Istriku masuk kamar
dengan membawa dua lembar kertas.
“Positif hepatitis A,”
katanya, dengan wajah lesu.
“Innalillahi wa inna
ilaihi roji’un,” spontan aku berdzikir mendengar kabar itu.
Kami diam, saling tatap, mencoba mengukur
dalamnya kesedihan. Entahlah! Siapa yang lebih sedih atau siapa yang pantas
lebih sedih!
“Sebentar!” tiba-tiba
istriku bangkit, membawa hp ke luar kamar. Ada secercah harapan di wajahnya.
Kudengar
dia menelpon seseorang di ruang tamu, entah siapa.
Hampir seperempat jam
dia menelpon, suaranya samar-samar. Aku hanya menduga-duga tanpa berani memastikan, dengan siapa dia bicara dan
membicarakan apa, biarlah.
“Sepertinya sulit,”
gumamnya, saat masuk kamar lagi.
“Apanya?” aku belum paham.
“Barusan konsultasi
dengan Dokter Dini, mungkin nggak Abi sembuh dalam tiga hari? Dia bilang
mungkin bisa, kalau daya tahan tubuh penderita baik, tapi biasanya butuh waktu
setengah bulan bahkan lebih, untuk mencapai kondisi pulih. Itupun harus
ditambah dengan penjagaan ekstra dan istirahat cukup.”
Aku tercenung mendengar
vonis yang sangat tidak menggembirakan
ini. Aku tidak tahu harus berkata apa.
Musnah sudah rencana keberangkatanku ke baitullah, melepas kerinduan yang
selama ini terpendam.
“Abi cepat hubungi biro
umrohnya, cerita kondisi apa adanya, trus bisa nggak dijadwal ulang?” dia
mengejutkanku dengan usulannya. Dia benar, bukan gagal, mungkin hanya tertunda.
Aku belum terpikir masalah itu. Waktu keberangkatan tinggal tiga hari lagi. Sarannya
segera aku jalankan. Aku hubungi biro dengan hp. Cukup alot juga, tapi mau
bagaimana lagi?
“Gimana, Bi?” istriku
langsung menanyakan hasilnya, segera setelah kututup hp.
“Buah simalakama,”
jawabku, tanpa semangat.
Dia menatapku tajam, menunggu
penjelasan.
“Yang jelas Abi nggak
bisa berangkat sesuai jadwal. Konskuensinya,
kalau dijadwal ulang bayar lima puluh persen, kalau dibatalkan, potong lima
puluh persen,” kujelaskan hasil pembicaraan tadi, tanpa semangat. Dia tercenung
sejenak.
“Ya sudah, semua sudah
jelas. Apapun keputusan kita, hasilnya sama. Sekarang nggak usah dipikirkan
dulu masalah umrohnya, yang pasti Abi nggak jadi berangkat sesuai jadwal.
Sekarang yang harus segera diputuskan, Abi mau dirawat di rumah sakit atau di
rumah?”
Aku tercenung,
memikirkan jawabannya. Kalau dirawat di rumah sakit pasti banyak sekali yang harus dipersiapkan.
Yang pasti biaya, kami tidak mempunyai asuransi kesehatan, juga tidak mempunyai
tabungan yang disiapkan untuk perawatan kesehatan. Mungkin aneh bagi orang
lain, di zaman seperti ini, anak banyak, tapi tidak mempunyai asuransi
kesehatan sebagai jaminan jika sewaktu-waktu sakit. Penghasilan yang tidak
menentu membuat kami tak bisa merencanakan masalah asuransi atau tabungan,
hanya satu anak kami yang terdaftar di asuransi pendidikan, itu pun membayar
bulanannya sering tersendat-sendat. Artinya kalau aku dirawat di rumah sakit,
harus siap-siap cari tempat untuk berhutang!
Belum lagi urusan
kerepotan. Kami tidak mempunyai asisten rumah tangga, di rumah bersama tiga
anak yang masih kecil-kecil, di bawah sepuluh tahun, bahkan sibungsu belum
berusia dua tahun. Tiga anak kami yang lebih besar di pondok pesantren. Kasihan
istri, pasti dia akan sangat kerepotan, dan pastinya aku pun tidak bisa tenang
di rumah sakit. Setahuku, kondisi psikologis, ketenangan jiwa, besar
pengaruhnya terhadap proses kesembuhan.
“Rawat di rumah saja,
Mi,” jawabku mantap.
“Abi yakin dengan
kemampuan Umi?” tanya istriku, minta kepastian.
“Seratus persen!”
jawabku, meyakinkannya.
“Tapi Umi nggak yakin,”
jawabnya, mengambang.
“Kenapa?”
“Umi belum lama belajar
meramu herbal, kadang masih ragu dalam menentukan bahan.”
“Umi kan biasa
autodidak, pembelajar cepat. Buku herbal banyak, bisa juga konsultasi dengan
terapis senior, apa lagi? Bisa dikombinasi dengan akupunktur bila perlu, atur
diet makanan, istirahat total, cukupkan? Kasihan Umi kalau Abi harus dirawat di rumah sakit.”
Istriku diam. Dia
memang sering kurang percaya diri dengan
kemampuannya, apalagi kalau menyangkut keselamatan orang lain, kalau menurutku
dia terlalu takut. Padahal racikan herbalnya sudah lumayan bisa diandalkan.
***
Ini penjadwalan yang
ketiga dari rencana keberangkatan umrohku.
Berawal dari penawaran
seorang teman untuk ikut umroh murah. Sebenarnya aku bukan orang yang mudah
tertarik dengan sesuatu yang murah, tetapi temanku berhasil meyakinkan bahwa
ini program yang dapat dipercaya. Itupun setelah berulang kali menjelaskan
padaku beserta bukti-bukti yang menguatkannya.
Mengapa bisa murah? Itu
pertanyaan pertama yang kuajukan. Dia menjelaskan bahwa ini merupakan program
kerjasama antara biro umroh milik temannya dan sebuah maskapai penerbangan.
Bentuk kerjasamanya berupa gratis satu kursi untuk setiap kloter yang
menggunakan jasa maskapai penerbangan tersebut. Satu kursi gratis itu
diperuntukkan bagi kaum dhuafa yang memenuhi syarat untuk diumrohkan secara
gratis.
Masuk akal bukan? Bagi
maskapai penerbangan, menggratiskan satu kursi merupakan promosi menarik bagi
biro perjalanan haji dan umroh yang sedang menjamur, sedang bagi perusahaan
biro umrohnya, ada bagian keuntungan
yang biasa dikeluarkan untuk sosial.
Kerinduanku untuk
menjejakkan kaki di tanah suci seolah diusik, di saat aku buntu mencari cara
bisa sampai ke sana, karena mahalnya biaya haji dan lamanya menunggu jadwal
keberangkatan setelah memenuhi nilai nominal tertentu. Bahkan membuka tabungan
haji pun belum kulakukan. Keuangan kami baru sebatas mencukupi kebutuhan hidup
sehari-hari dan biaya sekolah anak-anak yang lumayan mahal. Bisa jadi ini
kesempatan yang diberikan Allah! Kerinduan itu semakin memuncak karena
merasakan kesulitan hidup yang selama ini aku alami seolah enggan meninggalkan.
Aku ingin sekali bermohon dengan kesungguhan di tempat yang mustajab, agar
kesulitan hidup yang mendera selama ini dihilangkan, setidaknya dikurangi
dengan limpahan rizki yang mencukupi..
“Kalau mau, ajaklah
orang lain, nanti Mas dapat lima belas persen dari biaya, artinya kalau
berhasil mengajak tujuh orang, maka Mas bisa pergi umroh gratis,” katanya.
Memang sudah banyak
bukti bahwa program itu berjalan baik-baik saja. Teman yang mengajak itu sudah
umroh beserta keluarganya, bahkan menurut informasi sudah ribuan orang yang
berangkat.
Tapi aku belum ingin
mengajak orang lain sebelum membuktikan sampai di sana dan bisa
menginformasikan kepada yang nantinya akan kuajak dengan pengalaman nyata.
Alhamdulillah, ada
rizki untuk membayar setengahnya, agar segera dijadwal. Sambil mengurus paspor,
aku berusaha menyisihkan uang untuk memenuhi kekurangan pembayarannya.
Sampai sepuluh hari
menjelang jadwal keberangkatan, aku belum juga bisa melunasinya.
“Mi, Abi pinjam uang
Mas Syamsu ya, untuk melunasinya?”
“Apa boleh, Bi, pergi
umroh sampai hutang? Haji saja yang hukumnya wajib, syaratnya jika mampu,
apalagi umroh? Kalau berhutang itu kan tandanya belum mampu,” jawab istri,
menanggapi rencanaku.
“Lha untuk sekolah
anak-anak saja kita sering hutang, kok untuk umroh tidak mau hutang?”
Istriku diam, aku tak
tahu apa yang dipikirkannya. Aku anggap diamnya tanda setuju.
Akhirnya lunas! Aku
semakin yakin, inilah saatnya kutuntaskan rindu. Memang aku tidak mengadakan
acara berpamitan seperti orang lain dengan mengundang tetangga untuk doa
bersama dan biasanya dilanjutkan dengan acara makan-makan. Tetapi aku mengajak
istri dan anak-anak untuk bersilaturahim ke orang tua dan saudara-saudara untuk
minta doa dan berpamitan.
Tiga hari menjelang
jadwal keberangkatan, ada berita dari biro bahwa visa calon penumpang kelompok
terbangku belum keluar, jadi harus menunggu. Aku tenang saja, toh masih tiga
hari lagi. Aku tidak paham dengan urusan visa, kupikir itu hal biasa. Hingga
malam menjelang keberangkatan, teman yang mengajakku menelpon.
“Sepertinya kloter Mas ditunda,
soalnya sampai tadi sore urusan visa belum kelar.”
Lemes! Ditunda? Sampai
kapan? Sama sekali tak terbayangkan sebelumnya.
“Nanti dijadwal ulang,”
katanya.
Aku mau bilang apa?
Semua kuanggap sudah beres! Segala persyaratan sudah kupenuhi, kok begini jadinya?
Pernah merasakan? Sedang
makan, nasi sudah di depan mulut yang
menganga, tiba-tiba ada yang menampelnya, dan . . . tumpah! Dan itu nasi hanya ada
sesuap-suapnya dengan upaya keras untuk mendapatkannya! Sakit? Nyesek? Seperti
itulah perasaanku.
Tapi aku sadar, tak ada hal terjadi tanpa izin
Allah. Mungkin ini ujian! Katanya orang yang akan pergi haji akan diuji,
mungkin yang akan pergi umroh juga ya?
Aku tetap optimis,
menunggu jadwal ulang. Sebulan kemudian jadwal baru sudah ditetapkan, aku masuk
kloter yang berangkat di bulan Sya’ban. Biro memberi bahan batik lagi untuk
seragam keberangkatan.
Aku bersemangat lagi
mempersiapkan diri, setidaknya bisa menjawab dengan mantap kapan berangkat,
jika ada yang bertanya.
“Apa yang terjadi
setelah hari ini kita nggak tau, Bi. Penundaan keberangkatan yang kemarin harus
diambil pelajarannya. Senang boleh, tapi kembalikan semuanya pada Allah, dan
kita siapkan mental, apapun yang terjadi,” istri mengingatkan agar aku tidak
terlalu gembira, sewajarnya saja.
Aku pegang kata-kata
istriku. Tidak terlalu menggebu-gebu saat membicarakannya, sambil terus
berharap, semoga rencana bisa berjalan tanpa halangan.
Tetap saja kecewa itu
menghampiri, saat keberangkatan ditunda lagi. Kali ini dengan alasan, biro
tidak kebagian jadwal terbang, karena menjelang Ramadhan banyak yang mau umroh.
Masuk akal nggak sih?
Entahlah! Itu kenyataan yang harus kuterima.
Berita yang kurang
nyaman mulai bersliweran. Banyak yang komplain. Ada yang meminta uangnya
kembali, tapi dengan berbagai alasan, tidak semua bisa segera mendapatkannya, yang sudah dapat pun tentunya dengan
potongan-potongan pembiayaan.
Aku berusaha tenang,
konfirmasi ke teman yang menjadi perantara. Dia menenangkan, tidak terjadi
apa-apa, hanya salah paham.
Aku mencari informasi
dari sumber lain, memang benar. Keberangkatan umroh dari biro itu masih tetap
berlangsung. Aku menenangkan diri, sabar menunggu. Sampai kemudian jadwal ketiga aku dapatkan.
Semua persiapan beres,
tinggal menunggu seminggu sebelum keberangkatan, ketika bangun tidur aku
merasakan badan terasa berat, semakin siang kurasakan semakin nggak karuan,
suhu badan meningkat, perut terasa mual.
Dengan sigap istriku
segera bertindak. Akupunktur untuk meningkatkan imunitas, dan herbal untuk
mengatasi keluhan. Setelah empat hari kondisiku belum pulih, artinya ini sakit
serius.
“Cek darah saja ya, Bi.
Biar jelas. Besok pagi biar Mba Ning ambil
contoh darah Abi untuk dicek di laboratoriumnya,” tegas istriku, ini bukan
pemberitahuan, tapi keputusannya.
***
“Ada kabar kurang
enak,” kata istriku, sekembalinya dari pengajian.
“Kabar apa?”
“Teman Abi yang ngajak
umroh itu diamankan.”
“Ditahan polisi?”
“Dengan tuduhan
penipuan. Nggak tahu sih, apa yang sebenarnya terjadi. Apakah benar-benar
penipuan, atau musibah biasa dalam bisnis.”
Hmm. Pupus sudah.
Kemarin belum sempat mengurus ulang ke biro, rencana akan menarik dana yang
masih lima puluh persen, karena tidak ada gambaran untuk menambah lima puluh
persen untuk jadwal ulang.
Semua kehendak Allah,
aku sudah berusaha maksimal. Mungkin ada hal-hal yang tak disukai Allah dalam
caraku, sehingga belum diizinkan berkunjung ke rumah-Nya. Atau mungkin ini
semata-mata ujian kesabaran, agar ada peningkatan kualitas diri. Aku takkan
pernah putus asa untuk menuntaskan rindu, biarlah Allah yang akan mengundangku
dengan cara-Nya, tugasku hanya berusaha maksimal untuk memantaskaan diri
menjadi salah seorang tamu-Nya.
Astagfirulloh,.. Jadi di tipu ya bu? Semoga segera diberikan jalan keluar yang terbaik, amin...
ReplyDeleteAmin, belum tau jg, biarlah urusan pengadilan. Bisa jd mereka lebih berat ujiannya, Allah kan nggak pernah salah menghitung he he
Deletesemoga allah memberikan jalan yg terbaik, salmku untuk bunda Neny sekeluarga dan semoga diberi kesabran. amin.... (alam bawah sadar)
ReplyDeleteamiin, trims doanya, syukur, sabar dan doa-doa tulus, itulah yang dapat mengubah kondisi buruk menjadi indah dan penuh hikmah, barokallah Berno Pastry.
ReplyDeleteaku ada blog dari tahun 2011 tapi belum pernah posting apa-apa heheeh, mungkin nanti tak isi dengan tulisan yg di post di KBM hehheheh
ReplyDelete