Friday, August 29, 2014

Kok Gratis

"Kok gratis sih?" komentar Hilmy, tanda kurang setuju dengan proposal yang sedang dipelajarinya. Proposal sederhana yang dibuat Abi.

Umi mengerling pada Abi, minta penjelasan. Sebenarnya sudah dibahas masalah itu, tapi Hilmy belum mendengar penjelasan langsung dari Abi. 

"Abi ingin memuliakan penghafal Al Qur'an. Penghafal sebagai pembimbing maupun penghafal sebagai santri. Banyak cara memuliakan mereka, salah satunya mengurangi beban mereka dalam urusan biaya," jelas Abi.

"Tapi nggak realistis deh, Bi. Pondok tahfidz lain berlomba-lomba menaikkan biaya, lha kita, yang baru mulai malah menggratiskan."

"Justru itu yang mendasari niatan Abi. Ketika kesadaran orang tua untuk mengarahkan anak-anaknya dekat dengan Al Qur'an, menghafal Al Qur'an, sebagian mereka terkendala masalah biaya. Belum lagi dengan masalah sistem, bagaimana tidak semua anak dan orang tua sanggup hidup terpisah, ketika anaknya mondok."

"Iya sih, tapi kan segala sesuatu harus terencana dengan rapi, jelas dari mana sumber dananya," sanggah Hilmy, dengan suara ditahan.

"Seperti itu maksud Umi kemarin, Bi. Jangan sampai kita berjalan sambil meraba-raba," sela Umi, merasa mendapat dukungan.

"Lah, sumber dana kan sudah jelas, Allah Yang Maha Memberi Rizki," dengan semangat Abi menjawab, berusaha meyakinkan Hilmy dan Umi.

"Nggak ada keraguan tentang itu. Tapi rizki dari Allah sampai ke kita itu kan ada jalannya, bukan tiba-tiba gedebuk jatuh dari langit," sanggah Umi.

"Jangan sampai masalah dana menjadi kendala di awal perjalanan. Baru jalan, biaya kurang, padahal kita sudah merekrut para pengajar dan santri," Umi mengulang pernyataannya beberapa hari lalu.

"Dan lagi, apa salahnya orang tua membiayai untuk itu? Untuk belajar yang lain, mereka berani bayar mahal, masa untuk Al Qur'an malah nggak bayar?" tambah Hilmy.

"Sambil jalan kita pelajari, di awal kita gratiskan biaya belajar, maksudnya tidak ada biaya dari santri untuk honor pengajar. Semua begitu, baik orang tuanya kaya atau miskin. Kalau dari orang tua ingin ikut berpartisipasi, ya kita masukkan ke dalam daftar donatur."

"Kita nggak boleh dong mengandalkan donatur, kita harus punya kekuatan sendiri, kalau ternyata suatu saat donaturnya macet. Sedang kita? Belum berlebih, kalau tidak bisa dikatakan untuk memenuhi biaya pendidikan adik-adik aja sering nunggak," Hilmy coba mempertahankan pendapatnya.

"Kalau nunggu cukup baru berbuat, kapan cukupnya? Terus kapan berbuatnya? Setelah Abi evaluasi, lebih dari 20 tahun berumah tangga, dengan berbagai jenis usaha dicoba. Kerja keras nggak kurang-kurang, ternyata? Allah memberi secukupnya. Mungkin ada kekurangan di sana-sini dalam hal usaha, tapi semua nggak lepas dari kehendakNya. Sepertinya kita bukan orang yang pantas diberi kelebihan harta. Karenanya, Abi tetap ingin berbuat dengan sesuatu yang lain, yaitu dengan memfasilitasi," jelas Abi dengan suara datar. Hilmy diam, mencoba memahami jalan pikiran Abi, yang berbeda dengan teori-teori bisnis plan yang selama ini dipelajarinya.

"Umi paham jalan pikiran Abi, tapi nggak semua orang bisa mengerti. Bagaimana kalau banyaknya santri tidak sejalan dengan dana yang masuk? Sedang orang tua tahunya, mereka menitipkan anaknya secara gratis?" kata Umi, ragu.

"Kita harus bangun komunikasi efektif dengan orang tua. Menjadikan anak penghafal Al Qur'an bukan tanggung jawab sepenuhnya Rumah Tahfidz, tapi tanggung jawab orang tua juga. Dan tidak setiap yang mendaftar langsung diterima, ada kriteria dan perjanjiannya. Orang tua kita ajak bersama-sama mencari donatur, sebagai partisipasinya dalam program ini," jelas Abi.

"Kalau begitu, beri keterangan, syarat dan ketentuan berlaku, supaya tidak ada salah persepsi tentang gratis ini. Takutnya ada yang menyangka, ini hanya pilihan bahasa promo," jelas Umi.

"Untuk urusan ini, tolong ikuti pendapat Abi. Sekuat tenaga Abi akan berusaha, kalau nggak bisa bantu mencari dana, bantulah urusan yang lain. Untuk ke depan, ini menjadi urusan Hilmy dan adik-adik, sekarang ini Umi dan Abi membukakan jalan," tegas Abi.

Sekilas Umi melihat Hilmy belum sepenuhnya bisa menerima, tapi bagaimanapun kondisi ini tidak bisa dibiarkan berlama-lama. Mereka sudah sepakat dengan proyek ini, hanya urusan teknisnya yang masih perlu dikancah lebih dalam.

"Sudahlah Hilmy, kita ikuti dulu maunya Abi. Mungkin keyakinan kita yang perlu ditingkatkan," saran Umi.

Hilmy angkat bahu, tapi dia berusaha menerima saran Umi. Bahkan kenyataan selanjutnya, dia begitu bersemangat mengerjakan tugas-tugas yang dia bisa lakukan, untuk menghemat biaya. Urusan membuat logo, spanduk, kartu nama, brosur, semua disanggupinya.

#Seri Rumah Tahfidz >11<

No comments:

Post a Comment