Saturday, April 19, 2014

HEAAALAH, JENG SRI NGAMBEK!


“Jam segini belum juga,” gumam Jeng Sri. Dia menuju jendela depan, menyibakkan tirainya, mengawasi jalan depan rumah.

“Hmm, awas ya!” gerutunya sambil menghempaskan badan di sofa, hatinya dongkol tingkat langit, dia mengharapkan sms atau telfon dari suaminya, sejak keberangkatannya pagi tadi.

Jeng Sri memejamkan mata, berusaha melembutkan hatinya, mengurangi kedongkolan dan berusaha menghilangkan prasangka-prasangka yang menggalaukan perasaannya

Terdengar klakson mobil yang sudah akrab di telinganya, Jeng Sri bangkit menuju pintu dan membukanya. Menyambut suaminya seperti biasa, berusaha menampilkan wajah semanis mungkin, walaupun, sumpah! Sangat sulit, tapi dia harus melakukannya, demi sebuah harapan.

# asli cerpen, untuk seorang teman
Momen penyambutan lewat begitu saja, seperti biasa. Jeng Sri menghela nafas, kecewa. Harapannya pada momen ini pun lewat. Suaminya mendahului masuk kamar, Jeng Sri menuju ruang makan sambil berusaha menghilangkan ganjalan di hati.

Dia siapkan meja untuk makan malam, dengan hidangan yang agak istimewa, walaupun tidak terlalu menyolok. Sambil menunggu suaminya selesai mandi, Jeng Sri mencari siasat berikutnya, hmm, apa ya? . . . Sesaat kemudian Jeng Sri tersenyum, sepertinya dia sudah mendapatkan ide.

Selesai makan, Jeng Sri menatap suaminya, penuh arti.

“Kang Mas, ini hari apa?”

“Senin, lupa tho?”

“Maksudku, hari ini memperingati hari apa?”

Suaminya seolah berfikir keras untuk menjawabnya, seperti anak cerdas di iklan susu, dan, ting!

“Oh, iya, tadi di kantor ibu-ibu heboh ngomongin emansipasi, Hari Kartini, kan?”

Terlalu!

Jeng Sri sudah nggak kuat menahan diri, dia bangkit, dengan menghentakkan melangkah ke kamar dengan suara prok-prok-prok, persis remaja yang keinginannya ditolak.

Suaminya sempat melongo, takjub, he he he untuk yang satu ini tak ada perubahan yang berarti. Disusulnya Jeng Sri dengan senyum penuh arti. Di kamar, Jeng Sri menangis sesenggukan, wajahnya ditenggelamkannya ke bantal, sehingga suara tangisnya tak terdengar.

Dihampirinya Jeng Sri, duduk di tepian tempat tidur. Tangannya perlahan membelai rambut istrinya dengan lembut, sepenuh cinta. Ditunggunya sampai Jeng Sri berhenti menangis. Jeng Sri faham, ini saatnya untuk menghentikan aksi ngambegnya. Perlahan dia bangkit, duduk bersebelahan dengan suaminya.

“Kang Mas keterlaluan,” gumamnya.

“Selamat ulang tahun, barbieku,” ucap suaminya sambil mengecup kening Jeng Sri.

“Kang Mas nggak lupa, tho?” tanya Jeng Sri, bengong

“Pernah nggak Kang Mas lupa hari bersejarah ini?”

Jeng Sri menggeleng, diakuinya, selama ini suaminya tidak pernah lupa dengan hari ulang tahunnya, tapi heran juga dengan tahun ini, kok beda?

Suami Jeng Sri bangkit menuju lemari pakaian, mengambil sesuatu di bawah tumpukan pakaian dan menyerahkannya pada Jeng Sri, yang menerimanya dengan senyum bahagia.

Segera dibukanya amplop coklat itu, dikeluarkannya isinya, empat lembar kertas Tiga lembar bukti transfer, selembar kertasmemo yang marnanya mulai menguning. Jeng Sri membaca kertas memo itu,

"Aku bersedia menjadi istrimu, mendampingi dalam suka dan duka sampai Tuhan memisahkan kita"

Ttd Sri Rejeki

“Kang Mas masih menyimpan ini?” tatapanny begitu takjub, suaminya tersenyum. Jeng Sri memeluk suaminya penuh haru.

“Ssst, lanjutkan dulu,” katanya sambil menjauhkan tubuh istrinya

“Ini apa, Kang Mas?” tanya Jeng Sri, sambil menunjukkan tiga lembar bukti transfer.

Suaminya mengambil tiga lembar kertas itu, dan menjelaskan satu persatu.

“Ini, sepuluh juta untuk sumbangan yayasan yatim piatu sebagai rasa syukur. Yang ini pemesanan seratus buku terbitan ANPH, juga untuk yayasan yatim piatu yang anak-anaknya sudah remaja, nah ini yang seratus ribu, pendaftaran ikut WS tentang menulis buku best seller."

"Kok seratus ribu? Kan hanya lima puluh ribu?" ha ha syaraf perhitungan Jeng Sri terangsang.

"Kang Mas mau ikut, biar nanti pede menulis autobiografi kehidupan cinta kita."

Jeng Sri tak dapat menahan haru dan bahagianya, ditubruknya suami dan menelusupkan kepala di pangkuannya. Tentu saja suaminya sangat bahagia melihat kebahagian  Jeng Sri, senyum mengembang, dan he he he nah kalau sudah seperti ini, apapun yang diminta Jeng Sri tak kan menolaknya, lihat saja.

#Cerpen, untuk seorang teman

No comments:

Post a Comment