Monday, September 8, 2014

Perkawinan Beda Agama

"Ini gimana sih, Mi?" Richie sibuk dengan hape kerennya.

"Apanya?" Umi mendongak, melepas pandangannya dari monitor lepi.

"Lagi marak berita perkawinan beda agama. Sebenarnya, gimana sih, boleh nggak?"

"Menurut siapa?" tanya Umi.

"Kok menurut siapa? Memang nggak ada standar kebenarannya?" Richie meletakkan hapenya di meja, tanda siap mendengarkan penjelasan.

"Kalau standar atau tolak ukurnya sama, ya nggak akan ada perbedaan pendapat," jawab Umi kalem.

Richie manggut-manggut, mungkin mengerti.

"Iya sih, Mi. Menurut kabar, dari agama yang ada di Indonesia, hanya satu yang membolehkan perkawinan beda agama. Sedang yang beritanya santer mendukung, malah bukan dari agama tertentu, tapi atas nama hak asasi."

"Mau pake standar yang mana?" tanya Umi.

"Islam, lah Mi."

"Allah perintahkan untuk menikah dengan wanita beriman, bahkan wanita budak, sebagai lambang strata sosial yang rendah, yang beriman, lebih baik dari wanita yang yang tidak beriman, meskipun menarik hatimu."

"Lah, jadi menarik hati bukan alasan utama untuk menikah, ya, Mi?"

"Gitu, deh."

"Tapi boleh kan, Mi, kalau menikah dengan yang menarik hati, tapi seagama?"

"Ya, boleh, itukan manusiawi."

Richie manggut-manggut.

"Chie, beragama itu hak asasi bukan?"tanya Umi, serius.

"Ya iyalah, kan tidak ada paksaan dalam beragama, laa ikraaha fiddiin," cie-cie, Richie berdalil pake potongan ayat Al Qur'an. Wah, dah ada kemajuan. nih.

"Melaksanakan ajaran agama kewajiban, bukan?" tanya Umi, lebih serius.

Richie berdehem, wah, harus hati-hati nih, kalau Umi sudah serius.

"Richie pikir, ya kewajiban, sebagai konskuensi dari pilihannya," Richie belum begitu paham arah pertanyaan Umi.

"Kira-kira, negara, maksudnya pejabat negara punya kewajiban nggak melindungi hak rakyatnya dalam beragama?"

"Kalau Richie sebagai rakyat yang kemarin ikut memilih pemimpin negara, harapannya, pemimpin yang terpilih adalah sosok yang bisa melindungi hak-hak rakyatnya, termasuk meningkatkan kualitas beragama. Kan nggak semua orang yang beragama memahami agamanya dengan baik? Idealnya sih negara memfasilitasi, supaya rakyatnya lebih leluasa menjalankan agamanya. Bila perlu membuat undang-undang untuk itu, bukan malah memreteli peraturan yang sudah ada."

"Itu dia pentingnya kita berhati-hati memilih pemimpin, karena sebagian nasib kita ada di kebijakan yang diambil." suara Umi melemah, tercium aroma kesedihan.

"Gimana dengan pemimpin yang tidak melindungi hak beragama warganya?" tanya Richie.

"Sebenarnya jadi pemimpin itu berat banget, itu sebabnya pemimpin yang adil termasuk salah satu golongan yg mendapat perlindungan Allah di hari kiamat, dan sebaliknya dia akan dimintai pertanggung jawaban terhadap kepemimpinannya."

"Iiih, malas jadi pemimpinlah, takut nggak adil," Richie bergidik membayangkan.

"Kita tidak bisa menghindar, karena setiap diri adalah pemimpin. Memang Richie nggak mau nikah?" tanya Umi, mulai deh ngisengin Richie.

"Mau, Umiii, kalau bisa secepatnya," Richie nyengir,...idih, jelek banget. Mana ada bintang korea nyengir.

"Itu artinya siap memimpin. Kalau istri Richie nggak baik, nanti Richie juga harus bertanggung jawab, karena salah satu tugas suami adalah mendidik istrinya."

"Berat, ya Umi?" Richie serius.

"Lha iyalah! Bayangin, susah payah orang tua mengasuh dan mendidik anak perempuannya, eh sudah besar diambil orang. Suaminya yang dilayani, bukan orang tuanya. Artinya, tanggung jawab mendidik dan melindunginya berpindah pada suami."

Richie terlihat memikirkan penjelasan Umi.

"Gimana, sudah siap menikah secepatnya?"

Richie tersenyum tipis, Umi sulit mengartikan senyuman itu.




No comments:

Post a Comment