Friday, March 21, 2014

PEGANG KEPALANYA


Aku kenal suasana dakwah pada tahun 1985, ketika ikut mata kuliah umum Agama Islam, sebagai mata kuliah yang harus di ambil oleh setiap mahasiswa. Dalam mata kuliah tersebut ada kegiatan ekstra kulikuler yang menyertainya dan merupakan syarat kelulusan, yaitu kegiatan mentoring.  Dalam kegiatan  tersebut peserta di kelompokkan dengan jumlah sekitar 10 orang dengan satu orang Pembina yang berasal dari kakak tingkat, tujuannya agar pembahasan dan kajian tentang Islam lebih efektif dan mendalam, dibandingkan dengan kuliah umum yang pesertanya bisa ratusan.

Kehidupan dakwah menyertai langkahku,selanjutnya walau dengan intensitas yang pasang surut. Dakwah juga yang mengantarku memasuki kehidupan berkeluarga, mempengaruhi visi misi pembentukan keluarga, mendidik anak, bahkan pemilihan profesi, hingga kini, insayallah hingga mati. Setiap keputusan yang kuambil dalam jeda jeda kehidupanku selalu mempertimbangkan factor dakwah dalam prosesnya.

Pahit manis kehidupan dalam lingkungan dakwah aku nikmati, saat kesabaran harus dibuktikan ketika merasakan beban yang tidak ringan, saat hati harus memaafkan ketika menghadapi rekan yang menyakiti, saat indah merasakan jalinan ukhuwah dalam perlanan dakwah, saat bahagia melihat perubahan pada obyek dakwah, saat air mata menggenang menyaksikan teman teman yang gugur dari jalan ini. Alhamdulillah, Allah mengizinkanku tetap di jalan ini, walaupun mungkin peranku hanya secuil dalam proses perbaikan umat, aku tak perduli. 

Walaupun posisiku tetap jalan di tempat sedangkan teman temanku sudah melesat, walaupun kadang terasa miris ketika tak ada apresiasi yang aku terima, aku tidak peduli, aku tetap di disini, karena aku di sini bukan untuk di apresiasi, bukan untuk di puji, tapi aku disini karena aku harus di sini, berputar bersama bergulirnya dakwah ini, karena aku disini bekerja untuk Allah, bukan untuk selainNya.

Berbagai jenis aktivitas dakwah aku coba jalani, sesuai kebutuhan dakwah yang melingkupiku. Ketika kuliah aku ikut menjadi mentor dan aktif di organisasi mahasiswa Islam di luar kampus. Setelah lulus dan berkeluarga aku ikut dalam aktivitas pembinaan Taman Pendidikan Al quran (TPA) termasuk membina orang tua dari murid murid TPA, kalau di butuhkan tetap masuk kampus sebagai nara sumber acara kajian buku dsb, membina Majelis Ta’lim di masyarakat, nara sumber di radio islami, lewat tulisan di bulletin, partai dsb.

Yang akan aku ceritakan ini, tentang dakwahku dilingkungan. Bagiku,yang lebih berhak merasakan kebaikan seseorang adalah orang yang terdekat dengan dirinya,yaitu keluarga dan tetangganya. Aku prihatin ketika mengetahui ada dai kondang, tetapi tetangganya tidak merasakan kedaiannya, lebih prihatin lagi kalau tetangga jadi saksi ketidak konsistenan sang dai dengan yang di dakwahkannya.

Akhir tahun 2000, Alhamdulillah kami di izinkan Allah menempati rumah sendiri, sebuah rumah tipe 36 di sebuah komplek perumahan. Setelah sedikit di permak, kami beranikan diri memasuki lingkungan baru. Baru, karena sebelumnya kami tidak tinggal di komplek, dan sebenarnya aku kurang sreg dengan suasana komplek, karena informasinya kehidupan komplek tidak nyaman, rawan gossip. Aku kepincut dengan yang ini karena posisinya dipojok. Di sebelah kananku rumah tetangga, sebelah kiri jalan, belakang rumah tetangga, depan jalan, di seberang kedua jalan tidak ada rumah, tanah kosong dan persawahan.

Setengah tahun aku belum melakukan langkah dakwah yang berarti, baru adaptasi dan memahami karakter beberapa tetangga yang sudah ada, memprediksi perkembangan komplek ke depan,melihat kebutuhan masyarakat, dsb. 

Pada saat ini aku mencari orang yang potensial mendukungku dalam langkah ke depan, Alhamdulillah, tidak terlalu sulit, Seorang istri salah satu RT, membuka warung, sering bermasalah dengan pergosipan, terkait dengan keberadaan warung tempat berkumpulnya ibu-ibu komplek. Pertimbanganku, beliau yang dilingkungan di panggil Bude, bisa menjadi corong dakwah di komplek ini, baik sebagai istri RT,atau pemilik warung.
Setelah kufahami, baru aku buat rencana, tentunya bersama suami. Aku akan membuka TPA memanfaatkan ruang keluarga yang berukuran 4 x 5 yang tidak terlalu banyak berisi perabot.

Kulibatkan Bude dalam proses pendirian TPA ini, juga ku gandeng tetangga yang juga aktivis dakwah, tetangga yang punya potensi mengajar, dsb. Setelah rencana ku susun, kubicarakan, pembagian tugas mengajar ngaji, mulailah kegiatan TPA di mulai dengan anak anak guru TPA sebagai murid, di tambah anak anak tetangga terdekat, tidak lebih dari 15 orang. Setiap hari perjalanan TPA ku evaluasi, hingga sebulan kemudian aku kumpulkan guru guru untuk minta dukungannya membentuk POS ( Pengajian Orangtua Santri}. 

Alhamdulillah mereka setuju. Langkah selanjutnya? Berjalan mulus. POS membentuk pengurus dari unsur guru dan orang tua santri, sedang aku? Diangkat jadi Pembina dan member materi kajian pada setiap pertemuan rutin POS sebulan sekali. Setelah berjalan tiga tahun, terpaksa TPA di pindahkan ke rumah guru guru, ada tiga tempat. Yah , kuanggap itu pemekaran, Alhamdulillah, TPA yang kubentuk merupakan pintu dakwah dilingkunganku, hingga saat ini. Sampai saat ini TPA terus berjalan, POS tetap berjalan, di tambah dengan terbentuknya kelompok kajian ibu ibu per RT yang pertemuannya setiap pekan, selain Majelis Ta’lim bulanan di masjid komplek.

Aku nyaman dengan hal ini, karena dakwah linkungan juga sebagai kontrol dalam kehidupanku sebagai panutan. Alhamdulillah, aku bisa memberikan manfaat ke lingkungan terdekatku, walau hanya secuil dari pernik pernik dakwah, tapi sebuah bentuk tidak sempurna kalau berkurang secuil. Semoga Allah menerima apa yang kulakukan sebagai sebuah bukti penghambaanku.


6 comments:

  1. mengharukan bu, tapi juga buat aku malu. :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. rasa malu itu energi positif, ketika kita mampu mengelolanya dg baik

      Delete
  2. inspiratif banget Bu. Pengen banget seperti itu..(ghirahnya)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah, barokallah. Setiap kita punya ghirah, yang harus selalu dinyalakan agar hidup ini berarti.

      Delete