Thursday, July 3, 2014

Baru Jam Sembilan

Terdengar suara Harish menangis dari luar rumah. Memang sejak tadi main bersama Hafa dan teman-temannya. Kutajamkan telinga,...ah, bukan tangis darurat. Toh di sana ada mbaknya, sebentar lagi juga masuk rumah.

Harish masuk, aku siap dengan bentangan tangan. Biasanya dia langsung melabuhkan kepalanya ke pangkuan, lalu kuusap-usap kepalanya. Ho ho, dia melewatiku yang sedang duduk di kursi, langsung menuju tempat tidur dan sesenggukan sambil memeluk bantal.

Kuhampiri,"Harish, kenapa?"

Dia tak menjawab.

"Jatuh, ya? Mana yang sakit?"

Ditunjukkannya dengkulnya sambil melanjutkan sedu sedannya.

"Oo, nggak apa-pa, Rish, nggak darahan. Jatuh di mana?"

"Di jembatan, di atas talut," jawabnya, tangisnya mulai mereda.

"Alhamdulillah, untung nggak nyemplung talut," jawabku menghiburnya.

"Umi, minum susu, ya?"

Ahay, baru jam sembilan cuy. Sudah mau buka puasa? Kemarin tahan sampai jam setengah sepuluh, oke lah, baru dapat musibah, he he.

Hmm, repot-repot bangun sahur, cuma tahan sampai jam sembilan, he he. Kalau nggak dibangunkan sahur, bakalan protes di pagi hari. Namanya juga latihan.

No comments:

Post a Comment