Thursday, June 26, 2014

Tujuh Puluh Empat Jam 2

<p>Sore harinya aku menterapi salah santri yang berasal dari Manado, namanya Intan. Dia merasakan kakinya sakit untuk berjalan dan sholat. Sebulan yang lalu dia jatuh dari tangga, tapi tidak ada tindakan untuk mengatasinya. Setelah aku urut dan pijat, dia merasakan agak berkurang sakitnya. Kujadwal sekali lagi, besok pagi untuk melanjutkan terapi.

Malam harinya, aku ngobrol dengan ustadzah Lulu, membicarakan program di asrama Al Hayyah. Salah satu tujuanku dalam kunjungan ini, sekaligus mempelajari program di sini, sebagai salah satu perbandingan untuk rencana mendirikan Rumah Tahfidz yang sedang kami rencanakan.</p>

Pulo Gebang, Selasa, 24 Juni 14 pukul 04.30.

Aku terlambat bangun, tidur terlalu pulas. Kulihat Hany belum bangun, sedang teman-temannya sudah berangkat ke masjid. Badannya agak hangat, kubiarkan dulu. Setelah selesai berwudhu, Hany kubangunkan. Dia meringis kesakitan.

"Sakit, Han?" Dia hanya mengangguk.

"Sholat dulu, nanti Umi tusuk."

Aku segera sholat, dzikir dan tilawah sebentar.

Segera kusiapkan perlengkapan akupunktur.

"Sakit perut?" tanyaku, dia mengangguk. Aku sudah hafal dengan kondisi Hany.

"Tadi malam tidur jam berapa?"

"Jam setengah satu, menghafal."

"Coba nanti dievaluasi, masalah pengaturan waktu dan strategi menghafalnya. Hany kecapean, kemarin seharian kegiatan luar. Tidur kemalaman, istirahat kurang, apalagi dekat dengan kipas angin."

"Hany enak menghafalnya jam segitu," kilahnya.

"Iya, tapi buktinya? Nggak sholat lail, sholat Subuh nggak berjamaah, paling nggak ini nanti seharian istirahat, nggak bisa menghafal. Kalau dihitung-hitung, rugi, kan?"

Hany diam, segera kutusukkan beberapa jarum ke titik tertuduh. Sambil terus dialog, memotivasi dan membimbingnya dalam mengatur strategi belajar. Juga hal-hal lain yang berkaitan dengan pengaturan uang saku.

Selesai akupunktur, kuberi herbal ramuanku yang selalu menyertai ke mana pergi. Hany pun sudah kubekali dengan herbal yang sesuai.

Setelah Hany, aku menterapi Intan, melanjutkan terapi yang kemarin. Intan selesai, ha ha ha, ada satu lagi santri yang terkilir kakinya, ya sudah, sekalian saja. Begitulah kehidupan seorang terapis, ke mana pergi bertemu pasien, he he.


Pulo Gebang, Senin, 24 Juni 14 pukul 10.00

Hilmy datang menjemputku.

"Kok pake Beat? Pulsar ke mana?"

"Di tawarin Pak Adam pake ini, lebih nyantai," jawabnya.

Saat akan berangkat, Hany masih tidur. Aku titipkan pada teman-temannya untuk mengingatkan makan dan minum herbal.

"Berapa jam perjalanan?" tanyaku.

"Ke Ciledug sekitar satu setengah jam."

Ok, perjalanan yang lumayan, aku ambil posisi duduk seperti laki-laki, he he, darurat.

Belum sampai seperempat jam perjalanan, Abi nelpon. Memberitahukan kalau sekarang sedang di Metro dengan Harish. Di sana bergabung dengan Husna dan Hafa yang sedang liburan tempat sepupunya. Sekalian berkunjung ke Mamak dan saudara-saudara. Keluargaku memang banyak di Metro.

"Rencananya, kalau urusan hari ini beres dan Hany sudah bisa ditinggal, Umi berangkat nanti malam."

"Ya nggak apa-apa, asal nggak kecapean."

"Justru itu, Umi pengen cepat pulang, biar capenya numpuk di rumah."

"Ha ha ha, jadi nanti Abi ngurusin orang kecapean? Yo wes, nggak papa, mana baiknya. Sudah pesan travel?"

"Belum, mau lihat situasi dulu, takutnya kalau nggak terkejar."

"Ok, barokallah."

Baru setengah jam, aku merasakan paha terasa pegal luar biasa, ck ck ck, terasa sekali, tubuh ini sudah ringkih. Ya wajarlah, semalaman posisi duduk di mobil, ditambah sekarang duduk lagi. Apalagi tidak terbiasa dengan model dudukan motor Beat yang cenderung lebih rendah di depan.

Baru sekali ini di Jakarta naik motor. Walaupun memang jarang ke sini, tapi beberapa kali, selalu pakai mobil.

Hilmy sengaja izin tidak ke kantor untuk menemaniku. Itu juga yang jadi pertimbangan, aku segera menyelesaikan semua urusan, agar Hilmy tidak pelu izin dua hari. Maka kami benar-benar mengatur strategi, bagaimana waktu sehari bisa benar-benar efektif.

Hilmy sudah tiga tahun di Jakarta, dan memang tipe petualang. Wajar kalau dia kelihatan begitu memahami liku-likunya. Dia bisa memperkirakan, dengan motor, jam berapa, dari mana ke mana, butuh waktu berapa lama. Aku sudah terbiasa diboncengnya saat di Lampung, dan sudah mengenali gayanya saat berkendara. Di sini aku melihat kemampuan yang sesungguhnya. Bagaimana lincahnya dia meliuk-liuk di sela kendaraan menghindari kemacetaan. Bagaimana dia hafal lampu merah mana menyalanya berapa lama. Bagaimana dia berusaha menghindari kemacetan dengan mengambil jalan alternatif. Bagaimana dia memutuskan kapan mematuhi aturan lampu merah, kapan dia bisa memanfaatkan detik untuk mempercepat perjalanan. He he, sekali-dua dilanggarnya aturan itu, tapi jelas dengan perhitungan yang cermat, untuk keselamatan dirinya dan orang lain.

Dia juga bisa menentukan dengan tepat, kapan harus bersabar dengan jalan sangat perlahan, kapan bisa memacu kendaraan bak seorang pembalap.

Ciledug, Selasa 24 Juni pukul 11-30

Perhitungan Hilmy tepat! Satu setengah jam. Sebelum ke rumah Pak Adam, aku ganti pakaian dan sholat di kontrakan Hilmy yang berjarak hanya lima puluh meter.

Keluarga Pak Adam adalah keluarga kedua Hilmy. Dalam bimbingannya selama tiga tahun. Hilmy jadi seperti sekarang. Secara hubungan darah, kami sama sekali bukan siapa-siapa.

Kesamaan visi misi dalam mendidik anak dan membangun generasi, yang membuat kami bisa mempunyai ikatan yang melebihi hubungan darah sekalipun. Kami sama-sama punya mimpi besar untuk anak-anak, bagaimana nantinya mereka menjadi manusia sukses berbasis Al Qur'an. Aku sempat bingung memikirkan balas jasa untuknya atas apa yang telah dilakukannya untuk Hilmy, tapi akhirnya aku kembalikan semuanya pada Allah. Bukan tak tahu diri, tapi secara materi memang saat ini kami tidak mampu untuk itu. Kami percaya, niatnya tulus ikhlas, sebagaimana kami mengikhlaskan anak-anak disiapkan untuk kepentingan umat. Dalam pembicaraan kami dan anak-anak, bukan bagaimana mereka nantinya hidup kaya dan terhormat, tetapi bagaimana mereka ikut berperan dalam memajukan umat. Dan proses itu sedang disiapkan dan dijalani dari sekarang.

Keluarga Pak Adam, tempat kedua yang ada dalam rencana aku kunjungi dalam perjalanan kali ini.
Ada hal yang sedang kami bahas akhir-akhir ini, tentang rencana memulai aktivitas Rumah Tahfidz, sebagai langkah awal memujudkan pesantren impian kami.

Setelah makan, kami segera membahas hal-hal yang prioritas dibicarakan. Komunikasi kami, selain tatap muka, juga via telpon. Karena beliau tahu, rencana perjalananku setelah ini, maka kami berusaha mengefektifkan kesempatan ini.

Ciledug, Senin 24 Juni 14 pukul 14-30.

Aku berpamitan untuk melanjutkan perjalanan ke Depok.


Aku memang janjian dengan Rihie, salah satu member Komunitas Bisa Menulis di toko ANPH, untuk bertemu sekitar jam tiga sore. Aku sudah minta padanya untuk menghubungi member lain yang bisa, yang tidak terlalu repot untuk bertemu.

Jam setengah empat aku sampai di ANPH. Langsung masuk ke toko, tapi hanya kutemui penjaga toko. Dan dia tidak tahu menahu tentang janjian kami.. Langsung ku SMS Richie, he he, ternyata dia sudah ada di lantai dua.

Sebelum aku melangkah ke lantai dua, seorang pemuda turun, langsung menghampiri dan berusaha mengingat-ingat, siapa aku. Ku pikir Richie, tapi...kok nggak mirip ya? Ku ingat-ingat lagi, ha ha, kami saling mengingat-ingat.

Ups! Baru yakin, ini bukan Richie.

"Armi, ya?" tebakku. Armiadi Asamat, member KBM awalan. Aku senang baca postingannya, bagus-bagus. Komennya juga baik, bukan tipe yang suka menghujat.

"Iya, ini... siapa ya?"

"Coba tebak!" aku senyum-senyum melihat tampang Armi. Dengan memakai jilbab yang kukenakan di photo profil Fb, maksudnya supaya mudah dikenali.

"Umi Neny, ya?"

"Betul! Richie sudah datang?"

Sementara seorang remaja berjilbab masuk dan menanyakan ayahnya pada penjaga toko.

"Itu Chacha, Mi," kata Armi. Chacha, panggilan putri pertama Pak Isa Alamsyah dan Bunda Asma Nadia, penulis berbakat. Ada beberapa bukunya, tapi aku belum baca, he he, anak-anakku yang sudah membacanya.

"Pak Isa ada?" tanyaku. Isa Alamsyah, penulis buku motivasi, pendiri dan pembina KBM.

"Ada, yok ke atas, Richie juga sudah di sana?"

"Alhamdulillah, rizki Umi ketemu Pak Isa."

"Mas Agung, Dedi, Ali juga ada," Armi menyebutkan beberapa nama orang-orang KBM.

Agung Pribadi, penulis buku Gara Gara Indonesia, best seller dan sangat memotivasi serta menumbuhkan kebanggaan terhadap Indonesia melalui belajar sejarah.

Dedi Padiku, penulis buku Mengejar Mimpi, buku pertama, langsung best seller, di bawah bimbingan Pak Isa dan Bunda Asma.

Ali Isfah, salah seorang member KBM yang aktif, juga bekerja di KBM seperti halnya Armi dan Dedi.

"Alhamdulillah, banyak banget rizki Umi hari ini."

Kami ke atas. Di lantai dua ada Rihie, Chacha, Pak Isa, Dedi dan beberapa orang lain yang sedang sibuk ngepak buku.

Aku sempat tidak fokus, apa yang harus kulakukan saat bertemu mereka. Aku memang berharap bisa bertemu, tapi harapan itu tidak terlalu menggebu. Karena memang tidak janjian dan lagi mengingat kesibukan mereka, aku jadi tahu diri.

Menit-menit pertama sebatas perkenalan, mungkin mereka berusaha mengenaliku. Tapi akupun tidak terlalu ge er, bukan apa-apa, di KBM aku member biasa yang postingan-postinganku masih sangat biasa, belum kelihatan istimewa menurut ukuran standar kualitas.

Aku sempat takjub ketika Pak Isa bertanya," Bu Neny yang anaknya Hafidz Qur'an, ya?"
Eh, ternyata ada satu hal dari diriku yang masuk dalam memori Pak Isa. Mungkin beliau membaca salah satu postinganku. He he, sebagai orang yang baru belajar menulis, wajar, ide yang dikeluarkan apa-apa yang ada di sekitar. Sebagai ibu rumahan, ya tentunya sumber ideku lebih banyak dari anak-anak.

Kemudian kami membicarakan sedikit tentang penghafal Al Qur'an, dan seperti biasanya, aku selalu ditertawakan urusan hafal menghafal. Aneh mungkin, seorang ibu yang tidak hafal Qur'an, bahkan untuk mengingat judul buku saja salah, kok anak-anaknya bisa hafal Qur'an. Tapi aku sudah terbiasa, mungkin terhitung tebal muka. Bagiku, tak ada persyaratan, jika menginginkan anaknya hafal Qur'an, orang tuanya harus hafal dulu.

Kemudian aku diajak ke lantai tiga, untuk menemui Mas Agung dan beberapa yang lain. He he, ternyata Mas Agung lebih keren dari foto-fotonya yang sering tayang di fb atau gambar di bukunya. Di sana obrolan dilanjutkan. Salah satunya masalah judul yang menjual.

Walaupun tidak direncanakan secara detil, tapi waktu beberapa menit itu aku manfaatkan untuk menyerap ilmu dari orang-orang hebat itu. Kami memang baru ini bertemu, tapi luar biasa, aku merasakan keakraban di sana. Obrolan kami penuh dengan canda dan saling ejek, wajarlah, anak-anak muda. Sedang asyik ngobrol, tiba-tiba Richie batuk, dan dari suaranya kuperkirakan batuk itu sudah lama. He he, jadi ingat janjian akan menusuk Rihie.

"Jadi akupunktur, Chi?"

Rihie snyum-senyum malu, sambil tengak-tengok mencari tempat yang bisa digunakan untuk terapi.

"Harus buka baju, ya, Mi?"

"Ya, iyalah. Masa mau dari luar baju. Umi mau ambil titik di punggung dan tangan."

Atas izin pak Isa, aku menterapi Richie di ruangannya. Iih, lucu, karena merasa sudah dekat di dunia maya, aku sama sekali tidak canggung menterapi Richie sambil ngobrol, bercanda sekaligus memberi nasihat. Yaah, namanya emak-emak, nggak diminta juga, doyan banget kasih nasihat pada anak muda. Eh, lupa, siapa Richie? Dia orang KBM pertama yang aku beri tahu tentang rencana ke Jakarta. Aku juga heran, kok bisa akrab dan dekat dengannya, hanya lewat komen-komennya di fb.

Muncul Armi, iseng menggoda Rihie. Ha ha, tambah seru suasananya.

Selesai menterapi, acara dilanjut dengan foto bersama. Aku pasrah, nggak punya kamera, hp pun jadul, nggak bisa untuk foto.

Setelah beres, aku berpamitan ke bawah, menunggu Ira dan Susi, yang sedang dalam perjalanan.

Alhamdulillah, dapat hadiah dari Mas Agung, buku Acupoint, tulisan Pak Isa Alamsyah. Buku yang sangat dibutuhkan seorang akupunkturis sepertiku. Terima kasih Mas Agung.


No comments:

Post a Comment