Dengan ikhlas Harish melepas kepergian kami, setelah
mendapat penjelasan dari Abi, bahwa di sana tidak ada anak-anak.
“Umi pergi dulu, ya, mana ciumnya?” kudekatkan pipi
ke wajahnya.
“Mi, tunggu,” katanya, kemudian dia berjongkok.
Merapikan tali sepatu sandal yang kupakai. Yang sebelah kanan melintir, yang
sebelah kiri belum terpasang sempurna.
“Terimakasih, muuuach.” kucium dahinya penuh cinta
dan haru, semoga perhatiannya akan terjaga sampai kapanpun.
Harish sangat perhatian untuk hal-hal tertentu. Dia
yang pertama tahu saat aku sedang bersedih, kadang ikut menangis tanpa suara
saat melihatku menitikkan air mata. Dia akan sibuk bertanya bila sikapku tidak
seperti biasa.
Aku jadi ingat dengan salah sorang pasien stroke yang
kutangani. Saat akan pulang, ibu itu minta anaknya yang sudah dewasa memasangkan
sandal di kakinya. Si anak malah menyuruh mendesaknya ke tembok sehingga sandal
itu terpasang. Aku tidak tahu bagaimana perasaan ibunya. Aku juga tidak tahu
bagaimana perasaan si anak. Tapi aku tahu pasti, perasaanku sebagai seorang ibu
yang menyaksikan itu.
Jadi tanda tanya membaca kisahnya.... gimana yang perasaan Ibu yang menyaksikan hal itu?
ReplyDeletetergantung suasana emosinya, kalau sedang melo, ya rasanya sediiiiih banget, ya Allah naaaak, inget nggak? berapa tahun ibu selalu memakaikan sepatumu? Tapi kalau lagi tegar yaaaa, akurapopo, dulu ibu juga mengajarkan kemandirian padamu
ReplyDelete