Sunday, September 7, 2014

Sepuluh Tahun Lagi

"Saya berdoa kepada Allah, agar memanjangkan umur saya dan istri, sampai semua anak kami hafal Al Qur'an 30 juz," kata Abi di salah satu pertemuan dengan orang tua calon santri Rumah Tahfidz.

"Amin," gumam Umi, yang saat itu mendampinginya.

***

"Kalau semua seperti yang pertama dan kedua, khatam usia 14 atau 15 tahun, sedang sekarang umur Harish hampir lima tahun, jadi waktu kita tinggal sekitar sepuluh tahun lagi, ya?" gumam Umi, setengah bertanya pada Abi.

"Ya...nggak apa-apa," jawab Abi, yakin atau...meyakin-yakinkan diri?

"Nggak lama  lagi, ya?" tanya Umi, ragu...sambil menghitung-hitung.

***

Sepuluh tahun! Lama atau sebentar, itu relatif.

Bila ia sudah berlalu, tentu sangat sebentar. Lihat anak-anak! Sepertinya baru kemarin mereka belajar berjalan dan menyusun kalimat, kini...mereka sudah merantau ke mana-mana. Ilmunya lebih beragam dari orang tuanya, pergaulannya lebih luas, jarak tempuhnya lebih jauh.

Bila untuk menunggu, apalagi dalam kondisi menderita, sepuuh tahun tentu terasa amat panjang. Apalagi kalau tidak ada kesibukan yang berarti, tentu sangat melelahkan...untuk hasil yang tidak jelas.

Yang jadi masalah, untuk apa waktu yang sepuluh tahun itu?

"Sepertinya kita harus bergegas, jangan sampai sepuluh tahun lewat, anak-anak belum siap kita tinggalkan," ujar Umi, sedikit gamang.

"Ya, itu bisa jadi pemicu langkah ke depan, sudah tak ada lagi waktu untuk coba-coba, energi kita pusatkan untuk satu tujuan. Hal-hal lain, biarlah mengikutinya," timpal Abi lebih mantap.

"Mengantar anak-anak jadi hafidz Qur'an, mengembangkan Rumah tahfidz, sambil jalan menyiapkan pondok tahfidz, mengelola rumah terapi sambil mengembangkan ilmunya...kalau disebut hanya 4 poin, tapi kalau dikerjakan semua dengan serius, bisa nggak tidur kita, Bi," seloroh Umi, tertawa kecut.

"Nikmatnya tidur ketika kondisi kita lelah tapi hati bahagia. Nikmatnya makan ketika kita lapar dan hati bersyukur. Kita jalani saja, mengantar anak-anak menjadi hafidz, sebagai warisan untuk mereka. Sambil mengiringi perjalanan rumah tahfidz, kita coba lebih dekat dengan Al Qur'an, walaupun mungkin akan sangat sulit menyusul anak-anak untuk hafidz Qur'an," ujar Abi, sambil merebahkan tubuhnya.

"Iya juga, sih. Mengembangkan rumah terapi, selain untuk jalan menjemput rizki, juga sekalian beramal shaleh. Meringankan beban orang-orang yang sedang sakit atau kesulitan. Belajar terus untuk mengembangkan ilmu, tentu menyenangkan, toh itu memang hobi," lanjut Umi.

Kok tak ada suara? Diperhatikannya Abi. . .aha ha, pantas saja, sudah pindah alam!

Umi tersenyum, melanjutkan aktivitasnya, blogging sambil sekali-sekali membereskan catatan santri-santri Rumah Tahfidz yag terus bertambah. Kadang diselingi bertegur sapa dengan teman dunia mayanya.

#Seri Rumah Tahfidz MHA   >19<

No comments:

Post a Comment