurang secuil. Semoga Allah menerima apa yang kulakukan sebagai sebuah bukti
penghambaanku.
aamiin....aamiin...YRA
ReplyDeleteamin, barokallah
Deletemengharukan bu, tapi juga buat aku malu. :(
ReplyDeleterasa malu itu energi positif, ketika kita mampu mengelolanya dg baik
Deleteinspiratif banget Bu. Pengen banget seperti itu..(ghirahnya)
ReplyDeleteAlhamdulillah, barokallah. Setiap kita punya ghirah, yang harus selalu dinyalakan agar hidup ini berarti.
Delete