Tuesday, June 10, 2014

HANYA MELIHAT

Seperti sore-sore kemarin, ditemani terik mentari ba'da Ashar yang mulai meredup, dia lewat. Aku menatapnya dari balik jendela, sama seperti sore-sore kemarin. Selalu ada keraguan dalam hati, memanggilnya atau kubiarkan dia lewat begitu saja.

"Nggak dipanggi, Mi?" suara Husna membuyarkan keraguan. Aku menggeleng.

Sebuah bakul besar yang berisi sayuran, penuh menjulang sampai melampaui kepala, bertengger di punggungnya. Tangan kiri dan kanannya masing-masing menenteng plastik besar yang juga berisi sayuran. Berbagai jenis hasil kebun dibawanya setiap hari. Lahannya memang terletak di sebelah kompleks perumahan tempat aku tinggal.

Setiap waktu Dhuha, dia lewat menuju kebunnya dengan membawa perbekalan untuk makan siang. Langkahnya ringan, karena hanya membawa bakul berisi bekal, kain gendong, dan alat pertanian sederhana.

Sekali-kali aku menegurnya, ketika berpapasan di jalan kompleks. Tidak terlalu ramah dengan basa-basi, hanya senyum. Tapi dari raut wajahnya tak nampak sebagai orang yang mudah mengeluh.

"Kok nggak dipanggil, Mi?" tanya Husna.

"Kasihan..."

"Kok kasihan? Kan Umi beli, bukannya itu menolongnya?"

"Kalau Umi beli hanya satu-dua ikat, nggak sesuai dengan susah payahnya menurunkan dan menaikkan gendongannya lagi, kan berat banget."

"Kemarin, Umi beli?"

"Kemarin banyak ibu-ibu pengajian, jadi yang beli banyak, lumayan bisa mengurangi bebannya. Seimbanglah dengan susahnya menurunkan dan menaikkan gendongannya, itupun kita bantu."

"Kasihan, ya Mi, jalannya lambat banget."

"Mungkin itu untuk mengimbangi bebannya, biar nggak cepat lelah."

"Mbah itu apa nggak punya anak, ya? Kok sudah tua masih kerja keras?"

"Umi belum pernah menanyakannya."

 "Apa punya anak, tapi nggak sayang sama ibunya?"

Sontak aku menengok ke arah Husna yang duduk di samping. Kutatap wajahnya, dia menunduk.

"Gimana perasaan Husna kalau ada yang bilang Husna nggak sayang sama Umi? Nggak mau merawat ibunya, begitu maksud Husna?"

Husna mengangkat wajahnya,"Husna sering baca cerita tentang hal seperti itu," jawabnya, lirih.

"Memang banyak cerita tentang anak yang tidak mau merawat orang tuanya, tapi kita tidak boleh berburuk sangka dengan sesuatu yang belum pasti. Mungkin mbah itu justru bahagia dengan bekerja seperti itu, karena tidak mau merepotkan anaknya."

"Umi janji, ya, kalau sudah tua, nggak boleh seperti mbah itu. Nanti disangka Husna nggak sayang dan nggak mau merawat Umi."

"Trus Umi suruh ngapain? Momong anak-anak Husna?"

"Yeee, ya nggaklah. Husna pengennya, Umi nanti tenang ibadah, ngisi pengajian, nulis, ya sama apa aja yang buat Umi bahagia, tapi jangan sampe kecapean, apalagi terus sakit karena kecapean. Umi sudah terlalu cape ngurus anak-anak Umi."

"Alhamdulillah, bahagianya, semoga umur Umi mencapai masa itu." kurengkuh dia dan kuacak rambutnya.

"Apa yang bisa kita lakukan untuk menolong mbah itu?" tanya Husna.

"Harus cari tahu dulu, apa yang dibutuhkannya. Belum tentu lho, orang yang kita anggap susah itu benar-benar susah, kita hanya melihat, sedang dia yang merasa."

"Iya juga ya, Mi. Jangan-jangan malah kita yang lebih susah."

Kadang kita hanya mampu melihat, tetapi tidak mau dan atau tidak mampu melakukan sesuatu. Setidaknya kita berusaha mengambil hikmah dari khidupan orang lain, untuk lebih memahami makna hidup dan lebih merasakan kedekatan dengan Yang Maha Hidup dengan selalu bersyukur atas warna kehidupan yang telah dianugerahkan.


No comments:

Post a Comment