Harish mengalihkan pandangannya dari layar TV, saat Richie
mengambil kunci motor di atas lemari buku.
“Ke mana, Mas?” tanyanya.
“Jalan-jalan, ikut?”
“Ke mana?”
“Keliling-keliling aja, sambil nunggu beduk.”
“Beduk siapa? Temannya Mas Ichie, ya?”
“Huss! Harish tau beduk, nggak?” Harish menggeleng.
“Ingat nggak waktu ikut Mas ke Islamic Center. Di sebelahnya
ada benda besar, yang Harish pukul-pukul bunyi dug-dug dug?” Harish pakai gaya
serius, mata melirik, alis berpaut, jidat mengkerut.
“Ooo, yang terus Harish dimarah bapak-bapak itu ya?”
“Pinterrr!”
“Emang beduknya mau ke sini? Naik apa, Mas? Kan nggak bisa
jalan?”
Hadeeeh! Pusing juga menjelaskannya. Toh selama ini mau buka
nggak nunggu suara beduk, yang terdengar suara adzan. Iiih, kenapa juga tadi
latah, ngomong nunggu beduk?
“Nggak jadi nunggu beduk deh. Mau ikut beli susu kotak,
nggak?”
“Mau-mau-mau!” jawab Harish sambil loncat dari kursi goyang,
mengambil sandal.
No comments:
Post a Comment