“Bayar cicilan, Mi,” Richie nongol
lagi, sepertinya habis mandi.
“Cicilan apa Chie. Seperti debt
colector aja?”
“Belum ganti hari, sudah lupa.
Memang gitu ya, Mi, usia menjelang kepala lima?”
“Laaaah, malah nyinggung-nginggung
hal sensitif gitu.”
“Cieeee, yang merasa belum tua.”
“Lha Richie tuh nagih apaaaa?”
“F3 S3!”
“Oo, kirain sudah nggak tertarik
lagi.”
“Malah kepikiran terus, Mi.”
“Ok, kita mulai. F3= food, fashion,
fun. Tiga hal ini digunakan untuk menghancurkan kepribadian dengan cara yang
sangat lembut. Mengapa? Karena ketiganya menjadi kebutuhan dasar manusia.
Makanan! Ada pendapat, kalau dulu makan untuk hidup, sekarang hidup untuk
makan. Makan tidak sekedar memenuhi kebutuhan pokok, tapi banyak juga pemilihan
makanan berdasarkan selera, gaya hidup bahkan karena jaga gengsi.”
“Kayak Mas Richie tuh, sekarang
nggak doyan lagi ubi rebus,” tiba-tiba muncul seorang gadis membawa nampan
berisi 4 gelas teh.
“Eh, ada Susi, kapan pulang?”
spontan Richie menyambut dengan ledekan.
“Umi, liat tuh Mas Richie. Susi
baru datang, sudah ditanya kapan pulangnya,” gadis itu merajuk.
“Bercanda Sus, ih, lebay banget sih.
Sama siapa ke sini?” Richie menetralkan suasana.
“Sama Meutia, lagi mandi dia.”
“Eitdah! Sicentil ikut juga.”
“Sama adik, kok gitu Chie?” Umi
menyela.
“Lah memang iya, masa Richie bohong.”
“Mas Richiiiiiiie...kangeeeen!”
“Stop! Salim aja, nggak pake peluk!”
Richie buru-buru mencegah gadis mungil itu menubruknya.
“Huuuu!” terpaksa Meutia hanya salim
cium tangan kakaknya. Padahal dia pengen seperti waktu kecil dulu, bisa minta gendong belakang, peluk, dll.
Setelah berbagi kabar, Richie minta
Umi melanjutkan penjelasannya. Dia ingin Susi, sepupunya dan adiknya ikut
mendengarkan.
“Fashion. Perhatikan gaya
berpakaian zaman sekarang. Coba pikir,
apa tujuan berpakaian?”
“Ha ha ha Umi, nggak bisa
ngebayangin kalau nggak ada pakaian.”
“Hih! Mas Richie ini, porno!” Susi
melotot.
“Jadi, apa fungsi pakaian?” tanya
Umi.
“Untuk melindungi tubuh, Mi. Itu
yang paling utama, makanya kalau dipelajaran masuk ke kelompok kebutuhan
primer.” Jawab Susi.
”Dulu, Mbah Kakung, kalau punya baju
agak bagus lebih dari tiga stel, sudah bingung mau dikasih ke siapa. Beliau
merasa cukup dengan tiga stel pakainan untuk seminggu mengajar dan mengikuti
acara-acar resmi.”
“Tiga, Mi? Ck ck ck, lha Meutia aja
sehari bisa ganti lebih dari tiga kali,” sela Meutia.
“Tuuh kan, bener apa kata Richie,
memang centil dia nih.”
“Meutia centil masih mending,
namanya cewek, lha Mas Richie pake masker, apa itu, yang warnanya ijo, kalo
dipake seperti bertopeng,” Meutia nggak mau kalah.
Richie melotot, melempar Meutia
dengan kacang rebus yang akan dimakannya.
“Belum lagi alasan membeli pakaian,
bukan sekedar karena kebutuhan, tapi lebih karena tuntutan mode yang diikuti,”
lanjut Umi, mengabaikan keributan yang terjadi.
“Nah, kalau Susi korban mode tuh,
Mi,” tuduh Richie sambil melirik Susi, membuat gadis itu melotot, protes.
“Sudah, nggak usah ribut, nanti
nggak selesai-selesai. Pakaian menjadi industri yang luar biasa dan itu sangat
terkait dengan kerusakan moral bangsa. Kok bisa? Sangat bisa! Mode pakaian yang
mengumbar aurat dan pamer kemolekan tubuh berefek pada rusaknya tatanan sosial
yang sehat. Menghilangkan rasa malu, yang seharusnya rasa malu itu menjadi
benteng keimanannya. Ketika rasa malu sudah hilang dari diri seseorang,
maka dia tidak segan lagi melakukan
pelanggaran-pelanggaran.”
“Fun. Yaah, segala sesuatu yang
sifatnya senang-senang. Bisa tontonan, rekreasi dan segala sarana yang
menunjang itu. Contoh, begitu maraknya industri sinetron, yang bukan sekedar
jadi tontonan, bahkan dijadikan tuntunan. Alangkah banyaknya gaya hidup yang
berlaku di masyarakat yang terinspirasi dari sinetron yang setiap hari tayang.
Bagaimana mau sempat belajar membaca Al Quran, ikut kajian, baca buku yang
bermanfaat, kalau waktunya dihabiskan untuk menikmati kesenangan?”
“Kok diam, Mas Richie?” goda Susi.
Gadis ini tau betul tentang hobi sepupunya itu.
“Iya tuh, Mas Richie. Coba tanya,
Mi, apa judul-judul sinetron dan kapan jam tayangnya ke Mas Richie, pasti bisa
jawab dengan tepat,” tambah Meutia, cengar-cengir. Richie tidak bisa berkutik,
ingat bagaimana hari-harinya di kampung saat belum kuliah dulu.
Richie pura-pura cuek, tapi
sebenarnya sedang sangat menyesali, mengapa tanpa disadarinya dia termasuk yang
menjadi korban makar musuh-musuh Islam. Dan sepertinya, banyak pemuda-pemuda
sepertinya, tidak menyadari serangan-serangan yang halus dan sangat
menyenangkan itu.
“S3-nya dilanjut nanti atau besok ya. Yuk Susi
sama Meutia, bantu Umi masak.”
“Iya tuh, biar tau urusan dapur,”
Richie masih sempat menimpali.
No comments:
Post a Comment