Seperti biasa, setiap ada kesempatan, Richie selalu
membuka fb. Begitulah anak sekarang, lebih akrab dengan hape dan fb dari pada
buku.
“Mi, senang dipuji tuh, nggak boleh ya?” tanya
Richie, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar hape. Kudiamkan saja.
“Mi, kok nggak jawab sih?” ulangnya, kali ini sambil
memandangku.
“Memang gitu ya, ngomong sama orang tua?” sungutku.
“Ya, dah, Richie minta maaf. Nih, fbnya dah Richie
off,” jawabnya sambil meletakkan hape di meja.
“Lha Richie senang dipuji atau dicela?”
“Dicela nggak mau, kalau dipuji... emm, boleh ya?”
“Richie tiba-tiba ngomongin senang dipuji, ada
masalah apa sebenarnya?”
“Richie baca beberapa komen teman fb, mereka bilang
nggak butuh komen, nggak butuh pujian, nggak nyari popularitas, tapi kok
karyanya diposting, trus nyari apa?”
“Lha kalau Richie posting tulisan, tujuannya apa?”
“Richie memang pengen jadi penulis beneran, ya untuk
latihan menulis, mengasah ketrampilan, di posting biar ada yang baca, kemudian
senang kalau direspon, untuk mengukur tingkat perkembangan menulis Richie,
lah.”
“Seneng respon positif apa negatif?”
“Seneng dibilang bagus, kalau memang bagus dan nggak
pa pa dibilang jelek kalau memang belum bagus, tapi lebih seneng kalau dikasih
tau, jeleknya, kurangnya di mana, biar Richie bisa memperbaiki.”
“Kalau memang bagus, pembaca bilang bagus, itu pujian
bukan?”
“Eeem, pujian juga sih, tapi kan memang begitu
keadaannya?”
“Rasulullah juga pernah memuji sahabat kok, di
antaranya memuji Umar r.a, beliau mengatakan,’Jika syetan berpapasan denganmu
pada suatu jalan, niscaya dia akan mencari jalan lain selain jalan yang engkau
lalui,’ HR. Muslim.”
“Katanya Rasulullah Saw pernah menyuruh melemparkan
pasir ke wajah orang yang memuji saudaranya?”
“Memang ada, sebagian besar ulama sepakat bahwa
pujian yang dilarang adalah yang sekiranya akan membuat yang dipuji akan ujub,
merasa hebat. Atau pujian itu mengandung dusta.”
“Jadi nggak pa pa ya, kalau kita suka dipuji?”
“Nggak pa pa, dikit.”
“Kok dikit, sih?”
“Ya sekedar untuk memotivasi, agar yang bersangkutan
mau mengulanginya lagi. Bayangkan kalau kita tidak pernah mau memuji anak
kecil, apa yang bisa membuat mereka termotivasi untuk melakukan kebaikan yang
kita ajarkan?”
“Jadi kalau sudah besar senang dipuji, masih seperti
anak kecil dong?”
“Iiiih! Bukan itu maksud Umi. Menurut teori
psikologi, misalnya teori hirarki kebutuhan manusia yang di telurkan Abraham
Maslow, ada satu kebutuhan manusia dari sisi kejiwaan, yaitu kebutuhan harga
diri, di mana manusia ingin diakui keberadaannya, termasuk ingin dihargai,
salah satunya dengan pujian yang benar.”
“Kok ngambil teori Maslow sih?”
“Nggak pa pa, biar kelihatan keren dikit, he he. Tau
nggak? Rasulullah itu manusia yang paling pandai menghargai seseorang, memenuhi
kebutuhan harga diri seseorang.”
“Kalau masalah popularitas, gimana, Mi?”
“Biar apa populer?”
“Ya mau jadi penulis kan nantinya mau jualan buku,
kalau nggak populer, gimana mau laku?”
“Jadi, butuh populer?”
“Lha iyalah! Coba, orang promosi dengan biaya yang
sangat besar itu, untuk apa coba?”
“He’e, untuk apa coba?” jawabku penuh semangat.
“Iiiih, Umi!”
“Ya, Richie kan sudah tahu jawabannya? Malah nanya?”
“Halah, Umi! Richie kan copas gaya Umi.”
“Ha ha ha, ngambek! Iya iya, orang promo biar
populer, biar tambah banyak orang tahu produknya, biar semakin banyak yang
tertarik dan membeli.”
“Kesimpulannya, populer itu perlu untuk calon
seorang penulis besar, dan itu Richie.”
“Amin.”
“Jadi biarin aja orang yang bilang nggak butuh
pujian dan popularitas itu?”
“Beda pendapat kan biasa, he he.”
No comments:
Post a Comment