Thursday, September 11, 2014

Dari Yang Kamu Cintai

"Ingiiiin rasanya menginfakkan motor laki-laki untuk Rumah Tahfidz, tapi itu punya suami," seorang kerabat mengirim SMS ke Umi, setelah membaca postingan Seri Rumah Tahfidz MHA >20< yang berjudul "Taunya Gratis". Baru saja dia dibelikan motor matic, sedang suaminya ke kantor memakai motor bebek yang bukan matic. Motor laki-laki jarang dipakai.

"Yang matic aja, kan milik sendiri," jawab Umi, menggodanya.

"Judulnya milik sendiri, tapi kan dibelikan suami juga ha ha ha," kilahnya.

"Coba tanya suami, dalil yang mengatakan tentang infak dari harta yang dicintai," balas Umi. Suami kerabatnya termasuk orang yang paham agama, bahkan termasuk ustadz.

"Huuuuu! Lagi senang-senangnya pakai motor," jawabnya.

***

Berinfak saat longgar, itu biasa. Berinfak dengan barang yang sudah tidak dipakai, tapi masih bagus, itu juga biasa, dari pada terbuang tak terpakai. Tapi berinfak dengan sesuatu yang dicintai, bahkan sangat dicintai, itu baru luar biasa.

"Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Maha Mengetahui." QS Surat Ali Imron ayat 92.

Mungkin sebagian kita berinfak dengan orientasi siapa yang kita akan beri infak, untuk apa infak itu akan dipergunakan.

Pernahkah kita berinfak dengan orientasi diri sendiri? Berinfak karena butuh dan mewajibkan diri berinfak? Atau karena menghukum diri karena melakukan sebuah kesalahan, sebagai bukti taubatnya?

Kadang malu, saat membaca kisah orang-orang terdahulu, yang tidak takut miskin karena berinfak dan mengharap imbalan dari Allah.

Salah satu contohnya, ketika sahabat Usman bin Affan menginfakkan kafilah dagangnya yang sangat besar, untuk diinfakkan kepada kaum muslimin yang saat itu sedang mengalami paceklik. Apa alasannya? "Allah membeli dengan memberi keuntungan sepuluh kali lipat."

Lain lagi dengan sahabat Umar bin Khattab yang sangat terkenal dengan ketegasannya. Suatu hari beliau asyik dengan kebunnya, sehingga membuatnya lalai dan tertinggal shalat Ashar berjamaah. Sebagai hukuman untuk kelalaiannya, beliau menginfakkan kebun yang telah melalaikannya itu ke baitul mal untuk kepentingan masyarakat. Beliau tak ingin ketaatannya pada Allah terusik karena kesibukan hartanya.

Di zaman kini pun, masih banyak ditemui para dermawan yang begitu ringan melepaskan hartanya untuk berinfak, dan testimoninya, dengan berinfak dan bersedekah, rizki mereka semakin melimpah. Sampai-sampai sempat muncul tren, menjadi kaya dengan bersedekah. Kembali lagi, hal ini sangat terkait dengan pemahaman yang berbeda-beda.

Seri Rumah Tahfidz MHA >22<

No comments:

Post a Comment