Thursday, May 29, 2014

MENULIS IBARAT BICARA

<p>Menulis ibarat bicara, menyampaikan apa yang ada dalam benak.
Setiap orang bicara, tentunya ada alasan dan tujuan.

Mari kita perhatian celoteh bayi, apa alasan dia bicara? apa tujuannya?
Sayangya kita tidak tahu apa isi benak si bayi, tapi setidaknya kita bisa menghubungkan dengan apa yang bisa kita lihat.</p>

Ketika pakaiannya basah, apa yang disuarakannya? Menangis. Kemudian setelah orang dewasa menggantinya dengan pakain yang kering, si bayi diam. Dari hal itu bisa disimpulkan, tangisan tadi bertujuan menunjukkan ada yang tidak nyaman dalam dirinya, minta tolong untuk menyingkirkan penyebab ketidak nyamanan itu.

Perkembangan selanjutnya kita bisa melihat, bagaimana celoteh bayi dan anak sebagai latihan untuk melenturkan organ bicaranya. Kemudian berlatih memilih kosa kata, dan seterusnya, sampai suatu saat, manusia akan bicara dengan alasan dan pilihan gaya tertentu.

Ada orang bicara karena ada pesan penting yang akan disampaikan, tapi banyak juga orang bicara karena basa-basi, meramaikan suasana, menghibur dan menyenangkan lawan bicara, tak ada beban isi dan pesan yang harus disampaikan.

Demikian halnya dengan menulis.

Pembaca yang intens, lama-lama akan memahami sipenulis.

Ada penulis yang pandai mengukir kata, membuat pembaca larut di dalamnya, selesai membaca? Pembaca akan empati dan menyelami perasaan sang tokoh, tapi ternyata isi tulisan itu sepi pesan yang bermanfaat. Lebih cocok kalau dikategorikan curahan hati penulis.

Ada penulis yang tujuannya menghibur. Tulisannye bergenre humor. Nggak peduli idenya apa, yang penting lucu dan menghibur. Kadang-kadang ada korban, ngebully seseorang, tapi karena terbungkus rapi dengan kemasan humor, maka sang korban tidak tersinggung, ah, bercanda juga, katanya.

Ada penulis romantis, dia mampu membawa pembaca pada suasana yang membuat angannya melambung. Penulis model begini juga macam-macam, ada yang bahasanya lembut dan halus, tetapi ada juga yang vulgar dan menjurus pada pornografi.

Ada penulis serius. Isi pesannya jelas dan penting. Tapi karena to the point, kesannya berat. Hanya orang-orang tertentu yang sanggup menyelesaikan membaca tulisannya dan menangkap pesan yang terkandung di dalamnya.

Ada penulis yang mampu menyuguhkan bacaan ringan, mudah dipahami, tapi sarat pesan. Bahkan pembaca tak sanggup melewati satu kata tanpa dibacanya, karena benar-benar nikmat dan terasa sayang bila kehilangan.

Ada juga penulis provokator. Tulisannya berisi ajakan untuk membenci seseorang atau sesuatu, tentunya penulis ini mempunyai tujuan terselubung, yang tidak semua pembaca memahaminya karena terlanjur tersulut emosi dengan gaya kepenulisannya.

Semua penulis pasti melalui proses, dari tidak bisa, kemudian sedikit bisa, lalu terbiasa.

Dalam proses menjadi penulis, wajar kalau ada kalanya salah dalam pemilihan ide, kata atau gaya penulisan.

Komentar pembaca sangat membantu dalam proses itu, karena dari komentar itu penulis mendapatkan kritik, saran dan menemukan kelemahan dan kelebihannya dalam menulis.

Layaknya seorang pembicara publik, yang perlu banyak kesempatan untuk berlatih dan meningkatkan kemampuan bicaranya dalam menyampaikan pesan dan mempengaruhi audiens. Di awal, bisa pasti mengalami demam panggung, sibuk menenangkan diri sampai-sampai lupa apa yang harus disampaikan.

Di awal menulis, wajar jika seorang penulis sering kehilangan atau tidak menemukan ide untuk dituliskan. Andainya pun ide itu ada, belum tentu juga bisa segera diolah menjadi sebuah tulisan yang layak baca.

Ketika seorang penulis pemula menemukan ide, wajar juga kalau segera dituliskan, tanpa memikirkan efek dari tulisan itu bagi pembaca, yang penting tuliskan!

Tetapi bagi seorang yang sudah berhasil melewati masa-masa demam panggung, dia akan berfikir panjang saat akan menuliskan sebuah ide. Dia tahu pasti, pesan apa yang akan disampaikan. Dia bisa meraba, dampak apa yang akan mengimbas pada pembaca. Itu sebabnya, tidak setiap ide selalu menghasilkan tulisan.

No comments:

Post a Comment