Nafas lega terdengar dari para peserta pelatihan. Saat istirahat yang dinantikan, sampai juga. Terutama ibu-ibu muda yang membawa bayi sepertiku. Laparrrrr!
“Sholat dulu apa makan dulu, Mbak?” tanya salah satu peserta
, yang duduk di sebelahku. Dia adik tingkat saat kuliah.
Sebelum menjawab, aku tebarkan pandang ke ruangan pelatihan.
Nampak peserta lain sedang mengambil nasi kotak dan mencari posisi untuk makan.
“Sholat dulu, deh. Mumpung belum terlalu ramai, lagian
sikecil sedang bobok,” jawabku sambil meraih tas yang kuletakkan di bawah
kursi. Ku keluarkan keperluan untuk sholat di masid yang ada di kompleks tempat
pelatihan.
“Bagus banget Mbak, tasnya,” rupanya dia memperhatikan aku membuka-buka tas
“Heh, maksudnya?” aku memperjelas.
“Tas Mbak bagus banget, sepertinya nggak beli di sini deh.”
Saat itu aku memang memakai tas hadiah dari adik, oleh-oleh
suaminya saat kunjungan ke Aceh. Khas buatan masyarakat Aceh, hasil kerajinan
yang biasa untuk cindera mata.
“Mau?” tanyaku, spontan. Dia terkejut melihat reaksiku,
sampai melongo beberapa jenak.
“Mau nggak? Kok malah melongo?” tanyaku, sambil kusenggol
tangannya. Dia tersadar.
“Beneran, Mbak?” tanyanya, masih belum percaya. Aku
tersenyum, lalu menggangguk.
“Tapi nanti, ya, menjelang pulang,” kataku sambil beranjak
mencari peserta yang sedang berhalangan sholat, minta tolong mengawasi sikecil
yang sedang pulas.
Setelah acara ditutup, dia sibuk mempersiapkan bayinya. Tempat
tinggalnya memang cukup jauh. Sepertinya dia lupa dengan obrolan siang tadi.
“Bawa plastik nggak? tanyaku.
“Untuk apa, Mbak?” tanyanya.
“Untuk tempat perlengkapan sikecil, Mbak nggak bawa nih,”
kataku sambil mengeluarkan isi tas ke kursi.
Dia bengong melihat apa yang
kukerjakan.
“Loh, Mbak? Beneran tho?”
“Ya beneranlah, mana, ada plastiknya?”
Waah dia nampak sangat terharu.
“Alangkah bahagianya. Indah sekali ukhuwah ini. Kalau Mbak
serius, kita tukar tas aja ya, tapi maaf, tas saya jelek, murahan, malah nggak
ada harganya.”
Kuperhatikan tas yang dibawanya, kecil, berbahan plastik dan
ada merek produk keperluan bayi.
“Nggak apa-apa, yang penting ada wadahnya.”
Saat berpisah, dia memelukku erat. Degup jantung ini
menyatu, indahnya persaudaraan. Indahnya hidup mencontoh kehidupan Rasulullah.
Bukan aku tak suka dengan tas hadiah dari adik, aku sangat
suka. Dan aku membutuhkannya. Tapi aku ingin merasakan apa yang dirasakan
Rasulullah dan para sahabat, ketika dengan rasa bahagia membagi apa yang
dimilikinya, bahkan sebagian ada yang menunda kebutuhannya, demi menyenangkan
dan menolong saudaranya.
Begitu berserak kisah-kisah katauladanan generasi terbaik
itu. Mungkin tidak setiap saat mood ingin berbagi itu muncul, spontanitas itu
hadir, tapi ketika mood itu hadir, segera diapresiasi. Tidak perlu banyak
pertimbangan, karena belum tentu dia akan hadir lagi.
sumber gambar : Google
sumber gambar : Google
No comments:
Post a Comment