Setiap momen penting, selalu ada satu hal yang
membuat desir di hati. Biasanya hal yang menyebabkan desir itu berbeda untuk setiap
orang, tergantung memori yang berhubungan dengan momen tersebut.
Contohnya dalam momen pernikahan. Setiap menghadiri
acara akad nikah, ada saja hal yang menyebabkan desiran. Sepertinya dari zaman
dulu sampai sekarang, agenda pokok akad nikah sama saja, lha iya lah, kan akad
nikah termasuk ibadah yang tak bisa dimasuki kreatifitas di dalamnya.
Misalnya ketika petugas dari KUA menyebutkan bentuk
atau jumlah maharnya, serrrr, ingat dulu mahar yang kuterima apa, hi hi hi
langsung membandingkannya. Kadang nyeletuk juga ke suami, ngulang yok! Ngulang
nikah? Bukan, ngulang maharnya, ha ha ha, soalnya jauh banget sih nilai
nominalnya.
Atau misalnya kotbah nikahnya agak
nyrempet-nyrempet, dah deh, sarrr-serrr sambil senyum-senyum sendiri, apalagi
kalau tempat duduk pria wanita dipisahkan. Kalau duduknya bersebelahan, paling
ada yang towel-towel nggemesin, hi hi hi.
Nah, beda dengan pagi tadi, ketika menghadiri akad
nikah seorang kawan, suami dapat amanah jadi saksi, aku mendampingi mempelai
wanita. Desiran ini muncul tanpa dapat dikendalikan, ketika petugas tilawahnya
mulai membaca ta’awudz. Usianya sekitar sepuluh tahunan, anak dari mempelai
wanita. Suaranya begitu lembut melantunkan ayat-ayat Al Qur’an dengan
tartilnya, gaya murotal. Dia memang sedang belajar di pondok tahfidz Qur’an.
Aku tidak tahu pasti, mana yang dominan membuat
hatiku berdesir, ayat-ayat yang dibacanyakah atau suara polosnya yang
mengingatkanku pada dua putraku yang sekarang sudah remaja, sudah besar, sudah
mandiri, dan kini . . . jauh dariku. Hiks... bukan pengantinnya yang menangis
haru, malah aku yang tak sanggup membendung air mata.
Suara itu begitu sejuk dikalbuku, indah dan
menenangkan, tapi ujung-ujungnya menggetarkan. Getar rindu. . .
Aku ingat dulu, tiga-empat tahun lalu, sering sekali
anak-anakku diminta tetangga atau teman-teman untuk mengisi acaranya dengan
murotal. Aku memperhatikan yang hadir, yang khusyu mendengarkan, biasanya akan
terharu dan menitikkan air mata. Mungkin sama seperti yang kurasakan.
Mungkin setiap kita merasakan perasaan berbeda saat
mendengarkan lantunan ayat-ayat Al Qur’an, dan siapa yang membacanya juga
memberikan pengaruh, sedalam apa ayat-ayat itu mempengaruhi kalbu.
Entahlah,
apa karena suara-anak-anak yang masih bersih dan polos, atau karena anak-anak
belum memiliki beban dosa, aku merasakan lebih tergugah bila mendengar
anak-anak yang melantunkannya.
Benarlah bila Al Qur’an adalah mukjizat, tanpa faham
artinyapun, dapat mempengaruhi jiwa seseorang.
No comments:
Post a Comment