Tuesday, July 8, 2014

Sang Penjaga

<p>"Sssst! Dia datang!" angin berbisik kepada penghuni tepi danau. Hembusan lembutnya membuat dedaunan gemerisik, mengundang ikan-ikan di dalam segera berenang ke tepian. Burung-burung mengatupkan sayap,  bertengger rapi di dahan pohon. Tak ketingggalan semak-semak menyiapkan rerimbunnya. Berbagai jenis serangga menghentikan permainannya.</p>

Seorang remaja tanggung muncul dari hutan kecil yang memisahkan danau dengan sebuah kampung. Rok panjang warna gelap dan baju atasan sederhana. Jilbab senada dengan warna baju semakin menampakkan keanggunannya. Setiap datang, dia selalu mendekap sebuah benda, sebentuk buku dan berlindung di bawah bentangan payung sederhana.

"Dia menangis...," bisik angin, yang selalu lebih dulu mengetahui kehadirannya.

"Kenapa dia menangis?" daun-daun bergemerisik, saling bertanya. Tak ada yang berani menjawab. Mereka hanya menunggu apa yang akan terjadi.

Gadis itu menutup payung. Menyandarkannya di batang pohon. Dia melangkah ke dermaga kecil yang ada di tepi danau, di bawah pohon. Benda itu masih didekapnya. Dia duduk menyelonjorkan kaki, lalu menekuknya sedikit.

"Ayah...mungkin ini kali terakhir aku ke sini. Taman surga kita. Aku akan pergi..." ditebarkan pandangnya ke bukit-bukit yang mengelilingi danau kecil itu. Mereka nampak begitu gagah melindungi kesejukan danau. Dulu, saat ayahnya masih ada, dia sering diajak berperahu kemudian mendaki bukit itu. Sungguh, saat-saat yang sangat menyenangkan. Saat itu dia belum lancar membaca, maka ayahnya yang mendiktekan kemudian bersama-sama dihafalkannya.

"Hadiah ini sudah aku hafalkan semua, Yah," bisiknya sambil mencium benda itu. Dia tersenyum kecil. Dibiarkannya tetesan bening itu mengembun di pipinya. Lima tahun lalu, Ayah memberinya hadiah, saat dia sudah lancar mengeja huruf.

Ikan-ikan di danau termangu, menunggu suara yang telah begitu akrab di pendengarannya.

"Aku bahagia telah menghafalkannya, seperti yang pernah kau pesankan. Izinkan aku menambah kebahagiaanmu. Aku ingin menjadi penjaganya dan memperoleh kemuliaan seperti yang pernah kau ceritakan."

Serangga senyap menyembunyikan suaranya. Mereka tak ingin kehilangan satu huruf pun ucapan gadis itu. Anginpun hanya mengalun lembut, sekedar menjaga keberadaannya di tempat itu.

"Kakek bilang, sudah saatnya aku meninggalkan desa. Menuntut ilmu agar aku memahami makna yang terkandung di dalamnya. Sekedar hafal, itu belum cukup untuk tugas seorang penjaga."

Burung-burung yang bertengger di dahan, tak berani berkicau, khawatir membuat gadis itu mengurungkan ucapan-ucapan selanjutnya.

"Ayah...boleh kan aku meninggalkan Ibu? Kakek yang akan menjaganya. Walau berat berpisah, tapi ibu merestui. Beliau ingin, aku menjadi perempuan yang ulama, seperti bunda Aisyah."

Dedaunan diam membisu. Angin tak mengizinkannya berisik seperti biasa. Kekhawatiran mulai menyelimuti penghuni tepi danau, benarkah besok mereka tak lagi mendengar suara gadis itu?

"Kata kakek, untuk menjadi seorang penjaga Al Qur'an..." direnggangkannya benda yang ada dalam dekapnya. Ditatapnya benda itu, lalu dikecupnya lembut.

Bukit-bukit menggumam,"Ternyata yang dilantunkannya setiap hari itu, bacaan Al Qur'an."

"...Aku harus belajar ilmu tentangnya. Dan itu butuh waktu yang tidak sebentar. Tapi aku janji, suatu saat nanti, aku akan kembali. Kakek akan membantu menyiapkan padepokan di kampung kita. Dan aku akan mengajari anak-anak dan murid-murid di sini. Seperti yang dulu kau lakukan, Yah..." gadis itu tertunduk. Masa-masa indah itu seakan hadir lagi. Ayahnya menuntunnya menghafalkan ayat-ayat Al Qur'an sambil berperahu, atau rebahan di bawah pohon rindang.

"Yah, dengarkan murojaahku hari ini ya..." gadis itu menarik nafas, sebelum melantunkan suara lembutnya.

Seluruh penghuni tepi danau itu bergembira, alunan suara itu yang selalu mereka tunggu. Tapi mereka sedih, ketika menyadari, itu lantunan terakhir yang mereka dengar, sampai suatu saat yang tak pasti.

Setelah menyelesaikan bacaannya, gadis itu bangkit.

"Aku pulang dulu, Yah..." gadis yatim itu berbalik, menggapai payung dan membentangkannya. Dia tidak pernah merasa yatim, ayahnya selalu hadir bersama lantunan ayat-ayat Al Qur'an yang dibacanya. Dia hanya sedih meninggalkan tepi danau ini untuk waktu yang lama. Berpisah dengan sahabat-sahabat alam yang selalu merindunya. Perlahan, ditinggalkannya tempat itu. Di tepi hutan kecil, dia berbalik. Dia tersenyum, tapi anak sungai di pipinya semakin melebar.

"Selamat jalan, Sang Penjaga. Kami menantikanmu..." serempak sahabat-sahabat alamnya berbisik, sedih.

5 comments: