Saturday, August 16, 2014

Sang Inisiator



<p>Usianya baru 14 lebih tiga bulan, saat menyatakan kepada abinya. ingin menjadi ulama dan mendirikan Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an sebelum berkeluarga.

Usia 14 tahun, masa remaja yang penuh impian dan angan-angan. Orang lain mungkin menganggapnya ini celoteh anak yang sedang menghayal, tapi tidak dengan abinya. Ungkapan ini dinyatakan oleh seorang remaja yang sudah hafal Al Qur'an dan diucapkan pada tanggal 27 Ramadhan 1432 H/ 27 Agustus 2011, saat sedang i'tikaf.</p>

Namanya Muhammad Hatif Ash shiddiq, lahir tanggal 1 Juni 1997. Masa kecil dilakoninya seperti anak-anak yang lain. Ceria, kreatif, suka iseng dan suka bergaul. Mengenyam pendidikan pra sekolah di TKIT Qurrota'ayun hanya satu tahun, dilanjutkan ke SD Muhammadiyah Labuhan Ratu Bandar Lampung, hanya sampai kelas empat. Kelas lima sampai kelas sembilan dijalaninya di pondok Darrul Huffaz, karena mengikuti jejak kakaknya menghafal Al Qur'an.

Sebelum masuk pondok, bisa dikatakan belum ada yang melejit dari potensi dirinya, kecuali mudah bergaul dan memiliki banyak teman. Prestasi akademis biasa saja. Bahkan, ketika kelas empat, membaca Al Qur'an pun belum begitu lancar. Uminya sempat deg-degan saat menantikan pengumuman dari pondok, diterima atau tidak. Alhamdulillah, diterima.

Dua tahun pertama di pondok, Hatif masih memuaskan kebutuhan mainnya. Belum nampak berbeda dengan anak-anak seusianya. Saat kelas 7, sepertinya kesadaran itu datang bersama masuknya masa remajanya. Kesungguhannya dalam belajar mulai terlihat, dan puncak kesungguhan itu jelas terlihat saat kelas delapan. Sampai kemudian, tanggal 12 Agustus 2012 di wisuda dengan predikat penghafal terbaik dari wisudawan PonPes Darrul Huffaz saat itu.

Selain sebagai penghafal terbaik, Hatif juga beberapa kali menjuarai event-event Musabaqah Hafidzul Qur'an di berbagai tingkat dan penyelenggara. Prestasi yang sangat membanggakan saat usianya baru empat belas tahun sudah mendapat amanah menjadi imam tarawih satu juz permalam, mengimami jamaah dewasa dan para ustadz, Subhanallah.

Bagaimana Hatif saat berkumpul keluarga? Ha ha, sama saja dengan remaja lainnya, yang senang menggoda adik-adiknya.

Saat Hatif kelas 9, kakaknya yang tinggal di Jakarta, juga sudah Hafal Qur'an, menawarkan bea siswa ke Turki.  Sebenarnya tawaran itu untuk dirinya, tapi karena jurusannya tidak sesuai dengan minatnya, maka dia alihkan ke Hatif, yang saat itu sedang menimbang-nimbang mau melanjutkan pendidikan ke mana.

Setelah mengikuti rangkaian tes seleksi, dengan izin Allah, Hatif di terima UICCI (United Islamic Cultural Centre of Indonesia) sebuah yayasan sosial Turki yang bekerjasama dengan pemerintah Indonesia.

Ada beberapa program yang disediakan, salah satunya untuk yang sudah hafal Al Qur'an 30 juz. Untuk program ini, bagi yang mampu menjalani masa karantina satu tahun di Indonesia, tujuannya memantapka hafalan Qur'an, belajar bahasa Arab untuk persiapan mempelajari kitab dan belajar bahasa Turki untuk persiapan komunikasi, karena nantinya, di Turki, bahasa yang digunakan adalah bahasa Turki.

Hatif merasakan perjuangan yang sangat berat selama setahun di asrama Indonesia, bahkan pernah tercetus keinginannya untuk menambah waktu setahun lagi agar lebih mantap. Tapi orang tua dan kakaknya selalu memotivasi dan meyakinkannya bahwa dia bisa dan sanggup, dengan izin Allah tentunya.

Akhirnya...22 Agustus 2013 malam, Hatif take off dari Cengkareng.

Perjalanan menuju cita-cita dilanjutkan. Tak terfikirkan sebelumnya, di usia 16 tahun pergi sendiri ke luar negeri. Tanpa biaya, karena sejak di terima di UICCI seluruh biaya ditanggung oleh yayasan, semacam beasiswa.

Kebiasaan belajar keras dan tekun saat di Indonesia, sangat membantunya menyesuaikan diri dengan tugas belajar yang sangat berat. Selain memperlancar bahasa Arab dan Turki, pelajaran utamanya adalah menghafal kitab Nahu Sorof, pelajaran tata bahasa Arab dan segala yang berkaitan dengannya.

Metodenya? Menghafal! Ya, tak ada bedanya dengan menghafal Al Qur'an, ada setoran hafalan, ada saatnya ujian.

Belajar keras itu diimbangi dengan libur dua hari setiap dua minggu sekali. Mereka diberi uang saku untuk keluar asrama, refreshing sekaligus menjelajah Turki.

Mereka layak mendapatkan itu, mengingat kesungguhan mereka untuk dipersiapkan menjadi penjaga agama.

Hatif lumayan berprestasi, sehingga dia sering diamanahi menjadi imam, terutama saat ada tamu-tamu istimewa. Bahkan sering diundang untuk membaca Al Qur'an ketik ada acara-acara peringatan di masjid-masjid.

Saat libur, Hatif mendapat amanah untuk mengajar anak-anak di sana. Ini kesempatan langka, karena hanya beberapa orang saja yang ditunjuk untuk itu.

Sementara Hatif belajar, di Indonesia orang tuanya sibuk mempersiapkan apa yang menjadi cita-citanya.

Mendirikan pondok bukan pekerjaan ringan, butuh kemampuan yang tidak main-main. Dan tidak bisa Kun Fayakun, karena itu hak Allah. Tetapi itu bukan suatu hal yang mustahil, dengan izin Allah. Dengan bismillah, langkah-langkah kecil mulai di rintis. Secara perhitungan kemampuan diri, maka yang paling mungkin adalah memualinya dengan Rumah tahfidz.

Konsepnya sederhana, mencari pendukung sebanyak-banyaknya untuk proyek umat ini. Menemukan orang-orang yang menyediakan tempat, merekrut tenaga pengajar yang hafal Al Qur'an, mengumpulkan murid yang antusias menghafal dan menghimpun dana dari para dermawan agar proyek ini berjalan sesuai harapan.

Siapapun kita bisa andil dalam proyek ini, sebagai salah satu unsur yang dibutuhkan untuk suksesnya.

Hatif sebagai Sang Inisiator, tapi dia tidak akan bisa mewujudkannya sendirian. Dia butuh pendukung, untuk itu dia mengharapkan cita-citanya menjadi cita-cita bersama.

# Seri Rumah Tahfidz  MHA >2<

No comments:

Post a Comment