Wednesday, September 10, 2014

Ingin Punya Anak Salih

"Enak Umi, punya anak banyak, salih-salihah semua, lha saya...sudah belasan tahun menikah, belum juga di kasih," seorang ibu anggota pengajian curhat ke Umi, dengan wajah sendu.

"Alhamdulillah, semua karunia Allah, tolong doakan ya, semoga anak-anak Umi bisa jadi anak salih dan salihah semua."

"Amin! Tapi bagaimana dengan orang-orang seperti saya, yang belum dikaruniai anak, bahkan ada yang sampai wafat, tidak memiliki keturunan. Bukankah setiap manusia ingin memiliki keturunan?"

"Benar, sebagian besar manusia tidak ingin keturunannya terputus, tapi itu semua sudah kehendak-Nya. Kita harus menerimanya dengan rida, walaupun usaha untuk mempunyai keturunan terus dilakukan."

"Tapi harapan didoakan anak salih jadi terputus dong, Mi?" tanyanya, ragu.

"Anak salih kandung, ya, tapi anak salih yang tidak kita lahirkan sendiri kan ada? Kita pun bisa ikut andil mendidik anak-anak itu agar menjadi salih. Alangkah banyaknya anak-anak yang orang tuanya tidak mampu, bisa kita bantu, baik dengan mendidiknya dengan asuhan sendiri atau dengan membiayainya. Sebenarnya, mengapa manusia menginginkan keturunan?"

"Ya pertama, supaya jejak sejarahnya tidak terputus, kedua ada doa anak salih yang bisa menolong kita di akhirat nanti," jawab ibu itu.

"Kalau anak cucu kita berhasil menjadi anak salih, orang-orang baik, tentu kita akan memiliki coretan sejarah yang indah, bagaimana jika itu tidak terjadi? Dan seberapa panjang sejarah kita akan dikenang? Dan lagi, sejarah itu kan hanya dalam kenangan manusia. Nah, kalau urusan keselamatn kita di akhirat, Allah memberikan begitu banyak peluang untuk itu, tidak hanya dengan memiliki anak yang salih."

"Maksud Umi?"

"Ingat apa saja yang pahalanya mengalir walaupun kita sudah meninggal?" Umi balik bertanya.

"Kalau nggak salah, ilmu yang bermanfaat, harta yang diwakafkan, anak salih yang mendoakan," jawab si ibu.

"Allah Maha Luas karunia-Nya. Memberi banyak jalan untuk keselamatan hamba-Nya. Dia tidak ingin menzalimi makhluk ciptaan-Nya. Yang tidak dikaruniai anak, maka diberi kesempatan untuk memiliki ilmu dan mengajarkannya, sehingga selama ilmu yang diajarkannya itu diamalkan, maka dia akan mendapat pahala seperti yang melakukannya, tanpa mengurangi pahala yang melakukannya. Yang lain diberi harta yang bisa diwakafkan, dan pahalanya akan mengalir selama kemanfaatan harta itu masih ada."

"Kalau sekali amal dapat ketiganya, bisa nggak, Mi?" tanya si ibu, sambil senyum malu.

"Wah, prinsip ekonominya keluar nih...tapi bolehlah kita main akal-akalan, siapa tahu cocok," jawab Umi, sambil tertawa.

"Akal-akal gimana, Mi?" si ibu heran.

"Akal-akalan bukan maksud mengakali Allah, ya. Itu tak akan bisa, tapi kita coba menghitungnya dengan hitungan manusia, siapa tahu cocok dengan hitungan Allah. Andainyapun nggak cocok, kalau niat kita ikhlas karena Allah, tak kan ada ruginya, walaupun hasil hitungannya berbeda. Yakinlah, Allah Maha Menghitung, tidak pernah salah dan selalu adil"

"Wah, mau tahu, gimana akal-akalannya?" tanya si ibu, antusias.

"Beneran tertarik?"

"Bener, Mi, serius!"

"Kalau Ibu punya harta, infakkan saja ke Rumah Tahfidz. Maka harta itu akan sangat bermanfaat untuk mencetak para penghafal Al Qur'an. Selama mereka mengamalkan ilmunya, maka selain gurunya, ibu juga akan kecipratan pahala sebagai orang yang ikut andil dalam proses menjadinya mereka menjadi penghafal Al Qur'an. Doa merekapun bisa menolong kita, karena orang yang dekat dengan Al Qur'an, dekat dengan Allah, biasanya doanya lebih makbul."

"Aaah, Umi licik," komentar si ibu sambil tertawa-tawa, setelah menyadari Umi menggiringnya agar menyalurkan infaknya untuk Rumah Tahfidz.

"Lho, kok licik? Memang ada yang dirugikan?" Umi bertanya sambil tersenyum maklum.

"Maaf, Mi, bercanda. Saya tahu tidak akan rugi berbisnis dengan Allah, saya hanya ingat para sales, ujung-ujungnya closing, he he he."

"Ibu nggak salah, Umi memang berperan sebagai sales, walaupun kalau jualan barang jarang sukses, tapi kalau sudah bisnis dengan Allah, ya berusaha semaksimal mungkin, kan tidak ada yang dirugikan? Tidak ada yang dipaksa?"

"Iya, mi, iya. Saya sadar, harus mengambil kesempatan yang Allah berikan. Mungkin ini yang terbaik untuk saya, sampai saat ini belum diberi keturunan. Saya akan beramal dengan apa yang Allah karuniakan untuk saya."

"Jadi..."

"Tenang, Mi... saya dukung program Rumah Tahfidz dengan kemampuan yang saya punya."

"Alhamdulillah."

Seri Rumah Tahfidz MHA >21<

No comments:

Post a Comment