Friday, August 22, 2014

Untuk Orang Dewasa

Harish sakit! Artinya, siap-siap semua urusan selainnya ditunda atau didelegasikan pada orang lain.

Begitulah, aku harus stand by di sisinya ,menunggu apa yang dimaui. Beranjak hanya untuk shalat atau mengambil sesuatu, atau kalau dia terlelap.

Pijit! Itu andalannya. Sangat sulit diberi obat. Selain pijit sana, pijit sini, kerjaku membujuknya untuk makan sesuatu dan memperbanyak minum. Pada prinsipnya, tubuh kita sudah dibekali  kekebalan untuk melawan penyakit, tapi karena satu dan lain hal, kekuatan tubuh menurun untuk itu. Salah satu cara untuk meningkatkannya adalah dengan memenuhi kebutuhan asupannya. Itu sebabnya, ketika seorang pasien masih mau makan dan minum, optimis lebih mudah proses penyembuhannya. Terutama saat demam, keseimbangan cairan tubuh sangat dibutuhkan agar tetap stabil.

Siang tadi, kondisi Harish kuperhitungkan sudah saatnya dibantu dari luar untuk meningkatkan kekebalan tubuhnya. Maka kuputuskan memberinya obat, seperti biasa, acara dimulai dengan membujuk, kemudian Harish menangis dan puncaknya, kalau jalan baik-baik tidak bisa, terpaksa dengan ancaman atau dipaksa.

Hmm, edisi Umi kejam!

"Ayo Harish, minum obat," bujukku, dengan sesendok obat herbal ramuanku sendiri yang kucampur dengan madu.

"Harish maunya obat yang dari dokterrrr... hu...hu...hu," elaknya, memelas.

Rupanya dia ingat, aku masih menyimpan obat penurun panas dari rumah sakit, saat kepalanya dijahit karena jatuh, ketika lebaran idul fitri kemarin.

"Itu bukan obat, hanya menurunkan panas," jelasku.

"Tapi kan obat Umi untuk orang dewasa...hu...hu...hu."

Lho? Kok pakai diskriminasi sih, batinku, tapi pengen ketawa. Bisa-bisanya Harish menyimpulkan seperti itu.

"Ya nggaklah, obat Umi bisa untuk orang dewasa, juga untuk anak-anak. Kalau orang dewasa, cara minumnya langsung di telan, tapi kalau untuk anak-anak, cangkang kapsulnya dibuka, trus isinya dicampur madu, baru deh diminum, yook?" bujukku lagi.

"Nggak mauuuuu...hu...hu..hu!" teriaknya.

"Memang Harish nggak jadi dibeliin balon? Kan Abi mau beliin balon?" ha ha senjata pamungkas aku keluarkan.

"Ya sudahlah!" yesss! Berhasil. Masih dengan tersedu, Harish meminta gelas berisi minum yang kupegang, supaya setelah minum obat, langsung di dorong air sebanyak-banyaknya. Obat Umi pahit siiiih!

Harish sudah tahu, kalau aku sudah memintanya minum obat, cara apapun dia tak akan bisa mengelak. Aku jarang memberinya obat, herbal sekalipun.

Kalau sakit, upaya pertama dengan menjaga makan minum yang mencukupi, wajar kalau Harish sakit, Abi jadi kolektor makanan dan minuman, sampai-sampai ada yang cemburu.

"Kalau Harish sakit, banyak banget jenis makanan, minuman," kata Hafa.

"Memang kalau Hafa sakit, nggak begitu?" tanyaku. Hafa berusaha mengingat-ingat, kemudian...tersenyum malu.

"Iya ding, banyak juga. Tapi kalau sakit, nggak kepengen makan." jawab Hafa.

"Lucu ya? Kalau sehat makanannya biasa aja, tapi kalau sakit, semua makanan dibeli, padahal nggak enak semua," kata Husna, dengan gaya hiperbolnya.

Aku tersenyum tanpa menjawab, dalam hati membenarkan, tapikan lain lagi urusan dan pertimbangannya? Anak-anak mana tahu itu?

Upaya kedua, dengan memijitnya. Namanya Umi Abinya terapis, he he, ya anak sakit ya dipijit. Sampai Harish hafal, titik-titik mana yang biasa aku pijit. Kalau sudah begitu, mulai deh...Mi, yang sini...Mi, ininya...Mi, jangan dipencet ya, dielus aja, wah-wah-wah, enak tenan!

2 comments: