Dua puluh dua tahun tentunya bukan
waktu yang sebentar untuk memahami seseorang luar dalam. Dan itu kesimpulanku
tentang perjalanan kehidupan kami merenda kasih sebagai suami istri.
Suamiku bukan tipe romantis, yang
mudah mengucapkan kata cinta, apalagi memberi hadiah setangkai mawar sebagai
ungkapan cinta atau maaf ketika melakukan kesalahan atau menyakiti hatiku.
Bukan juga yang suka obral janji
atau suka memuji-muji.
Di awal pernikahan aku sempat
kecewa, karena pernikahanku tak seindah yang kubayangkan sebelumnya, seperti
yang kubaca di novel-novel percintaan. Tapi aku berusaha untuk menerima kondisi
itu dan melupakan angan-angan yang pernah kuukir sebelumnya.
Aku menikah tanpa pacaran atau
pedekate sebelumnya.
Aku menikah bukan karena
mencintainya dan sepertinya dia juga begitu.
Aku menerimanya karena percaya pada
yang merekomendasikannya.
Aku menikah karena ingin segera
mewujudkan impianku berkeluarga dengan dasar nilai-nilai Islam.
Aku menikah karena ingin segera
memulai proses pembentukan generasi robbani.
Dan aku harus mempersiapkan diri
dengan segala kemungkinan model lelaki yang menjadi suami.
Dia takdir pilihanku, dan harus
menjalaninya sekemampuan yang kumiliki.
TERNYATA SUAMIKU HANYA GURU TPA
Sebelum menikah, memang aku tak
pernah berkomunikasi verbal dengannya. Semua informasi tentangnya hanya
kuperoleh dari senior yang merekomendasikan, dan sebagai perempuan jawa,
hal-hal yang bersifat materi tabu untuk ditanyakan. Sayangnya sang senior tidak
memberitahukan padaku, apa profesi calon yang diajukannya. Aku hanya menduga
berdasarkan pendidikan terakhirnya, FKIP D3 Bahasa Indonesia.
Di hari ketiga setelah pernikahan,
di saat saudara handai taulan sudah kembali ke kotanya masing-masing, saat kami
bisa mengobrol saling mengenal lebih dalam.
“Mas, ngajar di mana?” kubuka
percakapan tentang profesinya.
“Mas ngajar TPA,” jawabnya.
“TPA apa sih Mas?” tanyaku lugu, aku
memang benar-benar belum tahu. Tahun 1991 TPA belum semarak sekarang.
“Taman Pendidikan AlQuran,” jawabnya
singkat.
“Setingkat apa itu Mas?” ck ck ck
lugunya diriku saat itu.
“TPA bukan pendidikan formal, Nduk.
Itu nama lain dari tempat belajar baca Al Quran seperti di masjid dan mushola,
tapi menggunakan metode yang berbeda dan dikelola dengan lebih baik lagi. . .”
dia menjelaskan panjang lebar tentang profesinya.
Tetap saja aku belum berani
bertanya, berapa gajinya dan sebagainya, biarlah, yang jelas aku yakin, sebagai
orang beriman dia akan menafkahiku dengan yang halal dan thoyyib.
AKU TAK AKAN PERNAH MARAH PADAMU
Kehidupanku berjalan seperti pada
umumnya aktifis dakwah, tak ada kemewahan, yang ada bagaimana bekerja keras
memenuhi nafkah keluarga tanpa meninggalkan kegiatan-kegiatan dakwah..
30 Mei 1993
Anak pertama kami lahir, sayang,
Allah belum mengijinkan kami mengasuhnya. Saat-saat yang sangat mengharukan,
bagaimana kami saling menguatkan.
Aku mengkhawatirkan suami,
lebih-lebih suami. Kami berburu cepat menghibur, tapi aku mendapat kesempatan
lebih dulu menunjukkan ketegaran.
Saat dia masuk ruang persalinan, aku
sedang dibersihkan oleh bidan setelah bayi keluar.
“Mas, sabar ya,” hiburku tanpa
setetes air mata pun, aku juga heran, bisa setabah ini.
“Ya ya ya,” hanya itu yang mampu
diucapkannya.
Sebulan setelah kelahiran anak
pertamaku, saat ngobrol santai, ada ungkapannya yang membuatku begitu terharu.
“Menyaksikan perjuangan Nduk
melahirkan anak kita, Subhanallah. Sejak saat itu Mas berjanji, nggak akan
pernah marah sama Nduk.”
Allahu Akbar!
Dan janji itu dia buktikan sampai
sekarang, tak pernah marah padaku. Yang kumaksud marah di sini adalah membentak
dan yang lebih dari itu. Kalau ada yang tidak disukainya dari sikapku, dia akan
mengatakannya, dan bila tak juga ada perubahan, dia akan mengurangi bicara.
TUGAS ISTRI HANYA SATU
Penghasilan sebagai guru TPA jelas
tidak mencukupi untuk kehidupan kami yang sudah mempunyai anak.
Memang aku
Sarjana Pendidikan, tapi aku sudah meniatkan tidak akan bekerja di luar rumah
demi anak-anakku, dan suami mendukung. Bagiku, tugas utamaku sebagai seorang
istri dan ibu bagi anak-anak tidak akan sempurna jika aku harus bekerja di luar
rumah dengan jam kantor yang harus kujalani.
Selain membantu suami mengajar TPA, aku juga menerima
jahitan, terutama baju seragam anak-anak TPA dan pesanan orang tua santri TPA.
Setelah melahirkan anak ketiga,
tahun 1997, aku mulai menangani konveksi partai besar. Melayani pembuatan
seragam Sekolah Dasar Islam dan beberapa TPA di daerah, terkait tugas suami
yang sering mengisi pelatihan metode membaca Al Quran Sistem Iqro.
Tenaga kerja yang membantu saat itu
sampai duabelas orang, dengan berbagai sistem. Ada yang inggal di rumah, ada
yang datang pagi pulang sore, ada juga yang hanya mengambil bahan yang sudah
dipotong dan dijahit di rumah masing-masing.
Sebanyak apapun pesanan, untuk
memotongnya tetap aku sendiri yang melakukan, karena kecermatan menghitung dan
cara memotong sangat menentukan keuntungan yang diperoleh.
Mengurus bayi, memotong bahan,
deadline, itu hal-hal yang sering jadi tekanan dan membuatku sering kelelahan.
Akibatnya?
“Nduk, Mas menikah dengan niat
menjadikan Nduk sebagai istri di dunia dan di surga, insyaallah. Maka tolonglah
saling bantu.” Katanya di suatu malam.
Aku belum mengerti apa maksudnya,
aku diam membisu. Adakah kaitannya dengan sikap engganku memenuhi keinginannya?
Malam itu aku merasakan sangat lelah, seperti malam-malam sebelumnya, karena
mengejar deadline pesanan seragam sebuah sekolah.
“Mas ngerti banget, Nduk lelah
dengan segala tanggung jawab yang semakin ke belakang semakin meningkat. Mas
minta maaf, karena belum bisa memenuhi nafkah keluarga sendirian, yang menjadi
tanggung jawab sebagai pemimpin keluarga, sehingga Nduk ikut-ikut mengerjakan
yang seharusnya jadi tanggung jawab Mas.”
Aku masih tekun mendengarkan sambil
menyusui bayi.
“Mas tidak menuntut yang banyak, Mas
rela jika Nduk nggak sempat masak, kita makan beli makanan matang, Mas juga
nggak menuntut rumah harus selalu rapi, juga nggak masalah kalau Mas yang harus
belanja dapur atau mencuci dan menyetrika, karena memang bagi Mas, itu semua
bukan tugas pokok seorang istri. Satu saja yang Mas harapkan, jangan pernah
menolak ketika Mas membutuhkan, terlalu berat bagi Mas harus menahannya. Di
luar sana begitu banyak pandangan yang mengganggu, dan hanya satu yang bisa Mas
lakukan, kembali menghampiri Nduk. Jadi tolong, untuk urusan yang satu ini, bantu
Mas ya?”
Aku tak tahan lagi, aku menangis
sejadi-jadinya, kupeluk suami dengan erat, aku benar-benar khilaf, aku minta
maaf sebesar-besarnya. Aku mohon ampun kepada Allah, aku bertaubat.
Ya Allah, aku hampir saja menjadi
istri durhaka untuk seorang suami yang begitu menyayangiku. Ampuni hamba ya
Allah.
Dan sejak itu aku berjanji, tak akan
pernah menolaknya, selelah apapun. Aku sadar, begitu beruntungnya mempunyai
suami yang tidak banyak menuntut, hanya satu yang dimintanya, dan itupun tidak
sulit aku memenuhinya. Dia lelaki normal, tidak hiper, apalagi alasanku? Sejak
itu aku berusaha menata hati, ketika dia menginginkan, aku usahakan untuk
ikhlas melayaninya, toh ini ibadah yang penuh berkah.
Apa yang dijanjikan selalu ditepati,
dia tidak pernah memarahiku hingga saat ini. Diapun tak pernah memprotes segala
kekuranganku untuk urusan rumah tangga, kalau dilihat ada yang tak beres, maka
akan dikerjakannya atau meminta anak-anak untuk membereskannya.
Aku benar-benar dimanjakan, terutama
untuk urusan spesialnya. Pagi hari saat aku dibangunkan, sudah tersedia air
hangat untuk mandi wajib. Setelah mandipun selalu disempatkan memoleskan minyak
penghangat di tubuhku supaya tak kedinginan.
Subhanallah, maka nikmat Tuhan kamu
yang manakah yang hendak engkau dustakan? Tidak ada ya Allah, aku bersyukur
atas nikmat suami sholeh yang telah Kau berikan untukku. Berkahilah pernikahan
kami ini sampai di surgamu nanti, bersama anak-anak sholeh-sholehah yang telah
Kau titipkan pada kami.
Amin.
No comments:
Post a Comment