Monday, July 21, 2014

Impian Pertama = Hafidz Qur'an

“Mi, aku keluar, ya?” pintaku. Baru saja menceritakan pengalaman di boarding school, yang baru dua bulan berjalan..

Umi kaget, dan memandangku seakan meyakinkan apa yang baru didengarnya. Beliau tidak segera menjawab, hanya menghela nafas berat. Aku tahu yang dirasakannya, beratnya beban yang ditanggung. Bukan sedikit uang yang sudah keluar, bahkan dengan berhutang. Tapi demi pendidikan anak-anak, semua itu dilakukan. Mungkin juga umi belum bisa mebayangkan, anaknya putus sekolah.

“Besok kita bicarakan dengan Abi, siapkan proposal sederhana,” tegas Umi, meninggalkanku dengan wajah yang belum kumengerti.

Proposal?

Untunglah, waktu di pondok tahfidz, aku pernah jadi ketua panitia kegiatan, sehingga sempat diajari membuat proposal sederhana oleh ustadz pembimbing. Insyaallah bisa, bukankah semua sudah rapi kurencanakan? Tinggal menuangkannya dalam bentuk tulisan.

Selama ini memang Umi mengajarkan, bagaimana cara mengambil keputusan. Semua harus dengan perhitungan dan pertimbangan yang matang.

Keesokan harinya, aku diminta presentasi di hadapan Umi dan Abi.

Sebelum bicara, kuperhatikan wajah Abi. Terlihat sedikit tegang. Pasti Umi sudah menceritakan apa yang kusampaikan kemarin.

Aku berdehem, sebagai salah satu upaya menenangkan diri dan menarik perhatian.

“Aku pikir, empat tahun terlalu lama untuk tinggal di asrama. Banyak sekali yang ingin aku lihat dan lakukan. Cukuplah empat tahun terkungkung di pondok tahfidz.”

Menit-menit pertama aku merasa canggung, demam panggung, seperti saat tampil di depan kelas atau saat jadi MC di sekolah. Kuulang ceritaku pada Umi kemarin. Bahkan lebih detil lagi tentang kondisi di sana.

“Bukankah itu kesepakatan kita? Tidak ada yang memaksa?” Abi mengingatkan.

“Aku juga tidak terpaksa, saat itu. Tapi setelah mengkhatamkan hafalan 30 juz, pikiran berubah. Apalagi setelah menyaksikan langsung, sepertinya yang kucari tidak ada di sana.”

Kulihat wajah Abi mengeras. Menahan emosi. Beliau tahu sifatku. Tak mudah surut ke belakang, ketika sudah menentukan pilihan. Kemungkinan beliau memberatkan biaya yang sudah dikeluarkan untuk pendidikan di boarding school, dan tentunya tidak bisa kembali kalau aku keluar.

“Setelah keluar, mau apa?” tanya Umi, dengan wajah sendunya. Berusaha memahamiku dan  juga Abi.

“Rencana mau ke kampung bahasa, Pare, Kediri. Mau ambil kursus bahasa Inggris, mungkin kursus lain juga. Katanya di sana biayanya murah,” jawabku, mantap.

“Biaya lagi?” Abi bertanya, setengah mengeluh. Aku maklum, maafkan anakmu, Bi, batinku.

“Mohon keikhlasan Abi dan Umi atas biaya yang sudah keluar. Aku pikir, lebih cepat lebih baik. Kalau menunggu empat tahun, setelah itu kuliah, bisa dibayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan? Adik-adik membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Aku ingin lebih cepat mandiri, setidaknya mengurangi satu beban Abi dan Umi.”

Aku kasihan pada orang tua, yang begitu gigih memilihkan sekolah terbaik untuk anak-anaknya. Semua disekolahkan di TKIT dan SDIT, yang bukan rahasia lagi, sangat besar biayanya. Aku tahu, uang daftar ulang dan SPP sering menunggak. Untunglah ada kebijakan dari pihak sekolah.

“Abi cukup membiayai sebesar kesanggupan saat  di boarding school,” lanjutku.

“Untuk pendaftaran, tempat tinggal, gimana?”

“Sebelum ke Pare, aku mau ke Jakarta dulu, ikut musabaqah hafidzul qur’an, di kedutaan Saudi. Menang ataupun tidak, peserta akan mendapatkan biaya transport, insyaallah cukup untuk ambil paket kursus tiga bulan dan asramanya.”

“Gimana dengan pendidikan formal?” tanya umi.

“Aku tetap akan kuliah, tapi untuk tingkat SLTA anggap saja ikut homschooling, nanti ikut ujian paket C. Ijazahnya bisa kok untuk daftar kuliah.”

“Apa nggak sayang? Ayah pikir, dengan hafal Qur’an, lebih baik mengambil jurusan agama, nantinya jadi ulama.”

“Aku nggak mau jadi ulama, adek aja yang jadi ulama dan punya pondok. Nanti aku yang memback up dengan jadi pengusaha,” jawabku mantap.

Pada umumnya, seorang hafidz qur’an menjadi ulama atau pengasuh pondok pesantren. Maka ilmu agama itu akan berpusar di pesantren, sedang aku ingin, agama itu mewarnai kehidupan pada umumnya.

Bukankah agama diturunkan untuk menuntun kehidupan manusia?

Pembicaraan saat itu belum ada keputusan. Terlihat abi masih berusaha mencegah, tapi umi nampak sekali memahami.

Untuk sementara, aku pamit ke pondok tahfidz, memberi kesempatan umi dan abi merundingkan masalah itu. Saat akan berangkat, kucari-cari sandal baru yang kubeli dengan uang saku yang kudapat saat mengikuti musabaqah tingkat kabupaten, raib.

“Cari apa?” tiba-tiba umi bertanya dari belakang.

“Sandal...hilang,” jawabku, sedih.

“Sedih ya, kehilangan sandal harga seratus ribu?”

Aku tahu, umi mengingatkan. Betapa berat abi kehilangan uang jutaan rupiah yang terpaksa diinfakkan, jika aku jadi keluar.

Alhamdulillah, umi dan abi akhirnya meridhai. Aku tahu, itu semua tak lepas dari usaha umi yang intensif berdialog dengan abi. Satu kalimat yang sempat aku curi dengar, yang dikatakan umi pada abi,”Selama ini kita mendidik anak-anak bermental pemimpin. Berani mengambil keputusan. Apakah kita akan menjilat ludah sendiri?”

Yang dikatakan ustadz waktu di pondok tahfidz qur’an benar. Setelah khatam menghafal, semua yang aku cita-citakan diberi jalan kemudahan, walaupun bukan berarti aku santai-santai. Sunatullah tetap berlaku, yang gigih akan menuai kesuksesan.

Hafidz Qur’an, hafal seluruh isi Al Qur’an, adalah mimpi pertama yang ditanamkan umi dan abi pada kami, anak-anaknya. Untuk cita-cita yang lain, silahkan beri nomor urut impian berikutnya. Setiap kami bicara-cita-cita, umi dan abi tersenyum dan menjawab,”Bagus. Umi dan Abi dukung, tapi setelah hafidz Qur’an ya?”

Sebuah janji Allah yang melatar belakangi proyek impian ini, bahwa, jika kita mengejar dunia, maka dia akan meninggalkan kita dan akhirat tak akan kita raih. Jika kita mengejar akhirat, maka dunia akan mengejar kita.

Tiga bulan aku di Pare, lalu kembali ke rumah. Kemudian aku ikut bengkel elektronik, belajar katrampilan reparasi barang elektronik. Dua bulan cukup, lanjut ikut konter hp, belajar reparasi hp, sambil memberi privat membaca dan menghafal Al Qur’an.

Karena tinggal dengan orang tua, maka biaya hidup ikut keluarga. Hasil privat aku simpan, untuk uang muka kredit motor. Betapa bahagia, saat umur 16 tahun aku bisa mengeluarkan motor dari dealer, sebuah pencapaian yang sangat aku syukuri dan...bangga juga he  he.

Di tahun itu, aku sering di ajak abi menemui beberapa temannya yang sukses. Ada yang sukses mengelola bimbel, sekolah atau bisnis. Abi mengajak membuka wawasan seluas-luasnya dari pengalaman orang lain.

Tahun kedua, aku kembali ke Pare, mengambil program lanjutan.

Terpaksa kredit motor abi yang menanggung, kan aku sudah tidak berpenghasilan? Maaf, Bi, merepotkan lagi.

Kepergian ke Pare kali ini menjadi awal perubahan, setelah aku dipertemukan dengan ayah seorang temanku di pondok tahfidz dulu. Aku diikutkan dalam proyeknya, home schooling bisnis, menemani anak-anaknya. Tanpa biaya. Subhanallah.

Situasi belajar yang kudambakan selama ini, telah kudapatkan. Tanpa harus pakai seragam, waktu disesuaikan, tapi dengan disiplin tinggi, tahan banting dan siap dengan perubahan yang tiba-tiba.

Saat belajar tentang birokrasi, kami dimagangkan di kantor notaris. Mempelajari segala hal yang ada kaitannya dengan perusahaan. Langsung praktek membuat NPWP dan CV. Ha ha, usiaku yang baru saja 17 tahun membawa kesulitan. Bagaimana aku harus bernegosiasi dengan dinas, karena ada yang mensyaratkan usia 18. Dengan bantuan pembimbing, akhirnya aku bisa memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dan akta notaris CV, walaupun belum langsung dioperasikan.

Ketrampilan juga aku tingkatkan. Saat libur lebaran, abi menyewa mobil untuk silaturahim ke keluarga besar. Saat istirahat, aku belajar nyetir.

Alhamdulillah, saat mobil dikembalikan, aku sudah bisa, tinggal banyak berlatih. Ketika usia mencukupi, aku langsung buat SIM A. Wah, tambah beragam yang bisa aku kerjakan. Kadang jadi supir, kadang jadi kurir, sekali waktu menggantikan bos meeting. Saatnya belajar properti, aku dimagangkan di perusahaan properti, Seperti karyawan lain, ngantor dari pagi sampai sore.

Usiaku belum 20 tahun. Aku kuliah seperti teman lain, walaupun di Universitas Terbuka, agar waktu belajarnya fleksibel. Waktu lain aku gunakan untuk magang, sebagai program home schooling yang terus berlanjut. Mungkin orang menganggapku bekerja sambil kuliah, he he.

Kuakui, bukan hal mudah dan ringan menjalani semua itu. Bagaimana aku harus tetap berinteraksi dengan Al Qur’an sesering mungkin, sebagai seorang penghafal sekaligus penjaga Al Qur’an. Aku sadar, tak ada kepastian nafas ini berpisah dengan badan. Aku ingin, saat menghadap-Nya, hafalanku sempurna, sehingga janji Allah berlaku untukku, surga tertinggi.

Sebagai seorang karyawan magang, aku harus membuktikan, profesional dalam setiap amanah yang diembankan.

Sebagai mahasiawa, aku juga harus ada waktu untuk belajar, agar mahasiswa, bukan sekedar status untuk keren-kerenan.

Sebagai anak tertua, aku harus memberi contoh yang baik pada adik-adikku, walau tak sempurna.

Aku tahu, ini belum apa-apa, masih jauh dari sukses yang kudambakan. Tetapi setidaknya, impian pertama telah kuraih. Aku siap meraih mimpi-mimpi berikutnya, yang terus bertumbuh.

Saat merenung, aku ingat cita-citaku di sekolah dasar, mau jadi Prof.Dr. yang pembalap juga hafidz Qur’an.He he, keren banget kan? Setidaknya sebagian sudah aku dapatkan, entahlah dengan Prof.Dr. Semakin bertambah usia, semakin kupahami makna hidup ini. Bukan sekedar gelar yang memperpanjang nama, tapi seberarti apa hidup kita untuk orang-orang yang ada di sekitar.

Aku telah membuktikan, menjadikan hafidz Qur’an sebagai impian pertama, adalah benar.

Terimakasih Umi...Abi, love you.

No comments:

Post a Comment