Monday, March 3, 2014

RAMBUTAN

Bulan yang selalu kutunggu, eh ralat, nggak penting bulan apa, musim yang kurindukan.

Musim rambutan. Buah kesukaanku. Kalau sudah musim begini, hmmm, hampir setiap hari terlihat rambutan di rumah. Sekiranya sudah menipis, langsung pesan ketika suami keluar rumah, untuk membeli lagi.

Bukan sekedar asem manis rambutan yang membuatku rindu, tapi kenangan bersama buah rambutan itu yang mengundang senyum-senyum yang bisa jadi peristiwa-peristiwa itu sulit ditemui oleh anak-anakku.

***

Saat SD,  di seberang jalan depan rumahku ada kebun rambutan yang sangat luas. Saat itu kebun atau pekarangan tak dibatasi pagar apapun, jadi masyarakat bebas-bebas saja lalu lalang di sana.

Sepulang sekolah, setelah makan, aku segera ke rumah teman sambil membawa kain gendong yg sudah lusuh. Acara rutin kami, mencari ranting kayu kering untuk bahan bakar ibu memasak, karena saat itu masih menggunakan tungku. Sambil mencari kayu di kebun-kebun, sekalian kami mencari buah yang layak makan. Entah itu rambutan yang baru semburat kuning, kadang masih hijaupun diambil bila tak menemukan yang agak masak, atau jambu biji yang biasanya tumbh liar di kebun-kebun rambutan, atau mangga. Juga kadang ketemu pohon belimbing yang rasanya manis, kadang pohon buah lobi-lobi yang rasanya super asam plus sepet. Kadang pohon tebu kami tebang menggunakan parang yang kami bawa, sekalian makan di tempat untuk menghilangkan haus, karena jaman itu, tak terfikir oleh kami membawa bekal minum, seperti anak sekarang, keluar rumah sedikit bekalnya begitu lengkap, seolah tak boleh sedikitpun anak merasakan lapar. Selain tebu, penghilang haus adalah air kelapa, atau bila bertemu rumah penduduk, kami tak segan untuk minta minum. Indahnya hidup bermasyarakat saat itu.

Sebagai anak perempuan bukan berarti aku duduk manis di bawah pohon menunggu dilempar buah oleh sikunyuk, eh salah, temanku yang bernama Wiro, tapi aku bisa manjat sendiri. Terutama pohon yang banyak cabangnya, kalau pohon kelapa belum pernah.

Bahkan salah satu hobiku, makan nasi di atas pohon jambu biji di kebun samping rumah, hmmm, asyik sekali. Selesai makan piring dijatuhkan, eh jangan salah, aku waktu itu pakai piring kaleng, jadi kalau di bawah pohon ada batu, bunyinya memekakkan telinga, krompyaaang!.

Setelah piring dijatuhkan, lanjut dengan membaca, menikmati kesejukan angin sepoi membelai rambut kliwirku.

Kenangan masa kecil yang sulit hilang, keceriaan, kebersamaan, petualangan, hmmm, masa kanak-kanak yang indah.

Khusus untuk rambutan, kenangan itu tak berakhir hanya di usia anak-anak, bahkan sampai SMApun, ketika musim rambutan, sebelum mandi pagi aku sempatkan nangkring di pohon rambutan samping rumah, yang cabangnya menjuntai di atas genting rumah, tak perduli sudah sarapan nasi atau belum, yang penting sarapan rambutan.
Sepulang sekolah, juga seperti itu. Setelah makan siang, berbekal buku, langsung nangkring di atas genting rumah di antara gerombolan rambutan yang ranum, sambil mulut tak berhenti bergoyang.

***

Betapa banyak nilai pendiikan yang kudapatkan dari kegiatan kanak-kanakku yang sepertinya hanya bersenang-senang, dan itu tanpa biaya pendidikan serupiahpun.

* Mencari kayu, dalam aktifitas itu ada latihan tanggung jawab.
* Memanjat pohon, selain ketrampilan fisik, juga ada unsur keberanian.
* Interaksi dengan teman dan penduduk, melatih kecerdasan sosial.
* Makan di atas pohon, ho ho, asyik sekali, melatih keseimbangan dan percaya diri.
* Membaca di atas pohon, selain memenuhi kebutuhan ilmiah juga menikmati kedekatan dengan alam.
* Makan buah di kebun orang tanpa izin, nah ini yang jadi masalah, he he, sangat tidak sopan, tapi karena masih anak-anak, bebas hukum, dan masyarakat saat itu nggak masalah, ya anggap saja nggak apa-apa, sekarang saja perbanyak istighfar, andai dalam aktifitas itu terhitung dosa.

Kadang aku merasa kasihan dengan anak-anak sekarang, bagaimana mereka tidak mendapat kesempatan sepertiku.

Untuk mendapat kesempatan masuk arena outbond, berapa biaya yang harus disiapkan?
Untuk menikmati buah yang langsung dipetik dari pohon, harus menunggu liburan sekolah untuk bisa wisata di kebun buah, biaya lagikan?
Setiap anak-anak ketahuan oleh guru atau orang tua memanjat pagar, karena tak ada pohon, bisa dipastikan mereka teriak-teriak melarangnya.

Maka bersyukurlah anak-anak sekarang yang masih sempat bertemu pohon dan kehidupan masyarakat yang familiar, yang tak terpisah tembok pagar yang tinggi, yang tak terpisah status sosial, karena itu adalah sebuah anugerah yang semakin mahal.

2 comments:

  1. Ngomong-ngomong, saya waktu kecil pernah nyolong rambutan di pekarangan orang sama teman-teman. Malu banget sekarang kalo inget itu :D

    ReplyDelete