Wednesday, May 21, 2014

BELUMKAH SAATNYA

Istriku masuk kamar dengan membawa dua lembar kertas.

“Positif hepatitis A,” katanya, dengan wajah lesu.

“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un,” spontan aku berdzikir mendengar kabar itu.

Kami diam, saling tatap, mencoba mengukur dalamnya kesedihan. Entahlah! Siapa yang lebih sedih atau siapa yang pantas lebih sedih!

“Sebentar!” tiba-tiba istriku bangkit, membawa hp ke luar kamar. Ada secercah harapan di wajahnya. 

Kudengar dia menelpon seseorang di ruang tamu, entah siapa.

Hampir seperempat jam dia menelpon, suaranya samar-samar. Aku hanya menduga-duga tanpa  berani memastikan, dengan siapa dia bicara dan membicarakan apa, biarlah.  

“Sepertinya sulit,” gumamnya, saat masuk kamar lagi.

“Apanya?” aku belum paham.

“Barusan konsultasi dengan Dokter Dini, mungkin nggak Abi sembuh dalam tiga hari? Dia bilang mungkin bisa, kalau daya tahan tubuh penderita baik, tapi biasanya butuh waktu setengah bulan bahkan lebih, untuk mencapai kondisi pulih. Itupun harus ditambah dengan penjagaan ekstra dan istirahat cukup.”

Aku tercenung mendengar vonis yang sangat  tidak menggembirakan ini.  Aku tidak tahu harus berkata apa. 

Musnah sudah rencana keberangkatanku ke baitullah, melepas kerinduan yang selama ini terpendam.

“Abi cepat hubungi biro umrohnya, cerita kondisi apa adanya, trus bisa nggak dijadwal ulang?” dia mengejutkanku dengan usulannya. Dia benar, bukan gagal, mungkin hanya tertunda. Aku belum terpikir masalah itu. Waktu keberangkatan tinggal tiga hari lagi. Sarannya segera aku jalankan. Aku hubungi biro dengan hp. Cukup alot juga, tapi mau bagaimana lagi?

“Gimana, Bi?” istriku langsung menanyakan hasilnya, segera setelah kututup hp.

“Buah simalakama,” jawabku, tanpa semangat.

Dia menatapku tajam, menunggu penjelasan.

“Yang jelas Abi nggak bisa berangkat sesuai  jadwal. Konskuensinya, kalau dijadwal ulang bayar lima puluh persen, kalau dibatalkan, potong lima puluh persen,” kujelaskan hasil pembicaraan tadi, tanpa semangat. Dia tercenung sejenak.

“Ya sudah, semua sudah jelas. Apapun keputusan kita, hasilnya sama. Sekarang nggak usah dipikirkan dulu masalah umrohnya, yang pasti Abi nggak jadi berangkat sesuai jadwal. Sekarang yang harus segera diputuskan, Abi mau dirawat di rumah sakit atau di rumah?”

Aku tercenung, memikirkan jawabannya. Kalau dirawat di rumah sakit  pasti banyak sekali yang harus dipersiapkan. Yang pasti biaya, kami tidak mempunyai asuransi kesehatan, juga tidak mempunyai tabungan yang disiapkan untuk perawatan kesehatan. Mungkin aneh bagi orang lain, di zaman seperti ini, anak banyak, tapi tidak mempunyai asuransi kesehatan sebagai jaminan jika sewaktu-waktu sakit. Penghasilan yang tidak menentu membuat kami tak bisa merencanakan masalah asuransi atau tabungan, hanya satu anak kami yang terdaftar di asuransi pendidikan, itu pun membayar bulanannya sering tersendat-sendat. Artinya kalau aku dirawat di rumah sakit, harus siap-siap cari tempat untuk berhutang!

Belum lagi urusan kerepotan. Kami tidak mempunyai asisten rumah tangga, di rumah bersama tiga anak yang masih kecil-kecil, di bawah sepuluh tahun, bahkan sibungsu belum berusia dua tahun. Tiga anak kami yang lebih besar di pondok pesantren. Kasihan istri, pasti dia akan sangat kerepotan, dan pastinya aku pun tidak bisa tenang di rumah sakit. Setahuku, kondisi psikologis, ketenangan jiwa, besar pengaruhnya terhadap proses kesembuhan.

“Rawat di rumah saja, Mi,” jawabku mantap.

“Abi yakin dengan kemampuan Umi?” tanya istriku, minta kepastian.

“Seratus persen!” jawabku, meyakinkannya.

“Tapi Umi nggak yakin,” jawabnya, mengambang.

“Kenapa?”

“Umi belum lama belajar meramu herbal, kadang masih ragu dalam menentukan bahan.”

“Umi kan biasa autodidak, pembelajar cepat. Buku herbal banyak, bisa juga konsultasi dengan terapis senior, apa lagi? Bisa dikombinasi dengan akupunktur bila perlu, atur diet makanan, istirahat total, cukupkan? Kasihan Umi kalau Abi harus dirawat di rumah sakit.”

Istriku diam. Dia memang sering kurang  percaya diri dengan kemampuannya, apalagi kalau menyangkut keselamatan orang lain, kalau menurutku dia terlalu takut. Padahal racikan herbalnya sudah lumayan bisa diandalkan.

***

Ini penjadwalan yang ketiga dari rencana keberangkatan umrohku.

Berawal dari penawaran seorang teman untuk ikut umroh murah. Sebenarnya aku bukan orang yang mudah tertarik dengan sesuatu yang murah, tetapi temanku berhasil meyakinkan bahwa ini program yang dapat dipercaya. Itupun setelah berulang kali menjelaskan padaku beserta bukti-bukti yang menguatkannya.

Mengapa bisa murah? Itu pertanyaan pertama yang kuajukan. Dia menjelaskan bahwa ini merupakan program kerjasama antara biro umroh milik temannya dan sebuah maskapai penerbangan. Bentuk kerjasamanya berupa gratis satu kursi untuk setiap kloter yang menggunakan jasa maskapai penerbangan tersebut. Satu kursi gratis itu diperuntukkan bagi kaum dhuafa yang memenuhi syarat untuk diumrohkan secara gratis.

Masuk akal bukan? Bagi maskapai penerbangan, menggratiskan satu kursi merupakan promosi menarik bagi biro perjalanan haji dan umroh yang sedang menjamur, sedang bagi perusahaan biro umrohnya,  ada bagian keuntungan yang biasa dikeluarkan untuk sosial.

Kerinduanku untuk menjejakkan kaki di tanah suci seolah diusik, di saat aku buntu mencari cara bisa sampai ke sana, karena mahalnya biaya haji dan lamanya menunggu jadwal keberangkatan setelah memenuhi nilai nominal tertentu. Bahkan membuka tabungan haji pun belum kulakukan. Keuangan kami baru sebatas mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dan biaya sekolah anak-anak yang lumayan mahal. Bisa jadi ini kesempatan yang diberikan Allah! Kerinduan itu semakin memuncak karena merasakan kesulitan hidup yang selama ini aku alami seolah enggan meninggalkan. Aku ingin sekali bermohon dengan kesungguhan di tempat yang mustajab, agar kesulitan hidup yang mendera selama ini dihilangkan, setidaknya dikurangi dengan limpahan rizki yang mencukupi..

“Kalau mau, ajaklah orang lain, nanti Mas dapat lima belas persen dari biaya, artinya kalau berhasil mengajak tujuh orang, maka Mas bisa pergi umroh gratis,” katanya. 

Memang sudah banyak bukti bahwa program itu berjalan baik-baik saja. Teman yang mengajak itu sudah umroh beserta keluarganya, bahkan menurut informasi sudah ribuan orang yang berangkat.

Tapi aku belum ingin mengajak orang lain sebelum membuktikan sampai di sana dan bisa menginformasikan kepada yang nantinya akan kuajak dengan pengalaman nyata.

Alhamdulillah, ada rizki untuk membayar setengahnya, agar segera dijadwal. Sambil mengurus paspor, aku berusaha menyisihkan uang untuk memenuhi kekurangan pembayarannya.

Sampai sepuluh hari menjelang jadwal keberangkatan, aku belum juga bisa melunasinya.

“Mi, Abi pinjam uang Mas Syamsu  ya, untuk melunasinya?”

“Apa boleh, Bi, pergi umroh sampai hutang? Haji saja yang hukumnya wajib, syaratnya jika mampu, apalagi umroh? Kalau berhutang itu kan tandanya belum mampu,” jawab istri, menanggapi rencanaku.

“Lha untuk sekolah anak-anak saja kita sering hutang, kok  untuk umroh tidak mau hutang?”

Istriku diam, aku tak tahu apa yang dipikirkannya. Aku anggap diamnya tanda setuju.

Akhirnya lunas! Aku semakin yakin, inilah saatnya kutuntaskan rindu. Memang aku tidak mengadakan acara berpamitan seperti orang lain dengan mengundang tetangga untuk doa bersama dan biasanya dilanjutkan dengan acara makan-makan. Tetapi aku mengajak istri dan anak-anak untuk bersilaturahim ke orang tua dan saudara-saudara untuk minta doa dan berpamitan.

Tiga hari menjelang jadwal keberangkatan, ada berita dari biro bahwa visa calon penumpang kelompok terbangku belum keluar, jadi harus menunggu. Aku tenang saja, toh masih tiga hari lagi. Aku tidak paham dengan urusan visa, kupikir itu hal biasa. Hingga malam menjelang keberangkatan, teman yang mengajakku menelpon.

“Sepertinya kloter Mas ditunda, soalnya sampai tadi sore urusan visa belum kelar.”

Lemes! Ditunda? Sampai kapan? Sama sekali tak terbayangkan sebelumnya.

“Nanti dijadwal ulang,” katanya.

Aku mau bilang apa? Semua kuanggap sudah beres! Segala persyaratan sudah kupenuhi, kok begini jadinya?

Pernah merasakan? Sedang  makan, nasi sudah di depan mulut yang menganga, tiba-tiba ada yang menampelnya, dan . . . tumpah! Dan itu nasi hanya ada sesuap-suapnya dengan upaya keras untuk mendapatkannya! Sakit? Nyesek? Seperti itulah perasaanku.

Tapi aku sadar, tak ada hal terjadi tanpa izin Allah. Mungkin ini ujian! Katanya orang yang akan pergi haji akan diuji, mungkin yang akan pergi umroh juga ya?

Aku tetap optimis, menunggu jadwal ulang. Sebulan kemudian jadwal baru sudah ditetapkan, aku masuk kloter yang berangkat di bulan Sya’ban. Biro memberi bahan batik lagi untuk seragam  keberangkatan.
Aku bersemangat lagi mempersiapkan diri, setidaknya bisa menjawab dengan mantap kapan berangkat, jika ada yang bertanya.

“Apa yang terjadi setelah hari ini kita nggak tau, Bi. Penundaan keberangkatan yang kemarin harus diambil pelajarannya. Senang boleh, tapi kembalikan semuanya pada Allah, dan kita siapkan mental, apapun yang terjadi,” istri mengingatkan agar aku tidak terlalu gembira, sewajarnya saja.

Aku pegang kata-kata istriku. Tidak terlalu menggebu-gebu saat membicarakannya, sambil terus berharap, semoga rencana bisa berjalan tanpa halangan.

Tetap saja kecewa itu menghampiri, saat keberangkatan ditunda lagi. Kali ini dengan alasan, biro tidak kebagian jadwal terbang, karena menjelang Ramadhan banyak yang mau umroh. Masuk akal nggak sih? 

Entahlah! Itu kenyataan yang harus kuterima.

Berita yang kurang nyaman mulai bersliweran. Banyak yang komplain. Ada yang meminta uangnya kembali, tapi dengan berbagai alasan, tidak semua bisa segera mendapatkannya,  yang sudah dapat pun tentunya dengan potongan-potongan pembiayaan.

Aku berusaha tenang, konfirmasi ke teman yang menjadi perantara. Dia menenangkan, tidak terjadi apa-apa, hanya salah paham.

Aku mencari informasi dari sumber lain, memang benar. Keberangkatan umroh dari biro itu masih tetap berlangsung. Aku menenangkan diri, sabar menunggu.  Sampai kemudian jadwal ketiga aku dapatkan.
Semua persiapan beres, tinggal menunggu seminggu sebelum keberangkatan, ketika bangun tidur aku merasakan badan terasa berat, semakin siang kurasakan semakin nggak karuan, suhu badan meningkat, perut terasa mual.

Dengan sigap istriku segera bertindak. Akupunktur untuk meningkatkan imunitas, dan herbal untuk mengatasi keluhan. Setelah empat hari kondisiku belum pulih, artinya ini sakit serius.

“Cek darah saja ya, Bi. Biar  jelas. Besok pagi biar Mba Ning ambil contoh darah Abi untuk dicek di laboratoriumnya,” tegas istriku, ini bukan pemberitahuan, tapi keputusannya.

***

“Ada kabar kurang enak,” kata istriku, sekembalinya dari pengajian.

“Kabar apa?”

“Teman Abi yang ngajak umroh itu diamankan.”

“Ditahan polisi?”

“Dengan tuduhan penipuan. Nggak tahu sih, apa yang sebenarnya terjadi. Apakah benar-benar penipuan, atau musibah biasa dalam bisnis.”

Hmm. Pupus sudah. Kemarin belum sempat mengurus ulang ke biro, rencana akan menarik dana yang masih lima puluh persen, karena tidak ada gambaran untuk menambah lima puluh persen untuk jadwal ulang.

Semua kehendak Allah, aku sudah berusaha maksimal. Mungkin ada hal-hal yang tak disukai Allah dalam caraku, sehingga belum diizinkan berkunjung ke rumah-Nya. Atau mungkin ini semata-mata ujian kesabaran, agar ada peningkatan kualitas diri. Aku takkan pernah putus asa untuk menuntaskan rindu, biarlah Allah yang akan mengundangku dengan cara-Nya, tugasku hanya berusaha maksimal untuk memantaskaan diri menjadi salah seorang tamu-Nya.

   

5 comments:

  1. Astagfirulloh,.. Jadi di tipu ya bu? Semoga segera diberikan jalan keluar yang terbaik, amin...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amin, belum tau jg, biarlah urusan pengadilan. Bisa jd mereka lebih berat ujiannya, Allah kan nggak pernah salah menghitung he he

      Delete
  2. semoga allah memberikan jalan yg terbaik, salmku untuk bunda Neny sekeluarga dan semoga diberi kesabran. amin.... (alam bawah sadar)

    ReplyDelete
  3. amiin, trims doanya, syukur, sabar dan doa-doa tulus, itulah yang dapat mengubah kondisi buruk menjadi indah dan penuh hikmah, barokallah Berno Pastry.

    ReplyDelete
  4. aku ada blog dari tahun 2011 tapi belum pernah posting apa-apa heheeh, mungkin nanti tak isi dengan tulisan yg di post di KBM hehheheh

    ReplyDelete