Richie yang sedang asyik dengan hapenya, tiba-tiba
nyeletuk.
“Umi nih kalau buat tulisan selalu ramai dengan
tanda petik.”
“Richie merhatiin ya?”
“Lha iya, makanya bisa komentar.”
“Richie nggak suka, ya?”
“Heran aja, sih.”
“Kok heran?”
“Jarang, Mi yang seperti ini, setelah judul langsung
tanda petik, pake pengantar dulu ngapa?”
“Sepertinya spontan aja, jadinya begitu, he he.”
“Jadi kalau nulis spontan, nggak pake di draft
dulu?”
“Mungkin itu kelemahan Umi, ada ide langsung tulis,
keburu ada kerjaan lain”
“Huh! Sok sibuk banget sih, Mi?”
“Memang sibuk”
“Jangan-jangan karena memang Umi hobi ngomong, ya?”
“Memang”
“Kalau nggak ngomong, sakit ya, Mi?”
“Huss! Doa jelek, nggak amin.”
“Apa Umi memang suka baca yang banyak dialognya?”
“Tebakan cerdas! Dulu waktu kecil, kalau mau baca
Umi lihat sekilas, banyak tanda petiknya nggak. Semakin banyak, semakin
semangat untuk membacanya.”
“Ya usaha diperbaiki dong, Mi.”
“Iya, nanti kalau sempat, kalau mau, kalau nggak lupa.”
“Laaah, Umi, copas status Richie itu.”
“Tapi nggak plagiatkan?”
“Sekarang belum, nanti kalau Richie jadi penulis
besar, Umi bisa dituntut loh.”
“Halaaah, kalau niatnya seperti itu, nggak
bear-besar nanti.”
“Iiih, Umi, doa jelek! Nggak amin.”
“Ya, Umi doakan semoga Richie jadi penulis besar
yang rendah hati dan gemar bersedekah.”
“Amin. Semoga Umi juga jadi penulis yang
menginspirasi dan memotivasi dengan nilai-nilai kebaikan, walaupun tulisannya
banyak tanda petiknya, tetap bisa jadi penulis best seller.”
“Amin, banyak buku sebelum mati, bisa!”
“Yes, yes, yes, bisa!”
Maka berakhirlah tulisan ini tanpa tanda petik.
No comments:
Post a Comment