Richie asyik dengan androidnya, tak
menyadari kalau Umi sudah berdiri di hadapan.
“Assalamu’alaikum,” ucapnya dengan
sangat lembut.
“Umi!” Richie kaget. Umi nyengir.
“Kok kaget sih? Salam sudah selembut
itu?” tanya Umi, pura-pura heran.
“Justru itu yang bikin kaget,
biasanyakan seperti cabe caplak. Richie kira siapa...gitu?”
“Hayo! Siapa?”
“Makhluk apa coba yang datangnya
nggak ketahuan, tiba-tiba, cling! Nongol dihadapan?”
“Woo, ngawur aja!” Umi cemberut.
“Mau ngapain, Mi, nyariin Richie?”
“Mau minta tolong.”
“Pasti! Nggak ada yang lain.
Bentar-bentar, apapun yang mau Umi minta tolong, jawab dulu pertanyaan Richie.”
“Apa.”
“Kapan Umi nulis yang bahasanya
nyastra, indah,keren?”
“Memang selama ini nggak keren?”
“Keren sih, tapi nggak nyastra!
Nggak mengaduk-aduk perasaan.”
“Menyentuh nggak?”
“Isinya oke, lumayan menyentuh, tapi
kurang mengaduk-aduk.”
“Mungkin nggak bakat ya?” tanya Umi,
ragu.
“Kata Umi, bakat bukan faktor utama,
lebih penting belajar dan latihan.”
“Iya, sih. Mungkin Umi kurang gigih
belajarnya. Tapi kecenderungan manusia kan berbeda-beda? Sepertinya nggak
mungkin deh kita bisa membuat tulisan yang cocok untuk semua kalangan pembaca?”
“Kok pesimis duluan?”
“Nggak sih, hanya melihat ke diri
sendiri. Umi lebih kena dengan tulisan yang bahasanya sederhana tapi langsung
paham maksudnya. Kadang kalau baca yang sepertinya nyastra banget, diksinya
super indah, tapi malah bingung menangkap pesan penulis. Mungkin Umi bukan
penikmat tulisan, tapi lebih sibuk mencari pesan. Kalau di level pembaca sastra
termasuk kelas rendahan, apa tuh istilahnya? Kelas Sudra.”
“Memang pembaca berkelas-kelas?”
“Nggak tau juga. Tapi seingat Umi
ada yang pake istilah kelas tinggi, sedang, rendah entah apa lagi, terutama dalam membaca dan memahami puisi.”
“Lha Umi menulis, mau memuaskan
selera pembaca nggak?”
“Nggak kepikir Chie. Yang penting
Umi menyampaikan pesan kebaikan, Alhamdulillah kalau ada yang mengambilnya,
kalu pun nggak ada, ya nggak apa-apa. Harapannya sih, andai sekarang belum ada
yang mengambil manfaatnya, tapi suatu saat nanti ada. Kan tulisan nggak basi.”
“Memang Umi nggak ada minat
meningkatkan?”
“Ada, Umi belajar terus, tapi nggak
ambisi banget dengan capaian itu, mengingat hal
itu berkaitan dengan masalah selera manusia. Umi menulis untuk ikut
andil dalam perubahan menuju ke arah yang lebih baik. Kalau dengan menyentuh
bisa berubah, mengapa mesti mengaduk-aduk? Kalau dengan bahasa biasa bisa
diterima, kenapa dengan bahasa yang Umi sendiri mikirnya pake lama untuk
memahami? Ibarat obat, diberikan sesuai dengan jenis dan tingkat keparahan
penyakit.”
“Kalau tulisan Richie, Mi?”
“Umi yakin! Richie punya kemampuan
untuk menjadi penulis besar, asal...”
“Asal apa, Mi?”
“Waktu isengnya dikurangi, fokus!
Richie mau jadi penulis dengan karakter seperti apa, dan terus diasah.”
Richie tercenung. Umi benar!
“Nah! Hampir lupa kaaan!” Umi
setengah teriak, ingat misinya menemui Richie.
“Umi! Ngagetin lagi!”
“Gimana sih? Suara lembut kaget,
agak kenceng kaget. Umi kan ke sini mau minta tolong, malah diajakin ngobrol.”
“He he he, minta tolong apa, Mi?”
“Abi pulangnya agak sore, tolong
beliin sayur matang sama lauknya sekalian.”
“Umi nggak masak?”
“Umi lagi fokus, nyiapin buku, yang
ribet-ribet didelegasikan.”
“Untuuuung aja suami Umi itu Abi,
kalau Richie aja...?”
“Ngapa kalau Richie?” Umi siap-siap
melotot.
“Nggak kok, he he he. Sekalian
Richie nasi bungkus ya, Mi?”
“Ya, tapi pake telur aja?”
“Iiih, telur terus. Sekali-kali ayam
ngapa?”
“Telur kan sama aja dengan ayam,
malah lengkap, dari kaki sampe kepala.”
Sambil bersungut, Richie mengambil
kunci motor dan segera berlalu memenuhi pesanan Umi.
No comments:
Post a Comment