Sunday, November 3, 2013

TRAUMA AIR


September 1997, di salah satu hari Minggu.
“ Aaaaaaaaaaaa!”
“Allahu Akbar!”
“Adeeeeek!”
Deg!... secepat kilat kualihkan pandanganku dari barisan huruf huruf di buku yang sedang kubaca ke arah sumber keributan, ada apa?
“Hilmy...? Innalillahi.....!”

Kulihat suamiku secepat kilat meloncat ke air di bawahnya dari sebuah batu besar yang dialiri air terjun kecil di sebuah sungai, langsung  menangkap anak usia hampir tiga tahun yang baru saja melorot terlepas dari gendongannya. Anak kecil itu. . . Hilmy, anakku.

Seakan berhenti detak jantungku! Aku terpana! Tak salahkah apa yang kusaksikan dihadapank dengan kedua bola mataku? Benar!... Benar, anakku tercebur sungai, melorot  dari ketinggian sekitar dua meter!

Kurasakan lemas sekujur tubuhku. . . tapi? Tidak, akal sehat segera menyadarkanku, jangan panik!

“Bawa ke sini Bi!” teriakku dengan nada perinrtah, lupa unggah ungguh bicara dengan seorang suami. 

Suamiku berusaha secepatnya menepi menghampiriku yang ada di atas batu besar yang relatif datar, tak terlalu jauh dari lokasi kejadian.

Segera kuraih anakku dari uluran tangannya. Sekilas kuperhatikan kondisinya, sedikit memar dan luka di wajah dan sebagian tubuhnya. Aku berusaha menata hati, setenang yang aku bisa. Kudekap anakku di dada, agar ketenanganku mengalir ke detak jantungnya, menuju irama yang sama, tenang, terkendali, hilangkan takut. 

“Maaf Mi, nggak sengaja. Tadi Abi melihat Iqbal terpeleset, reflek Abi mau menangkapnya, tak sadar tangan melepas gendongan Hilmy,” Suamiku berusaha menjelaskan apa yang terjadi dengan rasa penuh penyesalan. Aku tak begitu mendengarkannya, aku hanya sibuk menenangkan Hilmy secepatnya sehingga luka lukanya dapat segera ditangani. Suamiku sudah siap dengan perlengkapan P3K untuk mengobati luka dan memarnya, tapi belum dapat dilakukan sebelum anakku tenang.

Hari itu, kami sedang dalam acara rihlah/ tadabur alam TPA yang kami bina. Dengan beberapa pembimbing lainnya, kami ajak anak anak ke sungai yang tidak terlalu besar dan tidak terlalu jauh lokasinya. Sengaja kami pilih lokasi yang masih asli, belum ada rekayasa untuk dijadikan tempat wisata. Masih alami dan segar udaranya.

Belum tiga bulan aku melahirkan anak kedua, sehingga gerakku tak sebebas biasanya, juga karena aku membawa bayi yang harus kuurus sendiri segala keperluannya. Anak pertamaku di bawah pengawasan suami. 

Aku mengambil posisi di tepi sungai, di sebuah batu besar yang relatif datar. Setelah semua perlengkapan kusiapkan, kubaringkan sikecil yang sedang tidur di atas batu beralas selimut tebal. Kusiapkan snack untuk menemaniku membaca. Suamiku sudah faham dengan prosesi rutinku saat acara seperti ini. Yang lain begitu heboh dan gegap gempita dengan segala permainan dan aktifitas yang menggembirakan, aku akan duduk manis menikmati sepoi sepoi angin sambil membaca dan ngemil, herannya... tetap saja badanku tak bisa gemuk.  Lha acara yang seperti itu jarang terjadi? He he he

Setelah kejadian itu, anakku perlahan lahan mengalami perubahan sikap terhadap air. Yang biasanya begitu semangat dan bergembiranya ketika diajak mandi, sejak kejadiaan itu dia terlihat enggan dan perlu dibujuk bujuk untuk mandi. Ketika kepala disiram air, dia akan menangis bahkan menjerit ketakutan. Hmmmm butuh perjuangan saat saat jadwal mandi. Hal itu terjadi beberapa bulan. Kami terus berusaha menghilangkan trauma itu, kami tak ingin penanganan yang lambat akan membawa dampak pada trauma berkepanjangan sampai terbawa ke usia dewasa, jelas hal itu sangat tidak mengenakkan.

Banyak hal yang kami lakukan untuk usaha itu, misalnya kuajak dia bersama sama ketika aku mencuci piring atau mencuci baju yang saat itu masih menggunakan tangan.

Kadang sengaja diajak berhujan hujan oleh suami sambil bermain air yang mengalir diselokan depan rumah yang volumenya bertambah ketika hujan.

Kami ajak ke kolam renang anak anak, walaupun tidak masuk, tapi sekedar bermain air ditepiannya.

Berulang kali kami ajak ke sungai yang sama tapi tidak di tempat air terjun tempat kejadian. Sekedar berjalan menyeberang atau berendam di aliran yang dangkal dan banyak bebatuan yang tidak terlalu besar. 

Alhamdulillah, upaya kami tidak memerlukan waktu sampai setahun, hanya beberapa bulan saja, anak kami sudah kembali seperti semula, hilanglah trauma airnya.

Sekarang? He he he di usia remajanya, air adalah sahabatnya. Setiap ada kesempatan minimal berenang di kolam renang, kalau ada kesempatan berenang di pantai bahkan bersama teman temannya berenang menyeberang ke pulau kecil  yang tidak terlalu jauh dari pantai. Alhamdulillah.

Kadang ketidak jelian orang tua dan kekurang tepatan dalam menangani trauma di masa kecil anak anaknya, berakibat fatal terbawa ke masa dewasanya, sehingga lebih sulit di atas.  

No comments:

Post a Comment