Thursday, December 11, 2014

Hari Baik

"Gimana, Las? Bisa sesuai rencana?" tanya Anya, antusias. Dia bahagia banget mendengar  sahabatnya ini sudah dilamar, sebentar lagi mengakhiri masa kesendiriannya.

"Alhamdulillah, sesuai rencana," jawab Lastri. Heran! Kok nggak semangat?

"Ada apa, Lastri?" tanya Eva.

"Masalah hari, yang belum sepakat. Orang tuaku tidak setuju dengan hari yang kami usulkan."

"Alasannya?" tanya Eva.

"Hari yang kami usulkan bukan hari baik, katanya. Menurut perhitungan mereka, perjodohan kami memiliki hari baik tepat hari Rabu sebelum hari Minggu yang kita pilih."

"Kok sedih? Bukannya harus senang, karena dimajukan, mengurangi masa penantian?" goda Anya.

"Anya! Ini masalah serius, menyangkut akidah!" sela Eva, tapi sambil menahan senyum mendengar pernyataan Anya.

"Memang hari yang kalian pilih, tidak baik?" tanya Anya, serius.

"Menurut mereka, yang menghitung-hitung berdasarkan hari lahirku dan calon suami,  kurang baik, yang akan berakibat pada kehidupan kami selanjutnya," jelas Lastri, belum bisa tersenyum.

"OMG! Hare gene masih ngomongin klenik?" celetuk Eva.

"Begitulah!" Lastri angkat bahu

"Trus, kalian memilih hari berdasarkan apa?" selidik Eva.

"Kami mengambil hari libur, harapannya tidak berbenturan dengan hari kerja kami, panitia dan para undangan, jadi tidak repot dengan perizinan."

"Dari pihak calon suami gimana? Keberatan pasti, tapi gimana sikapnya?" tanya Anya.

"Mereka menyerahkan keputusannya padaku. Tapi aku tahu, kalau menentang, orang tuaku pasti sangat sedih. Tapi kalau mengikuti, apa bukan berarti aku membenarkan tindakan mereka? Menyetujui keyakinan mereka yang tidak ada tuntunannya dalam agama kita?"

"Tapi dalam menentukan hari yang kalian pilih pun tidak berdasarkan ketentuan agama, kan?" selidik Anya.

"Memang tidak ada, sih," jawab Lastri.

"Coba dihitung ulang, jika mengikuti kemauan kalian, kira-kira apa akibatnya? Terutama pada perasaan kedua orang tua? Sakit hatikah mereka? Sedangkan tidak ada juga hal prinsip yang kalian pertahankan. Kemudian, jika kalian menuruti kemauan orang tua, apa akibatnya? Akankah akan mempengaruhi keyakinan kalian? Mengotori akidah kalian?"jelas Anya.

"Selama ini, apa usaha yang sudah kalian lakukan? Bicara dengan orang tua, memberi pengertian? Sudah berapa sering mengkomunikasikannya?" tambah Eva.

Lastri tercenung. Jujur, selama ini dia kurang mengkomunikasikan hal itu, merasa belum percaya diri untuk memberi penjelasan pada orang tuanya. Semangatnya tumbuh. Masih ada waktu, semoga sebelum undangan dicetak, masalah ini sudah bisa diatasi. Tapi...

"Bagaimana kalau tidak berhasil?" Lastri ragu.

"Nabi Ibrahim berhasil nggak mendakwahi orang tuanya yang kerjanya membuat berhala? Rasulullah berhasil nggak mengajak paman yang dicintainya untuk bersyahadat? Nabi Nuh, Nabi Luth, berhasilkah mengajak keluarganya? Dakwah itu apa yang kita lakukan, ikhtiarkan, bukan hasilnya," jelas Anya.

"Apa kata teman-teman dan masyarakat, kalau sampai aku menikah di hari yang mengikuti klenik? Pasti mereka akan mencibir, sekian lama aku aktif mengikuti kajian, kok tidak berbekas?" mendung menggelayuti wajah Lastri.

"Tingkatkan kedekatan pada Allah, Lastri. Dia yang membolak-balik hati manusia. Mudah baginya membuat orang tuamu menerima pemahaman yang benar. Ikhtiarnya juga ditingkatkan, bersikap lembut kepada orang tua, semoga kesantunan dan kegigihanmu menyampaikan yang hak, membuat mereka bersimpati. Andainya pun belum berhasil saat ini, akan menjadi PR dakwah di keluarga untuk masa mendatang," hibur Eva, menenangkan.

"Tolong bantu dengan doa, ya teman-teman," pinta Lastri.

"Pasti!" jawab Anya dan Eva, serempak.


No comments:

Post a Comment