Saturday, May 3, 2014

SENANG DIPUJI ATAU DICELA?


Seperti biasa, setiap ada kesempatan, Richie selalu membuka fb. Begitulah anak sekarang, lebih akrab dengan hape dan fb dari pada buku.

“Mi, senang dipuji tuh, nggak boleh ya?” tanya Richie, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar hape. Kudiamkan saja.

“Mi, kok nggak jawab sih?” ulangnya, kali ini sambil memandangku.

“Memang gitu ya, ngomong sama orang tua?” sungutku.

“Ya, dah, Richie minta maaf. Nih, fbnya dah Richie off,” jawabnya sambil meletakkan hape di meja.

“Lha Richie senang dipuji atau dicela?”

“Dicela nggak mau, kalau dipuji... emm, boleh ya?”

“Richie tiba-tiba ngomongin senang dipuji, ada masalah apa sebenarnya?”

“Richie baca beberapa komen teman fb, mereka bilang nggak butuh komen, nggak butuh pujian, nggak nyari popularitas, tapi kok karyanya diposting, trus nyari apa?”

“Lha kalau Richie posting tulisan, tujuannya apa?”

“Richie memang pengen jadi penulis beneran, ya untuk latihan menulis, mengasah ketrampilan, di posting biar ada yang baca, kemudian senang kalau direspon, untuk mengukur tingkat perkembangan menulis Richie, lah.”

“Seneng respon positif apa negatif?”

“Seneng dibilang bagus, kalau memang bagus dan nggak pa pa dibilang jelek kalau memang belum bagus, tapi lebih seneng kalau dikasih tau, jeleknya, kurangnya di mana, biar Richie bisa memperbaiki.” 

“Kalau memang bagus, pembaca bilang bagus, itu pujian bukan?”

“Eeem, pujian juga sih, tapi kan memang begitu keadaannya?”

“Rasulullah juga pernah memuji sahabat kok, di antaranya memuji Umar r.a, beliau mengatakan,’Jika syetan berpapasan denganmu pada suatu jalan, niscaya dia akan mencari jalan lain selain jalan yang engkau lalui,’ HR. Muslim.”

“Katanya Rasulullah Saw pernah menyuruh melemparkan pasir ke wajah orang yang memuji saudaranya?”

“Memang ada, sebagian besar ulama sepakat bahwa pujian yang dilarang adalah yang sekiranya akan membuat yang dipuji akan ujub, merasa hebat. Atau pujian itu mengandung dusta.”

“Jadi nggak pa pa ya, kalau kita suka dipuji?”

“Nggak pa pa, dikit.”

“Kok dikit, sih?”

“Ya sekedar untuk memotivasi, agar yang bersangkutan mau mengulanginya lagi. Bayangkan kalau kita tidak pernah mau memuji anak kecil, apa yang bisa membuat mereka termotivasi untuk melakukan kebaikan yang kita ajarkan?”

“Jadi kalau sudah besar senang dipuji, masih seperti anak kecil dong?”

“Iiiih! Bukan itu maksud Umi. Menurut teori psikologi, misalnya teori hirarki kebutuhan manusia yang di telurkan Abraham Maslow, ada satu kebutuhan manusia dari sisi kejiwaan, yaitu kebutuhan harga diri, di mana manusia ingin diakui keberadaannya, termasuk ingin dihargai, salah satunya dengan pujian yang benar.”

“Kok ngambil teori Maslow sih?”

“Nggak pa pa, biar kelihatan keren dikit, he he. Tau nggak? Rasulullah itu manusia yang paling pandai menghargai seseorang, memenuhi kebutuhan harga diri seseorang.”

“Kalau masalah popularitas, gimana, Mi?”

“Biar apa populer?”

“Ya mau jadi penulis kan nantinya mau jualan buku, kalau nggak populer, gimana mau laku?”

“Jadi, butuh populer?”

“Lha iyalah! Coba, orang promosi dengan biaya yang sangat besar itu, untuk apa coba?”

“He’e, untuk apa coba?” jawabku penuh semangat.

“Iiiih, Umi!”

“Ya, Richie kan sudah tahu jawabannya? Malah nanya?”

“Halah, Umi! Richie kan copas gaya Umi.”

“Ha ha ha, ngambek! Iya iya, orang promo biar populer, biar tambah banyak orang tahu produknya, biar semakin banyak yang tertarik dan membeli.”

“Kesimpulannya, populer itu perlu untuk calon seorang penulis besar, dan itu Richie.”

“Amin.”

“Jadi biarin aja orang yang bilang nggak butuh pujian dan popularitas itu?”

“Beda pendapat kan biasa, he he.”

No comments:

Post a Comment