“Umi! . . . Lihat!”
Suara Hafa memaksaku mengalihkan pandangan dari buku di
pangkuan. Ku ikuti arah telunjuknya.
“Apa? . . .Mana?”
Aku belum melihat
sesuatu yang pantas untuk diperhatikan. Air keruh mengalir di bawah kami, yang
sedang duduk santai di saung yang berfungsi sebagai jembatan para petani yang
melewati talut, semacam saluran air yang lebarnya sekitar dua meter.
“Itu, Miiii!” Harish ikut menunjukkan apa yang menarik
perhatian mereka.
“Oo, apel?” tanyaku meyakinkan. Kuperhatikan memang ada sebuah
apel diantara sampah plastik, yang timbul tenggelam mengikuti aliran air. Hafa
dan Harish mengangguk bersamaan.
“Boleh Hafa ambil nggak, Mi?”
“Untuk?”
“Dimakan,” jawababnya sambil menengok ke Harish, minta
dukungan. Harish mengangguk setuju.
“Apel yang di kulkas masih ada,” jawabku menggeleng.
“Kenapa sih, Mi?” Harish protes.
“Coba lihat airny, jernih nggak? Kelihatan bersih nggak?”
Keduanya menggeleng, tapi hatinya seperti belum ikhlas.
“Eh, Umi punya cerita loh, tentang apel, mau dengar?”
“Mau-mau!” Hafa langsung sumringah.
“Harish mau?” tanyaku. Dengan agak terpaksa dia mengangguk.
“Hany, tolong ambil apel di kulkas, kita makan sambil dengar
Umi cerita.”
***
Selesai berdzikir setelah sholat, seorang pemuda sholeh
merasakan perutnya begitu lapar. Baru disadarinya, dari semalam belum ada
secuil pun makanan yang masuk perut, sedang ini siang hari. Wajar saja perutnya
bernyanyi, setelah sejak subuh tadi berjalan kaki tanpa henti. Di bawah pohon
rindang di tepi sungai itulah, dia beristirahat sekalian menunaikan sholat
dzuhur.
Matanya celingukan, mencari sesuatu yang bisa dimakan,
hingga matanya tertuju pada sesuatu di antara semak, di tepi sungai. Di
dekatinya barang itu. Kemudian di pungut, hmm . . . ternyata sebuah apel yang
ranum dan sepertinya baru terlepas dari tangkainya.
“Alhamdulillah, ini rizki untukku,” gumamnya, langsung
dimakannya setelah nengucap basmalah.
Sebuah apel sudah cukup membuatnya kenyang, karena pemuda
sholeh ini sering berpuasa sunnah, sehingga perutnya terbiasa cukup dengan
sedikit makanan.
Lelah karena perjalanan, tenang setelah sholat dan berdziir
dan kenyang oleh sebuah apel, membuat pemuda sholeh ini mengantuk. Semilir
angin di bawah pohon rindang di tepi sungai mengantarnya ke alam mimpi.
Beberapa saat, tiba-tiba pemuda ini bangun dengan terkejut,
seperti ada yang mengusiknya. Dia tercenung beberapa saat, merasakan ada
sesuatu yang mengganggu hatinya.
“Astaghfirullah! Apel siapa yang kumakan tadi?”
Pemuda itu tercenung, menyesali apa yang sudah dilakukannya,
makan sesuatu yang tidak jelas asal-usulnya, sedangkan selama ini dia sangat
menjaga perutnya, agar tidak terisi sesuatu yang belum jelas kehalalannya.
“Aku harus menemui pemiliknya dan minta ridho atas apel yang
telah kumakan,” gumamnya. Tapi bagaimana cara menemuinya? Dia tidak tahu siapa
pemiliknya.
“Kemungkinan besar apel ini sampai di sini karena terbawa
aliran sungai, kalau begitu aku harus menyusuri tepi sungai ke arah hulu,
semoga tidak terlalu jauh.”
Pemuda itu tak mau membauang waktu, dia segera bangit dan
memulai perjalanannya, sampai saat waktu sholat Ashar, dia beristirahat untuk
menunaikan sholat. Dalam doanya, dia bermohon, dipermudah menemui pemilik apel
itu.
Saat bangkit akan melanjutkan perjalanan, di hadapannya, tak
terlalu jauh dari tempatnya berdiri, terlihat sebatang pohon apel yang lebat
buahnya. Pemuda itu tersenyum.
“Heran, kenapa tadi pohon itu tak terlihat?” gumamnya.
Pemuda itu bergegas menghampiri arah pohon apel.
Di bawah pohon apel
itu, terlihat seorang laki-laki agak tua sedang beristirahat.
Dengan perlahan pemuda itu menghampirinya, tapi segan untuk
membangunkannya, akhirnya dia memutuskan untuk menunggunya bangun.
Sebenarnya laki-laki itu tidak tidur, dia merasakan
kehadiran seseorang dan dia menunggu apa yang akan dilakukan orang itu.
Beberapa saat tak ada tindakan dari pendatang itu, dia putuskan untuk membuka
matanya.
“Ada perlu apa anak muda, sepertinya kau menungguku bangun?”
“Maaf, benar saya menunggu Bapak bangun, ada yang ingin saya
sampaikan.”
“Katakan,” katanya, sambil menatap tajam pemuda yang duduk
di hadapannya.
“Sengaja saya mencari dan menemui bapak, untuk minta keikhlasan
bapak atas sebuah apel yang sudah saya makan, tanpa minta izin bapak sebagai
pemiliknya.”
“Apelku? Apa kau mengambilnya?”
“Saya tidak mengambil. Saya menemukannya di tepi sungai dan
saya yakin, apel itu berasal dari pohon ini, bukankah ini milik bapak?”
Lelaki itu tidak segera menjawab, dia heran dengan pemuda
ini. Bukanah tidak ada masalah, memakan apel yang terjatuh dan terbawa arus
sungai? Bukankah itu berarti sudah bukan miliknya lagi dan siapa pun yang
menemukannya, halal memakannya? Jelas ini pemuda yang baik, istimewa dan sangat
menjaga diri dari sesuatu yang syubhat, yang tidak jelas dan meragukan.
“Benar, ini pohon apelku. Apa kau mau memenuhi syaratnya
agar aku ikhlas dan ridho apel itu kau makan?”
“Demi kehalalan apel itu, saya akan memenuhi apa permintaan
Bapak.” Jawabnya mantab.
“Baiklah. Aku mempunyai anak gadis yang sudah cukup umur,
tapi dia buta, bisu, tuli dan lumpuh. Kalau kau ingin ridhoku, maka nikahilah
dia.”
Pemuda itu sangat terkejut. Begitu mahalkah harga sebuah
apel, sehingga dia harus memenuhi syarat seberat itu untuk kehalalannya? Pemuda
itu merenung, menimbang-nimbang, hatinya ragu mengambil keputusan.
“Aku tahu kau berat memutuskannya. Baiklah, ku beri waktu
untuk mempertimbangkannya. Bermalamlah.
Di belakang rumahku ada tempat
penyimpanan kayu bakar, kau boleh tidur di sana. Kuharap besok pagi kau sudah
bisa memutuskan.”
***
Semalaman pemuda itu sulit pejamkan mata. Untuk menenangkan
diri, dia berwudhu dan menghabiskan malamnya dengan bermunajat kepada Allah,
mohon petunjuk dan kemantapan hati untuk keputusan yang terbaik.
Pagi harinya, pemuda itu menemui lelaki pemilik rumah,
dengan langkah pasti, karena hatinya telah mantap dengan keputusan.
“Bagaimana?” tanya tuan rumah, tanpa menunggu lama.
“Saya menerima syarat yang Bapak minta, untuk keridhoan apel
yang sudah saya makan,” jawabnya mantap. Akhirnya pemuda itu dinikahkan oleh
lelaki pemilik pohon apel.
***
Malam harinya, lelaki pemilik pohon apel mengantarkan pemuda itu ke depan pintu kamar
anaknya.
“Istrimu di dalam, masuklah!”
Dengan agak sungkan, pemuda itu membuka pintu setelah
mengucap salam, tanpa menunggu jawaban, bukankah istrinya bisu?
Pemuda itu terpana, ketika di dalam kamar dijumpainya
seorang gadis cantik luar biasa, berjalan menghampiri, menyambutnya di depan
pintu, mengulurkan tangannya.
“Selamat datang, suamiku,” katanya merdu.
Pemuda itu tak sanggup berkata-kata. Dia diam, bagai patung.
Saat sadar, dia membalikkan badan,
berniat keluar kamar, tapi. . . tangan gadis itu menahannya.
“Tunggu! Mau ke mana, suamiku?”
“Maaf, mungkin saya salah masuk kamar,” jawabnya, tidak yakin.
“Tidak, kau tidak salah, ini kamarku, istrimu,” katanya
meyakinan.
“Mengapa ayahmu membohongiku?”tanyanya, merasa dipermainkan.
“Apa yang dikataan ayahku?”
“Katanya istriku bisu, tuli, buta dan lumpuh, padahal . . .?”
katanya.
“Ayahku tidak pernah bohong, yang beliau katakan benar. Aku
bisu dari berkata yang tidak bermanfaat, aku tuli dari mendengar suara-suara kemaksiatan,
aku buta dari melihat hal-hal yang dilarang Allah, aku lumpuh dari bepergian ke
tempat maksiat.”
“Subhanallah,” pemuda itu takjub dengan jawaban istrinya.
“Apakah kau masih marah dengan ayahku karena membohongimu?”
“Tentu saja tidak, aku sangat berterimakaih dan bersyukur
mendapatkan istri sholihah yang rupawan. Tapi mengapa ayahmu mau mengambilku
sebagai menantu?”
“Ayahku melihat ketaqwaanmu kepada Allah, dari gigihnya
usahamu mencari ridho dari apel yang kau makan, itu bukti bahwa kau akan
menjadi suami yang baik bagiku dan ayah yang dapat mendidik anak-anak kita
menjadi hambaNya yang bertaqwa.”
***
“Itu dongeng atau kisah nyata, Mi?”tanya Hany, ha ha,
ternyata Hafa dan Harish sudah bermain daun-daun yang tadi dipetiknya,
satu-satu dilemparkan ke talut, dan diperhatikan mengikuti aliran air.
“Kalau nggak salah, ini cerita tentang orang tua salah satu
imam atau ulama yang banyak ilmunya.”
“Kalau zaman sekarang, masih bisa nggak jadi seperti gadis
itu?”
“Walaupun situasinya beda dan sangat sulit untuk bisa
seperti itu, tapi setidaknya kita berusaha untuk buta, bisu, tuli dan lumpuh
terhadap kemaksiatan.”
“Mungin karena ayah ibunya sangat sholeh, maka anaknya jadi
ulama, ya, Mi?”
“Itu salah satu faktor, dengan izin Allah tentunya.”
No comments:
Post a Comment