Richie kelihatan riang geembira. Dia
datang dengan membawa kresek hitam.
“Tumben, gembira banget, Chie?” Umi
tidak tahan untuk tidak berkomentar. Richie seperti tidak menghiraukan komentar
Umi, diserahkannya plastik bawaannya.
“Ini untuk Umi, Alhamdulillah tadi
Richie dapat rizki,” katanya, sambil duduk di kursi, sebelum dipersilahkan. Umi
membuka plastik itu. Senyumnya sumringah, setelah tahu apa isinya.
“Alhamdulillah, lagi seneng banget nih?
Sampe syukuran, kasih hadiah Umi klengkeng. Tau aja kalau Umi hobi klengkeng,”
kata Umi sambil memetik satu dari tangkainya, langsung dinikmati.
“Iiih, Umi. Nggak sabaran banget, mbok
ya di taruh di piring dulu, langsung aja comot,” Richie protes sambil monyong
tiga setengah centi.
“He he, Richie mau juga?” Umi agak malu,
kemudian ke belakang untuk mengambil piring.
Setelah kembali dengan membawa klengkeng
yang sudah di piring, Umi mengambilkan air mineral yang selalu tersedia di meja
kecil di sudut ruang tamu itu.
“Minum dulu, Chie. Eh, belum jawab
pertanyaan Umi tadi, ada apa, kok kelihatan bahagia banget?”
Dengan senyum-senyum, Richie
bersiap-siap cerita hal yang membuatnya begitu bahagia.
“Uvy tadi ditegur ustadz Kho,” katanya,
puas.
“Apa Uvy melakukan kesalahan?” tanya
Umi, penuh selidik. Kho adalah ustadz muda yang membimbing Richie dan
kawan-kawannya di masjid.
“Nggak tahu, sih, itu kesaalahan besar
atau kecil, yang jelas ustadz mengingatkan untuk segera diselesaikan.”
“Masalahnya apa?” tanya Umi, tanpa bisa
menutupi penasarannya.
“ Laaah, Umi kepo!” Richie mulai
menggoda Umi.
“Salah siapa cerita sepotong-sepotong?
Kalau nggak mau ditanya, nggak usah mancing-mancing dengan cerita nggak jelas
gitu!” Umi bersungut-sungut.
“Idiiiih, Umi ngambek,” kata Richie,
masih berniat meneruskan candaannya. Umi sok cuek, tidak menanggapi candaan
Richie, malah asyik menikmati klengkeng.
“Jangan diabisin, dong, Mii!” Richie
protes, langsung ikut menikmati klengkeng, khawatir kehabisan.
“Alhamdulillah. Makasih ya, Chie,
klengkengnya enak, manis.” puji Umi.
“Lha iya lah, Richie beli yang kualitas
super, harganya paling mahal,” uuuh, Richie, nggak bisa dipuji sedikit,
langsung mekar hidungnya.
“Jadi nerusin cerita, nggak?” tanya Umi,
mengingatkan.
“Iya, Umi. Tadi Uvy ditegur ustadz Kho,
dianjurkan segera melamar dan menikahi pacarnya, kalau memang kedua keluarga
sudah setuju. Nggak baik terlalu lama pacaran, bisa timbul fitnah.” jelas
Richie.
“Jadi itu yang buat Richie senang?”
tanya Umi lagi, sambil menatap Richie.
“Emmm, gitu deh,” jawabnya, penuh
percaya diri.
“Kenapa Richie seneng? Melihat Uvy
malu?”
“Eh . . . ee . . .anu. .” Richie kelabakan, tidak menyangka Umi akan
menanyakan itu, seperti bisa membaca pikirannya.
“Atau karena Richie iri, melihat
kemesraan mereka selama ini, sedang Richie tidak punya pacar?”
“Iiiih,
. .Umi!” Richie, merasa terpojok.
“Apa Richie ikut senang, kalau Uvy cepet
nikah, kan memang itu maunya Uvy?”
Huuuft! Richie lega, Umi memberinya
alternatif jawaban yang tidak terlalu
memalukan.
“Naah, itu Umi. Richie ikut senang kalau
Uvy juga senang,” jawabnya riang. Sebenarnya dia juga heran dan tidak tahu,
mengapa senang saat Uvy ditegur Ustadz Kho?
“Yaah, Umi juga senang. Semoga semua
urusannya dimudahkan. Umi ikut was-was kalau ada yang pacaran, pengennya, kalau
sudah ketemu jodoh, segera saja menikah. Sebagai teman, Richie tuh bantu-bantu,
apa yang dibutuhkan Uvy,” Umi memberi penjelasan panjang lebar.
“Iya, Mi. Tadi Ustadz Kho juga sudah
menawarkan diri, kalau ada yang bisa dilakukannya untuk membantu Uvy
melaksanakan ibadah yang satu ini.” Jawab Richie.
“Lha, kalau Richie sudah pengen belum?”
Richie terkejut ditodong Umi seperti
itu. Dia melongo. Melihat ekspresi wajah Richie, Umi agak gimanaaa, gitu?
“Kok bengong, Chie?”
“Eh. . . anu. . . itu, Umi?”
“Ya sudah, nanti kalau dah pengen,
ngomong Umi, ya?”
Richie menunduk. Ada wajah menari-nari
dalam angannya. Hmmmm.
No comments:
Post a Comment