Monday, June 30, 2014

Sesal

Sambil makan dan melayani ngobrol suaminya, sekali-kali aku mencuri pandang padanya. Wanita di hadapanku ini sibuk melayani celoteh anaknya. Dia tidak banyak berubah, hanya terlihat sedikit dewasa dari terakhir aku menjumpainya...saat ta'aruf.

Tadi kami bertemu di masjid, saat sholat maghrib, lalu ku ajak mereka berbuka bersama.

"Terima kasih, Bang, ifthornya," kata suaminya saat berpamitan.

"Sama-sama, salam untuk anak-anak," jawabku.

Mereka melambai saat keluar halaman dengan motor tuanya.

Seperti ada jarum yang menusuk dada. Ya, Allah, apakah aku menyesalinya?

Dua puluh tahun lalu, aku ke rumahnya. Memenuhi permintaan Bapak, untuk berkenalan dengan putri sahabatnya. Seorang mahasiswi tingkat akhir, aktivis dakwah kampus, tampang cukupan, cerdas, dari keluarga baik-baik. Tapi aku tidak bisa meneruskan perjodohan ini, karena tak ada cinta di hatiku padanya.

Aku menikahi gadis pilihanku, yang kucintai dan populer.

Kini kusaksikan, dengan kesederhanaannya, dia mampu menciptakan keluarga sakinah dan anak-anak yang sholeh dan sukses, sedang aku?

No comments:

Post a Comment