Monday, March 3, 2014

eM eL

dulu
sebelum maghrib bapak menyalakan lampu petromax
dengan bahan bakar minyak tanah
dengan bola lampu yang kita sebut kaos
dengan energi pemancing pompa tangan
ketika nyala meredup
bapak menambah pompaan
agar nyala kembali terang
lampu petromax hanya untuk di ruang tengah
ruang keluarga tempat segala aktifitas terpusat

sementara di kamar-kamar
lampu teplok dicantolkan di dinding
lampu dian yang dibuat dari botol bekas minuman
atau kaleng bekas susu
bersumbu kain bekas yang dipilin
ujung yang satu tercelup minyak tanah
ujung yang lain dinyalakan sebagai sumbu
semua terasa biasa saja, tanpa keluhan

esok pagi saat terbangun
tangan reflek meraba tepian lobang hidung
melihat seberapa tebal langes yang terbentuk.


kini
ketika semua cahaya bersumber listrik
ketika semua panas bersumber listrik
ketika semua gerak alat bersumber listrik
ketika aturan suhu bersumber listrik
semua mudah, tinggal klik
semua gampang, tinggal putar
semua simpel tinggal colok

tiba-tiba pet! mati lampu
'kenapa lagi PLN' mulut meracau
'iiiih sebel' bibir menggerutu
'dubrak' hati gondok, kaki nendang
'Umiiii' jerit sikecil, takut gelap

seakan tanpa daya
aktifitas berhenti, denyut kehidupan lumpuh
waktunya istirahat, tanpa kerja, karena tak terbiasa


nanti, puluhan tahun yang akan datang
apa yang akan terjadi dengan anak cucu kita?
ketika minyak bumi terkuras habis
ketika hutan tak lagi rimbun
ketika air tak lagi terpusat
ketika angin tak lagi mau dikendalikan

haruskah mereka mencari bumi lain
yang masih menyimpan minyak
yang masih kaya dengan hutan rimbun
yang masih memiliki air yang terkendali
yang masih meniupkan angin yang ramah

adakah?
di manakah?

4 comments:

  1. Ya ya.. lubang hidung yang hitam dengan jelaga dari lampu teplok memang seni yang luar biasa dan manis untuk dikenang.. apalagi TV hitam putih dengan tenaga aki yang tinggal sekotak korek api juga seru..
    masa itu untuk dikenang bukan dilupakan

    ReplyDelete
  2. kereeen bunda tapi sayang aku anakjaman modern heheh

    ReplyDelete