Thursday, July 31, 2014

Oleh Oleh Lebaran

<p>"Astaghfirullah!" aku terbangun mendengar jeritan itu.

"Harish!" tak ku lihat Harish di sisi, segera meloncat dari tempat tidur, menghampiri arah suara.

Terlihat Harish dilantai, di sudut kamar, meringkuk, memegangi kepalanya. Segera kuangkat dan kupindahkan ke tempat tidur. Darah! Ada darah di kepalanya, banyak!

"Abiiii!" refleks aku berteriak. Terdengar langkah kaki berlari menuju kamar.</p>

"Masyaallah!" Abi segera mengambil Harish, aku berlari menacari tissue dan kapas di tas bawaan kami, di ruang keluarga. Abi membawa Harish ke ruang keluarga, lampunya lebih terang. Darah membasahi kepala dan baju Harish. Juga berceceran di lantai.

"Darah harus segera dihentikan," kata Abi. Ku obrak-abrik isi tas perlengkapan obat yang kami bawa. Plester yang kucari tidak ada.

"Propolis!" kakak ingat, sayang, tinggal sedikit. Sekitar setengah jam, darah belum berhenti. Aku hanya bengong melihat Abi dan kakak sibuk berusaha menghentikan darah. Ketenangan terapisku lenyap entah ke mana. Semua teori menghadapi kondisi gawat darurat tak ada yang ingat.Yang tinggal hanya kekhawatiran seorang ibu melihat anaknya dalam kondisi yang belum jelas. Sekilas Abi melirikku.

"Nggak usah nangis, kita ke UGD!" kata Abi. Aku segera mempersiapkan perlengkapan seperlunya. Baju Harish, mukena, minuman, dompet. Tepat tengah malam, kami berangkat ke UGD, rumah sakit terdekat. Abi menyetir ditemani kakak, aku duduk di belakang memangku Harish dengan posisi memeluk, sambil terus menyeka darah yang mengalir.

Lebaran pertama, malam itu kami menginap di rumah kakak Abi. Anak-anak dan Abi tidur di ruang keluarga, di depan TV dan sofa. Aku dan Harish tidur di kamar, di spring bad yang lumayan tinggi, setinggi paha orang dewasa. Selama ini Harish terbiasa tidur di lantai beralas kasur yang tebalnya tidak lebih dari 20 cm. Dalam semalam, dua sampai tiga kali aku memindahkannya ke kasur, karena dia sudah tidur di lantai. Harish yang lincah, bahkan dalam tidur sekalipun. Kelelahan yang menderaku malam itu membuat tidur begitu lelap, sampai kejadian itu. Harish terjatuh dari sisi yang lain dan sepertinya kepalanya membentur pinggiran tembok yang berlis keramik.

"Bi, Harish tidur..." kataku, khawatir tidurnya Harish karena kehabisan darah.

"Nggak apa-apa," jawab Abi, tanpa menoleh, tatapannya lurus ke depan, mencari jalan yang agak bagus.

Sesampai di UGD Abi segera menggendong Harish, sementara aku menyelesaikan pendaftaran. Kemudian aku menyusul. Kulihat Harish sudah diposisikan tengkurap, menangis. Abi dan kakak memeganginya. Kuhampiri dan kubelai tangannya, menunjukkan kehadiran.

"Ini Umi, Rish," kata Abi, mengharapkan Harish bisa lebih tenang.

Perawat membersihkan lukanya. Baru jelas terlihat, seberapa besar lukanya. Pantas, darahnya sulit berhenti. Panjangnya lebih dari 2 cm dengan kedalaman yang sulit diperkirakan.

"Ini harus dijahit, Pak," katanya.

"Nggak apa-apa, gimana bagusnya," jawab Abi.

Dijahit? Kuat nggak ya, Harish? Dari tadi dia terus menangis, walau sudah kubujuk. Mungkin dia ketakutan. Selama ini dia akan histeris jika jatuh dan terluka, walaupun hanya sedikit berdarah.

"Dibius dulu ya," kata perawat, sambil menyiapkan suntikan. Ah, syukurlah dibius.

Harish meronta saat mulai disuntik. Kaki dihentak-hentakkan. Kami sudah membujuknya, tapi tetap saja.

"Harish! Jangan bergerak! Jangan bergerak!" kataku dengan intonasi yang berat. Harish mengerti. Dia langsung berhenti meronta, tapi tetap menangis.

"Kok nangis? Kalau nggak sakit nggak usah nangis, kalau sakit ditambah bius," kata perawat, saat mulai menjahit luka itu.

Ups! Kupikir kalau sakit boleh nangis.

"Sakit, Rish?" tanyaku, Harish menggeleng. Tapi saat jahitan kedua, Harish menjerit.

"Tambah lagi, Mas," kataku. Bius ditambah.

Tiga jahitan. Ini pengalaman pertama, aku menyaksikan simbahan darah. Berbeda dengan melihat darah bekam, yang memang sering kulakukan sebagai terapis. Alhamdulillah, Harish kuat. Setelah dibersihkan dan ganti baju, Abi menggendongnya ke mobil, lalu ku pangku.

"Mbak Hany, mana, Mi?" tanyanya. He he, dia mulai memahami situasi.

"Mbak Hany di rumah Pakde, nih Harish lagi di rumah sakit."

"Bukannya tadi Mbak Hany ikut?" tanyanya, aku menggeleng. Kucium pipinya.

"Harish bobok lagi, ya?" Harish langsung merebahkan kepalanya ke dadaku, ngantuk banget rupanya.

Jam satu dini hari, kami meninggalkan halaman rumah sakit. Semalaman aku tidak berani tidur, menjaga posisi Harish agar tidak terlentang. Lukanya masih diperban.

Alhamdulillah, bangun pagi Harish sudah sehat, bahkan turun dari tempat tidurpun dia melompat. Hmm

No comments:

Post a Comment