“Umi, aku kangen . . .tapi maaf, belum bisa nelpon,
ada masalah dengan kartu telpon.” Hatif memulai obrolan malam ini lewat inbox
“Umi yang minta maaf, sampai sekarang belum bisa
membelikan hape.” Sedih rasanya hati ini, tapi. . .aaaah, menjauhlah!
“Untuk aku, Mi?”
“Pengennya begitu, tapi . . . kok rasanya belum
terbayang. . .”
“Iya, Mi. Kalau ngomongin hape, aku jadi gimanaaaa,
gitu?”
“Maksudnya?”
“Minggu ini teman aku ada tiga orang yang beli
hape.”
“Hatif kan sudah terbiasa bersabar dan insyaallah
nggak masalahkan? Iiih jadi sedih, Umi.” Air mata yang sejak tadi kutahan,
akhirnya mulai menetes. Jujur, aku sedih. Bagaimana aku memperhatikan,
dilingkunganku anak-anak usia SD sudah memiliki hape, bahkan yang super
canggih, sedang anakku? Mungkin kalau dipaksakan bisa juga sih, tapi prioritas
lain lebih banyak. Dan kupikir, kebutuhannyakan hanya untuk menelpon kami,
bahkan kami khawatir dengan adanya hape, terutama yang super canggih, justru
akan mengganggu belajarnya di sana. Yang harus dipelajarinya sangat banyak dan
butuh konsentrasi tinggi, karena banyak menghafal kitab.
“Nggak sih, Mi. Nggak sedih-sedih amat.”
“Mereka dapat kiriman dari orang tuanya?”
“Sebagian ya, tapi pada umumnya mereka bawa uang
banyak waktu berangkat dulu, ada yang bawa lima juta, ada yang lebih.”
Sedangkan Hatif? Satu juta! Itupun karena memang
diwajibkan membawa sejumlah itu untuk jaga-jaga selama masa adaptasi. Mereka
mendapat beasiswa, selama tiga tahun seluruh kebutuhan hidup ditanggung.
“Aku rutin menabung dari uang saku bulanan. Aku juga
sedekah biar Allah ridha dan memberikan rizki yang lebih banyak. Sholat Dhuha
sudah jadi kebutuhan, kalau tertinggal rasanya nggak enak banget. Setiap pagi
baca surat Al Waqi’ah nggak pernah lewat. Tapi kok belum datang-datang juga ya?
Eh, setelah kupikir-pikir . . . nggak taunya banyak banget nikmat di balik
itu.”
“Subhanallah, apa yang sudah Hatif kerjakan itu
jauuuuuh lebih mahal dari sebuah hape secanggih apapun,” jawabku penuh haru,
airmataku berganti dengan tangis haru.
“Salah satunya, kesehatanku terjaga Malah aku sering
membantu menjaga kesehatan teman-teman, dengan ilmu pijat yang aku punya. Trus
yang paling menonjol, bahasa Turki aku lebih baik dari teman-teman, padahal
waktu berangkat aku merasa paling lemah. Aku juga banyak kenalan.”
“Itu berlipat lebih berharga dari sebuah hape,
Alhamdulillah.”
“Dan aku jadi imam andalan kalau ada tamu-tamu besar
datang.”
“Lebih banyak bersyukur ya, Tif. Lihatlah apa yang
sudah Allah berikan, maka yang sedang kita harapkan tidaklah terlalu menyiksa
dan buat sedih. Allah lebih tahu yang terbaik untuk kita, dan Allah lebih tahu,
kapan waktu terbaik untuk mengabulkan harapan yang belum terwujud.”
“Iya, Mi. Aku bisa karena aku selalu ingat nasihat
Umi Abi.”
“Tif, boleh nggak Umi buat tulisan?”
“Tentang masalah aku ini,Mi? Boleh saja, kalau
sekiranya bermanfaat untuk orang lain.”
“Insyaallah menginspirasi, karena Umi juga sering
termotivasi dan terinspirasi dengan pengalaman orang lain yang dibagikan jadi
tulisan. Itu lebih berkesan daripada fiksi yang merupakan hasil imajinasi.”
“Iya, Mi. Aku percaya sama Umi.”
“Tapi kita harus lebih hati-hati, jangan sampai
ujub.”
“Iya, Mi. Harus hati-hati, kadang niat ikhlas itu
susah.”
“Syetan tidak akan ridha kalau niat kita ikhlas.”
“Iya, Mi. Kita harus selalu minta penjagaan sama
Allah.”
No comments:
Post a Comment