Richie agak ragu untuk bicara, tapi dia berusaha memantapkan
hati
“Umi, Richie rasa kita berjodoh, deh.”
“What!” Umi menjerit, seperti tersengat lebah, reflek
mendelik.
“Biasa aja kalee, Mi!”
“Biasa gimana? Sadar nggak, barusan ngomong apa?”
“Sadar-sesadar sadarnya. Memang kenapa kalau kita berjodoh?”
“Lupa kalau Umi istri Abi?”
“Walah! Ini penyakit Umi, suka kegeeran! Berjodoh itu saling
membutuhkan, saling mengisi, cocok, bukan hanya suami istri.”
Umi nyengir, agak malu juga.
“Richie butuh apa dari Umi?”
“Umi sering mengingatkan kalau Richie lagi lupa, malas,
lalai, banyak santai dan mai-main.”
“Trus, Umi butuh apa dari Richie?”
“Walah nggak ngaku. Umi tuh kalau nulis typo terus. Belum
lagi masalah EYD, parah! Siapa coba yang mengedit?”
“Iya, iya ngaku, Cuma itu?”
“Ada lagi. Umi butuh Richie untuk menyalurkan salah satu hobi
aneh Umi?”
“Hobi yang mana?”
“Ngomel,” jawab Richie, sambil menyambar pisang goreng dan
ngeloyor pergi.
Tinggallah Umi memandang punggung Richie dengan hati keqi!
No comments:
Post a Comment