Monday, June 16, 2014

SERASA BARU KEMARIN

<p>Rasanya baru kemarin aku merasakan sulitnya mencuri waktu untuk diri sendiri. Seakan tiada hak memikirkan diri dan memenuhi kebutuhan. Sampai pernah terpikir, kapan aku punya waktu untuk memanjakan diri? Bah! Boro-boro memanjakan, mau tidur cukup saja, masyaallah, nggak ketemu selahnya. Apalagi mau mandi luluran, ha ha ha ke toilet saja diburu-buru.</p>

Itu berlangsung dari tahun 1995, sejak anak pertamaku hadir. Sebagai ibu baru yang belajar mandiri, karena jauh dari orang tua dan mertua, tanpa meninggalkan aktivitas sebelumnya sebagai pengurus dan guru TPA. Belum lagi bantu-bantu menambah pemasukan keluarga. Saat itu kebutuhan membaca masih terpenuhi dengan sempurna, baik dari sisi waktu dan bahan bacaan..

Hampir tiga tahun kemudian, anak kedua hadir. Jadwal mengajar di TPA sudah banyak dikurangi, sebagai gantinya, usaha konveksi dimulai. Hal biasa bagiku lembur mengejar target pesanan, menjahit sambil memeluk bayi di pangkuan. Bisa ya? Ah, sudahlah tak usah repot membayangkan, yang jelas itu pernah kulakukan. Kapan membacanya dong? Yaah, ketika memberi ASI, atau kadang sambil makan, he he he

Tiga tahun kemudian yang ketiga lahir, wuiiih, tambah seru!
Selain urusan TPA dan  konveksi, aktivitas keluar rumah semakin bertambah. Selain mengisi acara di radio Islam, walaupun hanya seminggu sekali, aktivitas diorganisasi dakwah semakin marak. Kadang sampai ke  Jakarta membawa bayi, untuk mengikuti acara nasional.

Tidak sampai tiga tahun, anak keempat hadir. Ha ha ha, tambah rameee.
Karena pindah rumah, di tempat yang baru kami buat TPA, memanfaatkan ruang keluarga. Jadi ruang itu untuk motong bahan konveksi dari pagi sampai siang, sore hari digunakan untuk TPA.
Saat yang keempt berusia sekitar satu-dua tahun, sering kuajak rapat atau kegiatan keluar rumah. Bawa motor sEndiri, ketika berangkat duduk di depan berpegang stang, saat pulang, biasanya ngantuk, maka kugendong dengan kain sambil mengendarai motor. ck ck ck.
Kalau ingat masa-masa itu, aku membatin, rupanya pernah juga jadi wanita gagah, he he he.

Anak kelima lahir lima tahun kemudian. Konveksi tutup, menyerah! Nggak kuat bersaing. Berhenti cari duit? Ya nggak lah! Kebutuhan semakin tinggi, biaya pendidikan semakin terasa. Beberapa ketrampilan yang kumiliki sangat membantu, tapi yaaaa, semuanya menggunakan tenaga fisik, bahkan menguras.

Di usiaku yang hampir 45 tahun, Allah masih berkehendak menitipkan amanah keturunan untuk kami. Anak ke enam lahir. Secara logika, wajarlah kalau kami tidak sempat menumpuk kekayaan materi, bahkan sekedar menabung. Bagaimana sempat menabung? Untuk kebutuhan harian dan biaya sekolahpun kami harus terus bergerak. Ada istilah, untuk wirausaha, kalau mau makan ya bergerak dulu. iiiih, segitunya! Itukan logika manusia. Kami tidak sepenuhnya sependapat, karena bagi kami Allah sungguh Maha Adil. Memberikan rizki sesuai kebutuhan dan kepantasan hamba-Nya. Bagi kami, rizki bukan hanya berupa uang atau materi, tapi kesehatan, teman-teman dan lingkungan yang baik, kesempatan beribadah dan beramal sholeh, ilmu yang bisa dibagi, itu semua adalah rizki.

Kini, aku merasakan pensiun dini, lho? Bukan karena malas, tapi tahu diri. Ibarat kata, ketika seorang wanita
melahirkan, maka putus satu uratnya (sssst jangan ditanya dalilnya, yaaah). Aku sudah tujuh kali melahirkan, termasuk dengan yang meninggal ( lahir tahun 1993), berarti sudah tujuh uratku yang putus, he he he, seperti yang pernah menghitung urat.

Mungkin ada wanita-wanita hebat, walaupun anaknya lebih banyak dariku, tapi kondisi fisik mereka lebih kuat. Aku mengakui, bukan termasuk orang yang cermat dalam merawat diri, maka inilah hasilnya.

Ternyata dua puluh tahun tidaklah lama.
Serasa baru kemarin aku kesulitan mencari waktu untuk membaca dengan nikmat, tanpa gangguan. Kini aku mendapatkannya. Andaipun seharian aku ingin membaca, tak ada masalah. Anak-anak sudah relatif mandiri. Yang lebih besar dengan senang hati menolong yang kecil dan membiarkan aku menikmati waktu dengan buku dan laptop. Ini mimpiku yang tertunda. Berbagi ilmu dengan menulis.

Semua ada masanya, dan kini aku sedang mengambil dan menikmati masaku dengan rasa syukur, karena sebuah keyakinan yang diperintahkan, dengan bersyukur maka Allah akan menambah nikmat-Nya.

Aku tidak berkesempatan mencapai kesuksesan seperti teman-teman kuliahku yang sudah Master bahkan Doktor, jadi pimpinan dinas bahkan pimpinan daerah

Aku juga bukan termasuk yang pantas mengemban amanah da'wah yang layak, baik dengan posisi maupun jumlah pengikut yang banyak dan popularitas.

Aku juga ternyata tidak sukses jadi pengusaha yang kaya raya dan menyiapkan warisan harta untuk anak keturunan.

Yang penting, restu dan keikhlasan orang tua terhadapku dan mereka mengharapkan doa-doaku.

Aku akan merasa berbahagia, kalau suami mengakui bahwa aku istri yang menyenangkan dan setia mendampinginya saat suka dan duka.

Juga ketika anak-anak merasa bersyukur menjadi anak yang lahir dari rahimku dan mengakui bahwa aku menunaikan amanah dengan mendidik mereka menjadi orang yang sukses.

Kebahagiaanku juga saat mengetahui bahwa sanak keluarga dan tetangga tidak pernah merasa terganggu dan tersakiti. Andainyapun ada, mereka ikhlas memaafkan semua kekhilafanku.

Dan puncak bahagiaku adalah saat Allah mengakui bahwa aku termasuk hamba yang diridhoi-Nya.

Aku memang wanita sederhana dalam segala hal, dari hal penampilan sampai cita-cita, semua sederhana.

2 comments:

  1. yang terpenting bersyukur ya, mba. insya Allah dimudahkan segalanya

    ReplyDelete
  2. betul, rasa syukur itu membuat hati terasa lapang

    ReplyDelete