“Umi . . . selamat tidur, muuuach!” Harish mengecup
pipi, hidung, bibir dan dahiku.
“Selamat tidur, Umi sayang Harish,” sambutku dengan
senyum.
Harish berlari ke arah tangga, menuju kamar atas,
eeeit. . .
“Umii. . . besok pagi-pagi buatinin susu Harish
yaaa!” teriaknya.
“Ok,” jawabku, sambil tertawa geli mendengar
ucapannya, buatinin, aah siapa yang dicontohnya.
Alhamdulillah, Harish sudah mau tidur terpisah
denganku dengan suka rela. Butuh waktu setengah bulan untuk hasil seperti ini.
***
Awal latihan, ketika ada momen di mana aku harus
menginap di tempat adik yang sedang hajatan, sedang anak tertua harus segera kembali
ke Jakarta.
“Harish pulang duluan ya, sama Abi, Mas Hilmy dan
Mbak-mbak.”
“Umi kapan pulang?”
“Besok.”
“Sekarang aja sih, Mi. . .” rayunya
“Umi mau bantuin Bulek beres-beres, kasihan kalau
nggak dibantuin.”
“Mas Hilmy bawa hadiah lho untuk Harish, besar lho hadiahnya, tapi di rumah”
Hilmy ikut membujuk
“Hadiahnya apa?” tanya Harish, penasaran.
“Makanya pulang bareng Mas Hilmy.”
“Harish di depan ya, temenin Mas Hilmy nyupir.”
“Siiip, tapi di depan sama Abi juga ya?”
Yesss! Berhasil!
Momen tepat yang tak disengaja. Kejelian kita
melihat momen sangat membantu dalam usaha tertentu.
Harish termasuk terlambat
mandiri dalam hal ini, beda dengan kakak-kakaknya. Mungkin karena posisinya
sebagai anak bungsu, sehingga tidak ada momen tepat untuk memisahkannya tidur
denganku, sedang kakak-kakaknya, sejak ada adik dalam kandungan, mereka sudah
dilatih untuk tidur terpisah, adi ketika adiknya lahir, mereka sudah terbiasa.
***
Mungkin sebagian orang memandang ini masalah sepele,
tapi tidak bagiku. Beberapa bulan lalu aku merasakan ujian kesabaran dalam hal
ini. Bayangkan, di usiaku yang ke empat puluh sembilan aku masih direpotkan
dengan anak usia empat tahun, anak sendiri, bukan cucu.
Langka bukan?
Huss! Jangan
tertawa! Ini serius!
Umumnya, usia empat puluh sembilan tahun, seorang
wanita sudah menimang cucu, setidaknya sudah punya mantu, atau maksimalnya
sudah tidak punya balita. Bebas ke mana pergi, bebas belajar yang disukai,
bebas mau tidur jam berapa, tapi tidak denganku.
Mengeluh? Ya! Beberapa bulan yang lalu sempat
mengeluh, kadang-kadang emosi, bagaimana tidak? Sedang panas-panasnya otak,
penuh ide, ingin segera dituangkan dan segera diposting, eeh. . .
sebentar-sebentar,” Mi, buatinin susu.” Atau,”Mi, mau makan.” Kadang-kadang.”Mi,
temenin main tanah di luar.”
Apalagi kalau malam hari, hhh! Tidurnya di atas
jam 21.00, yang diminta buuuuanyak banget, susu, teh, kadang minta makan, belum
lagi garuk-garuk punggung, pindah pijit kaki pegel, wes lah!
Alhamdulillah, walaupun lulus tidak dengan sempurna,
tapi diluluskan juga dengan nilai kesabaran yang pas-pasan, bahkan mungkin
dengan nilai katrol, he he.
Saatnya puas menulis, puas mengejar ilmu yang
tertinggal, puas ngatur jadwal seefektif mungkin, lagu itu benar,”Badaiiii. . .
pasti berlaluuu. . .he he.”
No comments:
Post a Comment