Saturday, June 28, 2014

Puan dan Lanang

<p>Udara pagi terasa sejuk di hutan kecil itu.

"Bangun, Lanang. Ini ada makanan untukmu," suara lembut Puan menelusup ke gendang telinganya. Lanang dengan malas menggeliat, membuka kelopak matanya sejenak, menatap Puan, kemudian dipejamkannya.

Puan mengusap-usapkan kepalanya ke badan Lanang dengan lembut, agar adiknya segera bangun.

"Masih ngantuk, Kak," jawabnya, malas, sedang matanya masih terpejam.

"Matahari telah memancarkan sinarnya, bangun dan makanlah, kemudian bermain di luar agar hangat badanmu. Kakak akan istirahat sebentar, sebelum mencari makan siang."</p>

Dengan malas, Lanang bangkit dan menghampiri makanan yang dibawa Puan. Tak perlu waktu lama untuk menghabiskan makanan yang hanya sedikit. Segera dia pergi keluar, menyambut hangatnya mentari pagi.

Lanang hanya hidup berdua dengan kakaknya, Puan. Ibunya tak kembali setelah terpeleset ke jurang yang dalam, saat berusaha menangkap seekor tikus hutan. Mereka berdua tinggal di bawah pohon tua yang bagian bawahnya berlubang. Cukup nyaman untuk berlindung dari terik mentari dan hembusan angin yang dingin, terutama saat hujan lebat.

Setiap hari Lanang hanya tidur-tiduran di rumahnya, atau bermain sendiri dengan benda-benda yang ditemuinya di sekitar pohon besar itu.

"Lanang, ayo ikut kakak ke tepi sungai," ajak Puan.

"Lanang di rumah aja ya, Kak?"

"Kapan Lanang berlatih mencari makan sendiri? Bagaimana kalau suatu saat tidak ada Kakak? Lanang makan apa?"

"Kakak jangan pernah tinggalkan Lanang, ya?" rajuknya, sambil menelusupkan kepalanya ke perut Puan.

Puan menghela napas. Sampai saat ini dia belum berhasil mengajak adiknya ikut mencari makan. Tanpa menjawab, Puan meninggalkan Lanang.

Puan menuju tepi sungai, tapi sepanjang jalan dia selalu waspada, sigap dengan segala bunyi dan gerak yang mencurigakan. Dia memang akan mencari ikan, tetapi bila di jalan ada kesempatan mendapatkan tikus hutan atau burung lemah yang terjatuh, tentu akan dikejar dan ditangkapnya. Sayang, sepanjang jalan siang ini, tak ada petunjuk apapun tentang keberadaan mereka, hingga Puan sampai di tepi sungai.

Gemericik air menyembunyikan suara kehadiran Puan, sehingga beberapa ekor ikan yang sedang bermain di tepian tidak merasakan adanya bahaya yang mengintai. Puan tersenyum melihat calon mangsanya yang teledor. Dia membayangkan kemudahan mendapatkan seekor ikan yang cukup besar. Puan bersiap menerkam calon mangsanya, dari atas batu besar yang berlumut, Puan mempersiapkan tenaganya untuk melompat menjemput ikan yang belum juga menyadari kehadirannya, dan hup! Ahhh! Sayang sekali.

Puan gagal mendarat di tempat ikan-ikan itu bermain, bahkan dia terlempar ke tempat yang agak dalam. Karena gembira melihat ikan-ikan itu tidak menyadari kehadirannya, Puan jadi kurang waspada. Dia tidak menyadari, batu tempatnya berpijak, licin karena lumut yang basah.

Sementara itu, setelah lelah bermain, Lanang memutuskan untuk beristirahat, tidur-tiduran sambil menunggu Puan pulang. Apalagi gerimis mulai jatuh satu-satu, tentu sangat tidak nyaman bermain di luar. Lanang tertidur, kecapean, tadi dia menemukan mainan baru, cangkang bekicot yang dijadikannya bola.

Gelegar petir membangunkan Lanang. Hari sudah sore, di luar hujan lebat, tapi dia tak melihat Puan.

"Ke mana Kakak, sudah sore kok belum pulang?" gumamnya.

Lanang mulai gelisah. Dia berjalan mondar mandir di rumahnya yang sempit. Perasaannya mengkhawatirkan Puan. Di mana dia, kenapa sampai sesore ini belum juga pulang? Apakah dia terjebak hujan dan tidak berani pulang?

"Kakak, Lanang lapar," rintihnya.

Sampai malam Puan belum juga pulang. Lanang takut, dia belum pernah sendirian di malam hari. Dia tidak bisa tidur, perutnya lapar dan telinganya selalu waspada menangkap setiap suara gemerisik daun yang tertiup angin. Dia menanti suara kaki Puan yang menginjak ranting di sekitar pintu rumahnya. Hembusan angin dingin yang menerobos pintu rumahnya semakin membuat Lanang gelisah dan kedinginan. Dia meringkuk di sisi pintu, agar hembusan angin dingin itu tidak langsung menerpa tubuhnya. Hujan baru berhenti ketika pagi menjelang.

Saat mentari menampakkan sinarnya, Lanang memberanikan diri ke luar rumah, untuk melihat keadaan. Dia bingung, mau menyusul Puan, tapi tidak tahu harus ke mana. Dia berdiri di depan pintu sambil menebar pandangan ke segala arah. Ada onggokan yang tak pernah dilihatnya selama ini, tak jauh dari tempatnya berdiri. Perlahan, Lanang berjingkat mendekati benda itu, jantungnya berdebar. Setelah agak dekat, Lanang terpana...ternyata,"Kakaaaak!"

Lanang berlari mendekati Puan yang terbaring lemah. Badannya kuyup. Lanang mengusap-usapkan kepalanya ke badan Puan, bermaksud membangunkannya. Dia tidak perduli dengan badan Puan yang basah, padahal selama ini dia jijik kalau bersentuhan dengan sesuatu yang lembab.

"Kakak, banguuun."

Perlahan Puan bergerak, mengumpulkan tenaganya untuk bangkit, tapi badannya masih lemah.

"Maaf ya, Lanang, kakak tidak membawa makanan," ujarnya lirih.

Lanang menitikkan air mata, Puan begitu sayang padanya. Dia malu, sudah besar, laki-laki, tapi belum bisa cari makan sendiri. Lihat sekarang, kakak yang disayanginya tergolek lemah karena berjuang mencari makan untuknya. Dengan tertatih, Lanang mendampingi Puan masuk. Dia membantu membersihkan badan kakaknya dengan menjilatinya.

"Lanang lapar, ya?" tanya Puan sesampainya di rumah.

"Lanang masih tahan, kok," jawabnya sambil memaksakan diri tersenyum. Sebenarnya dia sangat lapar, tapi ditahannya. Lanang tak ingin Puan sedih.

Siang harinya, setelah merasa kuat, Puan bangkit, berjalan ke pintu.

"Kakak mau ke mana?" tanya Lanang, mengekor di belakangnya.

"Mau cari makan dulu, Lanang lapar banget ya?"

"Ikut, Kak!" pinta Lanang, mantap.

Puan terkejut, spontan membalikkan badan. Ditatapnya mata Lanang, mencari kesungguhan ucapannya. Lanang tersenyum dan mengangguk. Puan mengerti, Lanang sungguh-sungguh dengan ucapannya.

"Ayo!" jawabnya, sambil melompat dan berlari kencang. Lanang paham, dia langsung menyusul Puan. Walaupun lapar, tapi Lanang bisa berlari kencang karena begitu bersemangat ingin belajar mencari makanan. Dia sangat sayang pada Puan dan tak ingin selamanya merepotkan dan bergantung pada kakaknya itu.



No comments:

Post a Comment