Tuesday, September 2, 2014

Infak. Wajib atau Butuh

"Umi, program Rumah Tahfidz hanya untuk anak-anak atau umum?" tanya seorang ibu.

"Untuk umum, Bu. Siapapun yang berminat, dan SDM Rumah Tahfidz mencukupi, kami akan layani, kenapa, Bu?"

"Saya pengen coba ikut, Mi. Saya coba menghafal mandiri, tapi sulit sekali. Semoga dengan ikut program Rumah Tahfidz, hafalan saya bisa lebih baik."

"Subhanallah, silahkan, Bu. Insyaallah kami akan bantu semampunya."

"Tapi maaf, Mi..." ibu itu ragu-ragu.

"Ya, Bu, ada apa?"

"Bagaimana dengan infak bulanannya?"

"Oo, itu tho. Kami tidak menentukan infak untuk Rumah Tahfidz, karena untuk biaya belajar, insyaallah kami gratiskan. Tapi kami tidak menolak jika ada peserta yang butuh berinfak."

"Kok butuh berinfak? Maksudnya apa, Mi?"

"Ibu pernah mendengar seorang dai kondang kita mengibaratkan infak atau sedekah seperti kita BAB?"

"Buang air besar, maksudnya, Mi?"

"Ya, buang air besar."

"Emm, sepertinya pernah sih, tapi sudah lama, tolong jelaskan maksudnya, Mi?"

"BAB itu kewajiban atau kebutuhan?"

"Ah, Umi ada-ada saja, masa BAB kewajiban? Ya kalau saya merasa butuh banget, soalnya kalau nggak BAB sehari saja, rasanya tersiksa," jelas si ibu, menahan tawa.

"Waktu BAB, Ibu sering periksa yang keluar nggak? Misalnya, bentuknya seperti apa, warnanya dsb?"

"Aduh, Umi... kok sempat-sempatnya lho, lha wong ke toilet saja pengennya buru-buru, aromanya saja dihindari, apalagi melihat wujudnya? Hiiii!" si ibu bergidik.

"Jadi, kalau kita menganggap infak itu seperti BAB, ya begitulah. Artinya kita berinfak karena merasa butuh dan tidak menghitung-hitung yang sudah kita infakkan, semata-mata mengharapkan keberkahan dan keridhoaan Allah."

#Seri Rumah Tahfidz >13<

No comments:

Post a Comment