Saturday, June 28, 2014

Sayang Istri

Sayang istri?

Wajib hukumnya! He he he.

Yang jadi masalah, bagaimana bentuk kasih sayang seorang suami kepada istri di bulan Ramadhan?

Dah! Nggak usah banyak teori, langsung praktek aja yah?

Bulan Ramadhan adalah bulan ibadah, bahkan nilainya berlipat-lipat. Tetapi, kalau kita mencermati kajian tentang ibadah di bulan Ramadhan, maka penekanannya pada ibadah mahdhoh, yang berhubungan langsung dengan Allah, sebagai upaya meningkatkan kualitas ruhiyah. Misal, sholat tarawih, sholat lail, tilawah, 'itikaf.
Bukan berarti ibadah lain tidak berlipat atau tidak meningkatkan ruhiah, tapi begitulah, bulan Ramadhan sering dianggap sebagai bulan charger, isi batere, he he.

Tapi , terkait dengan puasa, yang menjadi isu sentral bulan penuh berkah ini, banyak hal yang justru kontradiktif dengan maksud diberlakukannya syariat ini.

Selain agar bertaqwa, puasa disyariatkan agar muncul rasa empati dari orang yang mampu terhadap orang yang kekurangan. Bagaimana mereka bisa merasakan rasa lapar karena tidak ada yang dimakan. Di mana kontradiktifnya? Mari kita lihat pada keluarga kita dulu, adakah justru di bulan Ramadhan pengeluaran lebih banyak dan belanja lebih beragam? Ok, mungkin kita melihatnya dari sudut pandang lain, kan untuk menyenangkan anak-anak yang sedang berpuasa? Boleh, tapi harusnya ada perbaikan dong dari tahun ke tahun? He he.

Ok, kembali ke masalah awal, sayang istri di bulan Ramadhan!

Sebagai seorang istri, aku tahu banget, apa yang aku harapkan dari suami sebagai ungkapan sayangnya.

Aku ingin suami membantu, agar akupun bisa menikmati ibadah di bulan Ramadhan untuk meningkatkan ketaqwaan. Bentuk bantuan itu tentu beragam, saling mengingatkan, saling pengertian, saling mendukung.

Di bulan Ramadhan kami berbagi tugas, saat sahur aku yang menyiapkan makanan, suami membangunkan anak-anak, kemudian anak-anak menghidangkan makanan. Sehingga, kami tetap dapat melakukan shalat malam, walaupun bergantian. Di sinilah peran kemampuan mengelola emosi dan konsentrasi teruji, bagaimana dapat menikmati khusyu'nya ibadah dengan keterbatasan waktu.

Untuk urusan makanan, kami biasakan dengan yang praktis dan mudah dihidangkan. Misalnya, kalau rizkinya mencukupi, bisa membuat ayam yang sudah diungkep, sehingga bisa untuk beberapa kali hidangan, itupun bisa disesuaikan dengan pesanan anak-anak, maklumlah, di satu sisi kita mengajarkan kesederhanaan, tapi di sisi lain kita sedang memotivasi dan memberi reward untuk upayanya melaksanakan puasa. Kalau bisa, kita juga siapkan bahan makanan yang mudah mengolahnya, misalnya telur, sosis atau nugget, dibutuhkan untuk persediaan di kala selera makan anak-anak saat sahur menurun.

Dalam upaya penghematan, kita harus cermat ketika masak. Bila perlu tanya anak-anak, mereka ingin makan dengan apa, kadang-kadang satu piring hidangan berisi satu ayam goreng, dua sosis, satu telur ceplok, dua iris tempe. Ha ha ha, kesannya seperti di warteg. Untuk sayur pun, masak secukupnya, misalnya oseng-oseng satu mangkok. Kalau pengen sayur yang agak repot membuatnya, suami rela membeli yang sudah jadi.

Untuk ibadah lain, seperti tilawah, dzikir atau tadabbur dan hafalan, bisa disesuaikan. Tidak semuanya dikerjakan malam hari.

Bahkan untuk 'itikaf pun, suami memberiku kesempatan. Di sepuluh hari terakhir Ramadhan, suami menyempatkan diri siang hari pulang, walaupun tidak setiap hari. Memberi kesempatan padaku untuk 'itikaf di masjid atau mushola yang tidak digunakan untuk 'itikaf laki-laki.

Kami juga membiasakan untuk persiapan lebaran tidak terlalu heboh, untuk urusan hidangan lebaran, kami lebih banyak pesan.

Alhamdulillah, sayang istri yang tidak lebay dengan rayuan dan limpahan materi. Sayang istri yang menggambarkan sikap seorang imam yang berusaha menyelamatkan diri dan keluarga dari neraka, Amiin.

1 comment: