Thursday, July 31, 2014

Terapisnya Keok

"Nen, bawa alat bekam ya, pengen nyobain," kakak sulungku SMS dari tempat mamak.

"Oke," jawabku, sambil menambahkan alat bekam dalam bawaan yang sedang kusiapkan untuk mudik.

Setelah semua siap, Senin siang kami berangkat. Hanya enam orang, sisulung belum sampai rumah, rencana malam nanti baru berangkat dari Singapura. Adiknya belum bisa pulang, paling cepat dua tahun lagi. Ini lebaran pertama kami mudik tidak lengkap.

Ah, sebenarnya nggak mudik-mudik amat. Jarak perjalanan hanya butuh waktu sekitar satu jam.

Setelah beres dengan salam-salaman dan menegur sapa, terapis segera beraksi ha ha.

Pasien pertama bekam. Dengan sedikit takut-takut, maklumlah, ini pengalaman pertamanya. Walaupun pensiunan perawat yang biasa mendampingi dokter bedah, tetap saja melukai diri terasa sangat mengerikan. Apalagi sebelumnya mendapat informasi yang kurang pas tentang bekam. Katanya bekam itu disayat-sayat dan diambil darahnya. Ha ha, ini harus diedukasi dulu.

Setelah oke, dan percaya sepenuhnya, bekam mulai dilaksanakan. Disaksikan kakak ipar yang juga pensiunan perawat anestesi. Selama proses bekam, kami diskusi tentang kesehatan dan berbagi pengalaman.

Selesai bekam, kakak ipar minta diakupunktur. Walau dengan takut-takut, dia berusaha pasrah, he he.

Berikutnya kakak laki-laki. Setelah diprovokasi, akhirnya mau juga diakupunktur. Sayang...baru tiga jarum, keringat bercucuran, wajah pucat, mengeluh terasa mau pingsan. Segera jarum kucabut, kupijat-pijat leher belakang sambil menunggu Abi melanjutkan dengan terapi pijatnya.

Sebagai sepasang terapis, kami biasa melakukan hal-hal tersebut. Kelurga besar sudah tahu, itu sebabnya ketika berkumpul, masing-masing siap dengan keluhannya ha ha ha.

Sayangnya, kesibukan melayani mereka membuatku lalai terhadap diri sendiri. Sementara aku melakukan terapi, yang lain berkesempatan ngobrol dan makan-makan. Aku? ha ha, terasa lapar saat di mobil, ketika melanjutkan perjalanan ke rumah saudara yang lain.

Selama perjalanan tidak sampai dua hari bersilaturahim, sembilan orang sempat merasakan jarum-jarum akupunktur yang kubawa. Kurang istirahat, badan cape, makan tidak terkontrol membuat daya tahan tubuhku menurun.

Selasa malam, setiba di rumah tanda-tanda itu sudah kurasakan. Kusempatkan minum herbal sebelum tidur. Kepala terasa berat. Tapi rasa lelah mengalahkan sakit kepala itu.

Bangun saat subuh, benar-benar kurasakan sakit yang sangat di kepala dan leher belakang. Ditambah rasa mual. Setelah sholat kupaksakan mengambil jarum dan mulai menusuk diri sendiri. Di bagian wajah dan kepala yang bisa kujangkau.

Agak berkurang sakitnya, tapi sedikit. Sepulangnya dari masjid, Abi memijatku.

"Umi, kita mau ke Pringsewu lho," kata Husna.

"Mobil belum dikembaliin?"

"Belum."

"Sepertinya Umi nggak kuat deh. Umi nggak usah ikut ya?"

Ditunggu sampai jam sembilan, belum ada perubahan. Abi mengembalikan mobil sewaan.

"Kok nggak pergi aja? Umi nggak apa-apa di rumah sendiri," kataku. Abi menggeleng.

Akhirnya, lebaran hari ketiga tidak pergi. Abi hanya ke tetangga yang tidak mudik.

"Umi kemarin ngobatin sembilan orang, kok sekarang nggak bisa nyembuhin diri sendiri?" tanya Husna.

"Umi hanya mengobati, yang menyembuhkan hanya Allah. Kondisi sakit seseorang berbeda-beda dan obatnya juga beda. Umi sakit karena kurang istirahat dan kebutuhan yang tidak tercukupi, maka kesembuhan itu, selain diterapi dan diobati, ya harus dicukupi istirahat dan asupannya."

Yaa Allah, adakah rasa bangga dalam hati ketika Kau sembuhkan orang yang sakit lantaran terapi yang kulakukan? Astaghfirullah!


No comments:

Post a Comment