Friday, May 30, 2014

GANDJEL REL

<p>"Abi bawa oleh-oleh apa, Mi?" tanya Husna, sepulang sekolah.

"Tuh, di meja."

Husna menghampiri meja dan membuka bungkusan oleh-oleh itu.

"Cuma ini, Mi?" tanyanya.

"Alhamdulillah ada, susah bawanya, tas baju dan berkasnya aja ada dua."

"Susah bawanya, apa duitnya nggak adaaaa?" sindirnya.</p>

"Ssssst"

"Umi, ini kue apa?" tanya Hafa, sambil menunjukkan kue berwarna coklat yang di atasnya bertabut wijen.

"Ada tulisan namanya, nggak?"

"Ada, tapi susah bacanya," dibawanya kue itu mendekat padaku.

"Ini bacanya ganjel rel," jawabku, wajar kalau Hafa tidak bisa membacanya, tulisannya pakai ejaan lama.

"Lucu amat sih namanya, ha ha," Husna tertawa lepas, mungkin baru sekali ini dia mendengar istilah itu.

"Coba cicip dong,  ngapa ya, kok dikasih nama ganjel rel?"

"Mungkin karena bentuknya seperti balok, kan mirip balok yang sering dipakai untuk bantalan rel kereta," jelasku menduga-duga.

"Tanya sama orang Semarang, Mi. Inikan makanan khas Semarang."

"Agak keras, Mi. Kirain seperti brownis," komentar Hafa.

"Ini makanan tradisional, dilihat dari komposisinya hanya gula jawa, tepung terigu, wijen dan adas manis, tanpa bahan pengawet . Wajar kalau agak keras, tidak pakai telur atau pengembang dan pelembut."

"Aromanya seperi bolu lapis ya, Mi?"

"Itu aroma adas manis, kalau yang untuk tambahan buat bolu lapis atau engkak itu namanya spekuk, mungkin bahannya sama, setidaknya ada campuran adas manisnya."

"Umi bisa buat seperti ini?"

"Belum pernah persis begini, pernah juga yang agak mirip, tapi pakai telur."

"Oo, yang bolu gula merah itu, ya, Mi?"

Aku mengangguk, melanjutkan tulisan. Mereka asyik menikmati oleh-oleh, sambil tertawa-tawa.


No comments:

Post a Comment