Monday, March 17, 2014

HANYA SATU TUGAS ISTRI


Dua puluh dua tahun tentunya bukan waktu yang sebentar untuk memahami seseorang luar dalam. Dan itu kesimpulanku tentang perjalanan kehidupan kami merenda kasih sebagai suami istri.

Suamiku bukan tipe romantis, yang mudah mengucapkan kata cinta, apalagi memberi hadiah setangkai mawar sebagai ungkapan cinta atau maaf ketika melakukan kesalahan atau menyakiti hatiku.

Bukan juga yang suka obral janji atau suka memuji-muji.

Di awal pernikahan aku sempat kecewa, karena pernikahanku tak seindah yang kubayangkan sebelumnya, seperti yang kubaca di novel-novel percintaan. Tapi aku berusaha untuk menerima kondisi itu dan melupakan angan-angan yang pernah kuukir sebelumnya.

Aku menikah tanpa pacaran atau pedekate sebelumnya.

Aku menikah bukan karena mencintainya dan sepertinya dia juga begitu.

Aku menerimanya karena percaya pada yang merekomendasikannya.

Aku menikah karena ingin segera mewujudkan impianku berkeluarga dengan dasar nilai-nilai Islam.

Aku menikah karena ingin segera memulai proses pembentukan generasi robbani.

Dan aku harus mempersiapkan diri dengan segala kemungkinan model lelaki yang menjadi suami.

Dia takdir pilihanku, dan harus menjalaninya sekemampuan yang kumiliki.

TERNYATA SUAMIKU HANYA GURU TPA

Sebelum menikah, memang aku tak pernah berkomunikasi verbal dengannya. Semua informasi tentangnya hanya kuperoleh dari senior yang merekomendasikan, dan sebagai perempuan jawa, hal-hal yang bersifat materi tabu untuk ditanyakan. Sayangnya sang senior tidak memberitahukan padaku, apa profesi calon yang diajukannya. Aku hanya menduga berdasarkan pendidikan terakhirnya, FKIP D3 Bahasa Indonesia.

Di hari ketiga setelah pernikahan, di saat saudara handai taulan sudah kembali ke kotanya masing-masing, saat kami bisa mengobrol saling mengenal lebih dalam.

“Mas, ngajar di mana?” kubuka percakapan tentang profesinya.

“Mas ngajar TPA,” jawabnya.

“TPA apa sih Mas?” tanyaku lugu, aku memang benar-benar belum tahu. Tahun 1991 TPA belum semarak sekarang.

“Taman Pendidikan AlQuran,” jawabnya singkat.

“Setingkat apa itu Mas?” ck ck ck lugunya diriku saat itu.

“TPA bukan pendidikan formal, Nduk. Itu nama lain dari tempat belajar baca Al Quran seperti di masjid dan mushola, tapi menggunakan metode yang berbeda dan dikelola dengan lebih baik lagi. . .” dia menjelaskan panjang lebar tentang profesinya.

Tetap saja aku belum berani bertanya, berapa gajinya dan sebagainya, biarlah, yang jelas aku yakin, sebagai orang beriman dia akan menafkahiku dengan yang halal dan thoyyib.

AKU TAK AKAN PERNAH MARAH PADAMU

Kehidupanku berjalan seperti pada umumnya aktifis dakwah, tak ada kemewahan, yang ada bagaimana bekerja keras memenuhi nafkah keluarga tanpa meninggalkan kegiatan-kegiatan dakwah..

30 Mei 1993

Anak pertama kami lahir, sayang, Allah belum mengijinkan kami mengasuhnya. Saat-saat yang sangat mengharukan, bagaimana kami saling menguatkan.

Aku mengkhawatirkan suami, lebih-lebih suami. Kami berburu cepat menghibur, tapi aku mendapat kesempatan lebih dulu menunjukkan ketegaran.

Saat dia masuk ruang persalinan, aku sedang dibersihkan oleh bidan setelah bayi keluar.

“Mas, sabar ya,” hiburku tanpa setetes air mata pun, aku juga heran, bisa setabah ini.

“Ya ya ya,” hanya itu yang mampu diucapkannya.

Sebulan setelah kelahiran anak pertamaku, saat ngobrol santai, ada ungkapannya yang membuatku begitu terharu.

“Menyaksikan perjuangan Nduk melahirkan anak kita, Subhanallah. Sejak saat itu Mas berjanji, nggak akan pernah marah sama Nduk.”

Allahu Akbar!

Dan janji itu dia buktikan sampai sekarang, tak pernah marah padaku. Yang kumaksud marah di sini adalah membentak dan yang lebih dari itu. Kalau ada yang tidak disukainya dari sikapku, dia akan mengatakannya, dan bila tak juga ada perubahan, dia akan mengurangi bicara.

TUGAS ISTRI HANYA SATU

Penghasilan sebagai guru TPA jelas tidak mencukupi untuk kehidupan kami yang sudah mempunyai anak. 

Memang aku Sarjana Pendidikan, tapi aku sudah meniatkan tidak akan bekerja di luar rumah demi anak-anakku, dan suami mendukung. Bagiku, tugas utamaku sebagai seorang istri dan ibu bagi anak-anak tidak akan sempurna jika aku harus bekerja di luar rumah dengan jam kantor yang harus kujalani.

Selain membantu  suami mengajar TPA, aku juga menerima jahitan, terutama baju seragam anak-anak TPA dan pesanan orang tua santri TPA.

Setelah melahirkan anak ketiga, tahun 1997, aku mulai menangani konveksi partai besar. Melayani pembuatan seragam Sekolah Dasar Islam dan beberapa TPA di daerah, terkait tugas suami yang sering mengisi pelatihan metode membaca Al Quran Sistem Iqro.

Tenaga kerja yang membantu saat itu sampai duabelas orang, dengan berbagai sistem. Ada yang inggal di rumah, ada yang datang pagi pulang sore, ada juga yang hanya mengambil bahan yang sudah dipotong dan dijahit di rumah masing-masing.

Sebanyak apapun pesanan, untuk memotongnya tetap aku sendiri yang melakukan, karena kecermatan menghitung dan cara memotong sangat menentukan keuntungan yang diperoleh.

Mengurus bayi, memotong bahan, deadline, itu hal-hal yang sering jadi tekanan dan membuatku sering kelelahan. Akibatnya?

“Nduk, Mas menikah dengan niat menjadikan Nduk sebagai istri di dunia dan di surga, insyaallah. Maka tolonglah saling bantu.” Katanya di suatu malam.

Aku belum mengerti apa maksudnya, aku diam membisu. Adakah kaitannya dengan sikap engganku memenuhi keinginannya? Malam itu aku merasakan sangat lelah, seperti malam-malam sebelumnya, karena mengejar deadline pesanan seragam sebuah sekolah.

“Mas ngerti banget, Nduk lelah dengan segala tanggung jawab yang semakin ke belakang semakin meningkat. Mas minta maaf, karena belum bisa memenuhi nafkah keluarga sendirian, yang menjadi tanggung jawab sebagai pemimpin keluarga, sehingga Nduk ikut-ikut mengerjakan yang seharusnya jadi tanggung jawab Mas.”

Aku masih tekun mendengarkan sambil menyusui bayi.

“Mas tidak menuntut yang banyak, Mas rela jika Nduk nggak sempat masak, kita makan beli makanan matang, Mas juga nggak menuntut rumah harus selalu rapi, juga nggak masalah kalau Mas yang harus belanja dapur atau mencuci dan menyetrika, karena memang bagi Mas, itu semua bukan tugas pokok seorang istri. Satu saja yang Mas harapkan, jangan pernah menolak ketika Mas membutuhkan, terlalu berat bagi Mas harus menahannya. Di luar sana begitu banyak pandangan yang mengganggu, dan hanya satu yang bisa Mas lakukan, kembali menghampiri Nduk. Jadi tolong, untuk urusan yang satu ini, bantu Mas ya?”

Aku tak tahan lagi, aku menangis sejadi-jadinya, kupeluk suami dengan erat, aku benar-benar khilaf, aku minta maaf sebesar-besarnya. Aku mohon ampun kepada Allah, aku bertaubat.

Ya Allah, aku hampir saja menjadi istri durhaka untuk seorang suami yang begitu menyayangiku. Ampuni hamba ya Allah.

Dan sejak itu aku berjanji, tak akan pernah menolaknya, selelah apapun. Aku sadar, begitu beruntungnya mempunyai suami yang tidak banyak menuntut, hanya satu yang dimintanya, dan itupun tidak sulit aku memenuhinya. Dia lelaki normal, tidak hiper, apalagi alasanku? Sejak itu aku berusaha menata hati, ketika dia menginginkan, aku usahakan untuk ikhlas melayaninya, toh ini ibadah yang penuh berkah.

Apa yang dijanjikan selalu ditepati, dia tidak pernah memarahiku hingga saat ini. Diapun tak pernah memprotes segala kekuranganku untuk urusan rumah tangga, kalau dilihat ada yang tak beres, maka akan dikerjakannya atau meminta anak-anak untuk membereskannya.

Aku benar-benar dimanjakan, terutama untuk urusan spesialnya. Pagi hari saat aku dibangunkan, sudah tersedia air hangat untuk mandi wajib. Setelah mandipun selalu disempatkan memoleskan minyak penghangat di tubuhku supaya tak kedinginan.

Subhanallah, maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang hendak engkau dustakan? Tidak ada ya Allah, aku bersyukur atas nikmat suami sholeh yang telah Kau berikan untukku. Berkahilah pernikahan kami ini sampai di surgamu nanti, bersama anak-anak sholeh-sholehah yang telah Kau titipkan pada kami.

Amin.

No comments:

Post a Comment