Sunday, March 2, 2014

GARA-GARA INDONESIA 101

Gara-gara Indonesia, halaman 101 ( Renungan: Kalah karena negosiasi )

Sultan Ageng Tirtayasa, Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam bonjol, Cut Nyak Dien, Sultan Hasanuddin, merupakan pahlawan yang kita kenal gagah berani dan pimpinan dalam peperangan melawan penjajah yang sangat diperhitungkan oleh musuh. Nama-nama ini diambil oleh, mas Agung Pribadi dalam bukunya Gara-gara Indonesia sebagai contoh tokoh-tokoh yang gagah di medan perang, tetapi kekalahannya justru di meja perundingan, kalah dalam negosiasi, kalah karena salah dalam negosiasi.

Apakah itu berarti bangsa Indonesia menang di okol (otot) kalah di akal (kecerdikan/ logika)? Lebih mendahulukan kekuatan fisik daripada kekuatan kecerdasan? Miris bukan?

Apalagi kalau kita menyoroti sering terjadinya kekerasan yang diangkat media, seperti tawuran antar pelajar, antar mahasiswa, antar warga, bahkan antar anggota ABRI atau Kepolisian, miris bukan?

Mengapa bisa terjadi hal seperti ini? Apakah memang bangsa kita terbiasa dengan gaya otoriter, sehingga tak ada kesempatan untuk bernegosiasi?

Mungkin ada baiknya kita melihat pola pendidikan yang selama ini kita terima dari orang tua, dari keluarga.

Pernahkan kita dijuluki pembantah hanya karena berusaha mengemukakan alasan kita melakukan sesuatu yang tidak disetujui orang tua?

Pernahkah kita ditanya, menu makanan apa yang diinginkan? Dan ketika berbeda keinginan dari setiap anggota keluarga, masing-masing kita berusaha agar selera kita yang diikuti?

Sesungguhnya kemampuan negosiasi, kemampuan tawar menawar merupakan kemampuan dasar manusia, yang dia akan tumbuh baik jika dilatih dan akan mati jika tidak diberi kesempatan untuk berkembang.

Fragmen berikut mungkin bisa mewakili bagaimana negosiasi bisa dilatih sejak dini.

***

SUAPIN






" Umy, suapin," bungsuku menghampiri dengan membawa semangkuk pepaya yang sudah diiris, di beri sedikit perasan jeruk nipis dan ditaburi gula.

"Hmmm, sedap sekali kelihatannya, siapa yang membuatkan?" tanyaku

"Mba Hany?" jawabnya

Kulihat di mangkuk itu sudah ada garpunya.

"Koq nggak makan sendiri?"

"Maunya suapin Umy," rajuknya

"Lihat! Umy sedang apa? Sedang makan, tangan Umy terpakai untuk makan, gimana dong?"

"Umy... suapin...." hmmmm, kekeh dengan maunya.

"Oke, Umy suapin Harish, tapi karena tangan Umy dipakai untuk suapin, Harish bantu suapin Umy ya, biar makannya cepat selesai."

Aha... matanya berbinar

"Ya My," jawabnya semangat

"Sekarang Umy suapin Harish dulu, a...am, selanjunya giliran Harish suapin Umy."

Kuperhatkan tangannya menyendok nasi  + sayur + cuwilan ikan, tentu tidak mudah untuk ukuran tangan anak usia empat tahun.

"Susah Umy," keluhnya, tapi berhasil juga, dan aku disuapnya.

"Tapi bisakan? yok a' lagi,. . . a'am," suap kedua masuk mulut mungilnya.

Gilran suap kedua, dia kerepotan karena ikannya harus nyuwil dulu, akhirnya dia menyerah.

" Nggak bisa ."

" Kalau ini bisa?" tanyaku sambl menusukkan garpu pada potongan pepaya.

"Bisa,: jawabnya riang

"Jadi sekarang Harish mau suapin Umy atau makan pepaya sendiri?"

"Makan sendiri aja," jawabnya mantap

"Harish memang hebat!"kataku sambil kuacungkan dua jempol.


***

Belajar dari sejarah!

Itu yang harus kita lakukan! Kalau kita merasa sebagai produk generasi yang tidak melatihkan negosiasi, maka untuk generasi mendatang, tugas kitalah yang memberi kesempatan untuk berlatih negosiasi seluas-luasnya.

No comments:

Post a Comment