Saturday, August 16, 2014

Karena Aku Menulis

"Wah! Mbak, selamat ya, hebat-hebat anaknya."

"Gimana cara mendidiknya sih, kok anaknya bisa seperti itu, bikin ngiri."

Masih banyak lagi pernyataan teman-teman tentang anak-anakku yang tidak sedikit itu. He he, untuk ukuran sekarang, enam orang anak bukanlah jumlah sedikit. Pernyataan-pernyataan itu tentu menyenangkan! Siapa orang tua yang tidak senang jika dianggap memiliki anak yang hebat?

Hebat itu luar biasa. Hebat itu lebih dari yang lain. Hebat itu punya nilai lebih. Hebat itu berprestasi.

Hei-hei, tunggu dulu! Coba cek ke dalam hati, apa yang kurasa? Sekedar senangkah? Atau . . .bangga? Ups! Bahaya! Bangga merupakan awal mula dari merasa lebih dari orang lain, merasa bisa melakukan hal luar biasa, ujung-ujungnya sombong, menganggap orang lain lebih rendah, lebih tidak mampu, dll.

Aku berlindung kepada Allah dari hal itu.

Lalu mengapa bisa terjadi hal seperti ini? Benarkah memang anakku hebat-hebat?

Sebenarnya, hebat tidaknya seorang anak, tergantung dari sudut pandang yang melihatnya.

Contoh, seorang anak yang senang bergerak, lari sana-sini, loncat dari atas kursi, pindah dari meja ke kursi, sambil berteriak menirukan suara-suara tertentu.

Mungkin sebagian orang memandang anak ini nakal, susah diatur karena sudah berulang kali diingatkan, minta perhatian berlebihan, pokoknya sangat menjengkelkan.

Tapi bisa jadi, orang lain melihat anak ini sangat cerdas. Bagaimana dia mampu mengkordinasi seluruh unsur tubuhnya, berarti kordinasi seluruh bagian otaknya aktif difungsikan.

Setiap anak mempunyai potensi yang belum diketahui seberapa besar dan jenisnya, sebelum muncul dalam bentuk perbuatan. Sedangkan bagaimana perkembangan dari potensi itu sangat ditentukan oleh respon dari lingkungannya. Pilihan respon yang kita berikan pada setiap prilaku anak yang merupakan ekspresi potensi dirinya, kadang bersifat spontan, tidak menimbang apa efek psikologis pada anak, dan bagaimana pengembangan potensi yang lainnya.

Anak nakal!

Ucapan ini bisa jadi pisau jagal bagi potensi dan kreativitas anak. Sedangkan masa anak adalah masa bebas hukum, masa pembentukan karakter. Alangkah sedihnya saat potensi itu baru tunas langsung dibabat habis dengan pelabelan yang tidak semestinya? Berapa kerugian kita sebagai bangsa, jika calon generasi penerus hancur sebelum tunasnya jelas terlihat? Berapa potensi bangsa yang gagal tumbuh karena ketidak fahaman orang tua? Miris!

Kembali lagi pada tanya di atas, benarkah anakku hebat-hebat?

Alhamdulillah, Allah telah memberikan karunia-Nya. Dalam beberapa hal anakku memang lebih dari anak seusianya, tapi aku yakin, banyak anak-anak lain juga lebih dari anak-anakku.

Anakku terlihat hebat karena aku menuliskannya. Karena aku menceritakan dan memberitahukannya pada orang lain.

Tujuannya? Pamerkah?

Bukan!

Pertama, itu caraku bersyukur, menunjukkan dan tidak menyembunyikan karunia yang telah diberikan-Nya.

Kedua, aku ingin anakku menyadari, bahwa dirinya sangat berarti dan kehadirannya di dunia ini bukan tanpa tujuan. Allah menghadirkan mereka untuk sebuah tugas mulia, sehingga tak layak menyia-nyiakan kehidupan yang telah diberikan-Nya.

Aku ingin, anak-anakku dengan kelebihannya bisa memotivasi anak-anak lain, bahwa mereka pun bisa mengikuti jejaknya, mengoptimalkan potensi yang dimilikinya, dengan kesungguhan tentunya.

Bagaimana dengan kekurangannya? Mengapa tak diceritakan?

Bukan tak ingin menceritakan, ada saatnya itu disampaikan. Tapi aku percaya, setiap kita tak ingin kekurangannya diceritakan kepada semua orang, karena yang bersangkutan sedang dalam proses memperbaiki kekurangan tersebut, sampai suatu saat nanti, kekurangan itu tinggallah masa lalu. Kekurangan bukan hal yang haram diceritakan, tapi lebih selektif untuk mendukung tujuan tercapainya suatu tulisan.

No comments:

Post a Comment