Tuesday, August 19, 2014

Sang Promotor

<p>Sebagai seorang ayah, tentu sangat bahagia mendengar pernyataan anaknya tentang cita-cita yang istimewa. Tentu wajar, bila kemudian berupaya sekuat tenaga mendukung agar cita-cita itu bisa tercapai. Segala hal yang akan mendukung dan mampu, akan dilakukannya. Sebuah cita-cita yang terbatas waktu pencapaiannya, tentu berbeda dengan cita-cita umum yang biasa dibicarakan.Ketika seorang anak bilang, akan jadi dokter, tentu sudah terbayang, bagaimana jalan yang akan ditempuhnya, berapa lama waktu yang akan dilaluinya, berapa biaya yang dibutuhkan.</p>

Berbeda dengan cita-cita yang disampaikan anaknya, seakan waktu untuk mencapainya begitu dekat, bila tidak sesuai waktu itu, akan ada efek yang tidak baik.

Saat usia 14 tahun, mengatakan ingin memiliki pondok sebelum menikah, tentu terbayang jelas, kira-kira berapa tahun waktu untuk mewujudkannya, bila tak ingin terlambat menikah karena cita-citanya belum tercapai. Memang bukan nadzar, dalam artian akad nadzar, tapi sebuah pernyataan yang akan ditunggu pembuktiannya. Benar, jodoh adalah rahasia Allah, tapi tetap saja usaha yang dilakukan harus sesuai dengan yang direncanakan.

Pengalamannya dalam mengelola Taman Pendidikan Al Qur'an dan pelatihan Baca Tulis Al Qur'an dari tahun 1988, bahkan tingkat nasional. Pengalaman mengelola Pendidikan Guru TK dan mendirikan serta mengelola TK. Pengalaman dalam organisasi kepemudaan, kepartaian dan beberapa asosiasi pengobatan alternatif, memantapkan tekadnya untuk segera mengambl langkah awal. Bukan hal mudah memang, tapi bukan juga hal yang mustahil.

Keyakinannya bahwa Allah akan menolong orang-orang yang berjalan dalam kebenaran, meninggikan nilai-nilai Al Qur'an, mengajarkan Al Qur'an serta memuliakan para penghafal dan penjaga Al Qur'an, menjadi penyemangatnya dalam memulai langkah ini. Syukurlah, keluarga mendukungnya, walau tidak seyakin dirinya.

Keberadaannya yang belum hafidz Qur'an tidak menyurutkan langkahnya. Idealnya memang, seorang hafidz Qur'an yang lebih layak mendirikan pondok tahfidz, tapi tak selamanya kondisi itu ideal. Dan kondisi yang belum ideal tidak harus menghalangi niat baik, bukan?
Apakah harus menjadi petinju untuk menjadi seorang promotor pertandingan tinju? Apakah hanya para penyanyi yang boleh menjadi promotor sebuah konser?

Dua orang anaknya yang sudah hafidz Qur'an, memacu semangatnya untuk memperbanyak hafidz dengan mengajak orang tua lain, agar ikut merasakan bahagianya memiliki anak-anak hafidz Qur'an. Anak-anaknya menjadi hafidz, bukan hal yang tiba-tiba, tapi sudah menjadi impiannya saat aktif mengelola TPA, sebelum menikah.

"Ya Robbi, berilah waktu pada hamba untuk mengantarkan keenam MHA menjadi hafidz dan hafidzah, sebelum Kau panggil," desahnya saat malam gelap gulita diiringi linangan air mata mengharap, sangat!

Langkah awal yang dilakukannya adalah merencanakan terbentuknya Rumah Tahfidz, sebagai bentuk penyederhanaan dari pondok tahfidz, walaupun sedikit berbeda dalam pengelolaannya. Setidaknya ini sebagai langkah awal upayanya melayakkan diri dan keluarganya, untuk mendapat amanah nantinya memiliki atau mengelola pondok tahfidz.

Sosialisasi! Itu langkah awal yang dilakukan sebelum bisa yang lainnya. Dalam setiap kesempatan bertemu dengan muslim. Lewat obrolan silaturahim, kutbah Jum'at, pertemuan komite sekolah, saat mengisi majelis ta'lim, bahkan saat ada kesempatan pertemuan di assosiasi dan organisasi yang digelutinya.

Benar! Tak semudah membalik telapak tangan! Selalu sambutan positif yang didapat dari setiap sosialisasi, tetapi sambutan itu wujudnya tidak semuanya langsung mengarah pada terwujudnya Rumah Tahfidz. Tapi semua tetap disyukuri, setidaknya sosialisasi itu memotivasi para orang tua untuk lebih serius mengarahkan anak-anaknya tertarik untuk menghafal Al Qur'an.

Semakin banyaknya orang yang termotivasi dan menginginkan anak-anaknya menjadi penghafal Al Qur'an, banyak terkendala dengan kondisi yang ada. Pada umumnya, untuk menjadi penghafal Al Qur'an, belajar di pondok pesantren. Di sini muncul berberapa masalah, baik psikologis maupun finansial. Tidak setiap anak maupun orang tua siap berpisah, dan tidak setiap orang tua sanggup menanggung biaya yang tidak sedikit untuk belajar di pondok.

Pengalamannya sebagai orang tua, yang memondokkan anak-anaknya, sangat difahami. Hal itu juga yang menguatkan tekadnya untuk bersegera mewujudkan Rumah Tahfidz, agar keinginan-keinginan baik tersebut dapat terlaksana dengan mengeliminir kendala-kendala yang ada.

Dengan Rumah Tahfidz, seorang anak tidak harus berpisah dengan orang tuanya, juga tidak terlalu banyak biaya yang harus dikeluarkan.

# Seri Rumah Tahfidz MHA >3<

No comments:

Post a Comment